Argument
.
.
Max menunggu. Pria jangkung itu masih tetap berdiri diujung anak tangga. Tatapan matanya terus mengarah ke atas, menanti sosok pria yang berjanji akan membujuk Mayya turun dari sana. Rowman, pria itu sebelumnya memintanya untuk menceritakan semua hal detail tentang Mayya jika ia ingin tetap berada dirumah ini. Tentu, dengan senang hati ia akan menceritakannya.
Entah mengapa Max cepat sekali menaruh rasa percayanya pada pria itu. ia merasa bahwa Rowman bisa menjaga anak asuhnya itu dan melindunginya. Percaya atau tidak, setiap firasat yang ia miliki benar-benar nyata dan akan terjadi.
“Kau masih menunggu?”
Max mengangguk. Wanita yang masih setia berdiri disampingnya terus berada disana. bahkan saat pria bernama Mark pamit untuk pulang, Tia tetap berdiri tepat disampingnya, tanpa menghiraukan Mark sedikit pun.
Tia menyelipkan helaian rambutnya ke belakang daun telinga dan menjilat bibirnya. Jujur saja, baru kali
Sesosok pria berjas hitam nampak berjalan disekitaran lorong yang hanya bermandikan cahaya lampu lilin yang dipasang di beberapa sudut dinding bata hitam itu. Derap langkahnya yang menegas seolah membangunkan siapa saja untuk menyambut kehadirannya. Terlihat beberapa orang yang berlalu lalang di hadapannya menundukkan kepalanya, memberi hormat setinggi-tingginya pada sosok itu. Langkah pria itu terhenti ketika ia sampai disebuah pintu yang menjadi puncak lorong tersebut. Sejenak ia tatapi pintu masuk yang terbuat dari kayu itu. Ia tak menapik meski sudah ratusan kali mendatangi tempat itu, namun hingga kini ia masih merasa gugup setengah mati. ia yakin sosok yang di dalam sana tengah menanti kehadirannya dan menunggu kabar baik yang keluar dari mulutnya. Perlahan, ia menarik kenop pintu kayu tebal itu dengan gerakan maju. Bersamaan dengan itu bunyi nyaring gesekan kayu den
Fearless..Malam yang gelap dan pekat, menyelimuti kota last Town. Udara yang berhembus pada Bulan Mei begitu menusuk kulit. Memang pada siang hari cuaca begitu cerah dengan angin yang berhembus santai. Namun ketika malam menjemput, semuanya kembali kelam seperti pada malam-malam pada musim dingin.Ketika malam tak lagi bersahabat, lantas hanya ada satu jalan untuk menaklukkannya, yakni menghadapinya dengan diri yang kosong. Mungkin itu adalah hal yang sama yang kini dilakukan seorang gadis berambut cepak dengan bayi yang ada didalam pelukkannya.Mayya berjalan di sepanjang hutan yang gelap. Hembusan udara yang dingin membuatnya menyesal mengapa ia tak melakukannya disiang hari. ini bukan tentangnya, melainkan tentang anaknya. Jika itu dirinya, ia masih bisa menahan dinginnya angin malam, sedangnya Jackson hanyalah bayi biasa yang mungkin bisa terkena flu luar biasa karena angin malam.Mata hazel Mayya melirik ke arah ana
Changed..“Harusnya kau bersikap seperti anak penurut selagi aku berbaik hati padamu.”Pasokan udara seolah mulai menipis, menyulitkan pria yang tengah berada dalam ambang batas kematian tak diijinkan lagi untuk hidup. Pria itu tak tahu apakah mungkin detik ini adalah ajalnya. Kematian kedua yang ia rasakan setelah sekian lama mengalami kematian abadi miliknya sendiri.Wanita didepannya, tetap mengencangkan tangan disekeliling lehernya. Mata merah pekatnya terasa seperti magnet yang mampu menyedot sispa saja. hal itu dirasakan oleh Shed ditengah kesakitannya. Mata semerah darah, bahkan lebih pekat itu hanya berjarak tak kurang dari dua pulu sentimeter. Membuat sendi-sendinya terasa mengambang dan hampa. Tak dirasakannya lagi perpiajakn antara kakinya dan juga tanah.“Kau merasakannya? Sebelum datang menjemput kematianmu, seharusnya kau tahu dengan siapa kau berhadapan.” Desis Mayya. Wanita itu melayangkan tatapan mematikan. Ia ingin
“Selamat tinggal, Mayya.” Aku mendengar bibirku sendiri mengucapkan tiga kalimat itu, bersamaan denganku yang keluar dari tempat persembunyianku. Aku tak tahu mengapa aku melakukan hal ini. Hanya saja instingku mengatakan bahwa aku harus bersembunyi. Dari sini, aku melihat matanya nanar menatap ke arah rumah. Aku tak tahu apa yang sedang ia pikirkan. Meski aku bukanlah seorang peramal, aku tahu bahwa ia sedang merasakan gejolak dalam dirinya.Aku memandangi bayangan punggungnya yang mengecil dari pandanganku. Entah apakah itu, aku merasa bahwa aku salah melakukannya. Tak seharusnya aku membiarkannya sendiri. Aku terbiasa hidup di bawah alam sadarku yang penuh dengan teori logika masuk akal. Namun setiap kali bersamanya, aku selalu lupa akan hal itu.Mulai dari hal gila yang kuajukan. Aku merasa diriku tak benar. Berurusan dengan manusia, makhluk fana itu tentu bu
Kissing You..“Bukankah aku sudah bilang, aku akan melindungimu dan juga bayimu asalkan kau memberikan darahmu padaku.” Suara aberat itu mengalun begitu saja dari bibir pria itu.Mayya masih diam, bergeming ditempat. Matanya terus menatap pria yang ada didiepannya dengan bingung. Pikirannya ia tak melihat bahwa pria itu sejak tadi ada disini, didekatnya. Apakah pria itu juga melihat kejadian yang baru saja dialaminya?“Bagaimana bisa kau ada disini?”Pria itu memiringkan kepalanya kesamping. Sebuah senyuman simpul tercipta di bibir hatinya. Tentu bukan ekspresi yang sering Mayya temui. Pria yang sama berdiri dihadapannya namun dengan tatapan yang berbeda. Sungguh hal itu pun masih membuatnya merasa ketakutan saat berhadapan dengannya.“Aku kira pertanyaan itu tak ada hubungannya dengan masalah saat ini, Nona.” Ujarnya. Pria itu mengarahkan lehernya mendekati Mayya. Tanpa sengaja ia pun membawa tubuh mungil Mayya masuk ke
Di dalam sebuah ruangan yang terang, seorang gadis nampak berjalan sendiri dengan raut kebingungan. ia tak mengenal tempat yang sekarang ia singgahi itu. Entah apa yang membuatnya bisa sampai di tempat ini. Semuanya begitu terasa tak nyata baginya.Ruangan putih yang terlihat kosong itu terasa sangat hampa. Ia bahkan merasakan angin dingin yang menyentak bulu kuduknya. Benar-benar menyakitkan mengalami suasana seperti ini. Ia tak ingin berada di sini. Begitu menyesakkan dadanya. “Khamila..”Langkah gadis itu terhenti. Sebuah suara yang entah memanggil siapa berhasil menyentaknya. Ia pun menoleh ke sana ke mari untuk mencari suara itu, namun hanya kekosongan yang ia lihat di tempat ini.Aku di sini.” suara itu kembali terdengar seolah dapat melihat gadis yang mencar
Seorang wanita berdiri dengan seorang anak laki-laki di depan sebuah box yang berisikan dua orang bayi mungil yang tengah terbaring. Di sana, kedua bayi itu tidak tertidur. Salah seorangnya masih membuka matanya, mata berwarna hazel terang. “Siapa dia?” Tanya sosok laki-laki itu dengan mata merah polosnya. Ia memandang sang nenek yang mengajaknya ke tempat asing ini.Dibelainya surai gelap rambut cucunya yang lebih tinggi darinya itu. Ia tersenyum samar melihat ada rasa keingintahuan di balik sepasang mata merah itu. “Kau akan bertemu dengannya sesegera mungkin. Dialah belahan jiwamu yang sesungguhnya.”Laki-laki itu kembali memandang bayi itu. Kini tatapan merahnya bertemu pandang dengan bayi yang kini ikut menatapnya sepasang mata hazel itu nampak memandangnya riang.&nb
Berubah..Mimpinya terhenti.Gadis itu merasa terusik dari tidur panjangnya. Meski ia akui terasa sangat asing, namun kehangatan yang melingkupi tubuhnya benar-benar membuat tidurnya nyenyak. Ada sebuah selimut, begitu pikirnya. Benda ini tak memiliki bulu hangat seperti selimut pada umumnya, malah cenderung keras dan berat. Akan tetapi Mayya merasa ini lebih menghangatkan dari pada selimut mana pun yang pernah ia gunakan.Selimir angin hangat terasa berhembus saat ia mencoba untuk semakin mendekatkan dirinya ke dalam selimut itu. Tentu saja perasaan itu sedikit menggelitiknya. Apalagi tak lama ia merasakan sebuah sapuan hangat dan menggelitik pada puncak kepalanya.Apa yang sebenarnya ada disampingnya?Bukankah itu sebuah selimut?Mayya, gadis itu membuka matanya perlahan. Ia menerjabkan matanya dengan cahaya yang mengintip dari kelopak matanya. Ketika matanya sudah terbuka lebar, jajaran pohon dan juga beber