Sebenarnya, aku sudah lama mengubur dalam-dalam kenangan buruk bersama keluarga ini. Tapi, kalau bertemu mereka luka itu seolah berdarah lagi. Semua peristiwa yang kualami dulu hadir di pikiranku, membuat hatiku menjadi peri. Tapi, hari ini, suamiku ternyata telah bersepakat dengan mereka untuk mempertemukan dengan keluarga mantan suamiku yang telah menorehkan luka begitu dalam di hati ini. "Baiklah, aku bersedia memaafkan kalian. Aku juga tak ingin mendendam kepada siapa pun, apalagi kepada kalian, yang pernah menjadi bagian dari hidupku."Terima kasih atas kemurahan hatimu, Ris. Kami sekeluarga sangat bahagia sekali. Lepas sudah beban pikiran yang selama ini selalu menghantui kehidupan kami. "Aku ingin memperkenalkan Tama pada kalian. namun, untuk sementara waktu aku minta tak ada yang mengatakan kalau dia bukan anak kandung Bang Ardi. Dia sudah sangat dekat dengan ayah sambungnya sekarang. Aku tak ingin membuatnya sedih dengan mengatakan kalau orang yang selama ini telah mencura
POV ARDISudah tiga tahun lebih aku mengarungi rumah tangga bersama Risa, wanita cinta pertamaku, yang begitu aku sayangi dan cintai sepenuh hati ini. Aku merasa sangat bahagia sekali, akhirnya aku dapat mempersunting Risa menjadi istriku. Walaupun dalam kondisi dia sudah menjadi janda. Hal itu tak menjadi masalah untukku. Aku mencintainya bukan karen fisik dan statusnya, tapi, cinta ini benar-benar lahir dari hati yang paling dalam.Teringat dulu, waktu aku mulai jatuh cinta padanya, aku sering berkunjung ke rumahnya. Walaupun terkadang dia tak berada di rumah, dan aku tak dapat menemuinya, aku tidak merasa kesal. Karena, hanya ngobrol dengan ayahnya saja sudah membuatku sangat senang dan bahagia. Rasanya sama saja dengan aku ngobrol bersama Risa. Aku selalu memberikn perhatian lebih kepada Risa. Namun, sepertinya dia tak menyadari hal itu. Dia gadis yang polos. Dia tak pernah tahu kalau diam-diam aku menyukainya. Berulangkali aku mencoba untuk menyatakan perasaanku padanya. Namun,
Tanpa pikir panjang, aku segera kembali ke rumah. Kupacu mobilku dengan kecepatan tinggi. Akhirnya aku sampai di rumah tepat waktu dan berhasil mengusir Ridwan dari rumahku. Aku mengancamnya akan melaporkan tindakannya kepada Pak Herlambang, akhirnya dia takut dan memilih untuk pergi.Setelah kejadian itu, aku memanggil Mbok Nah dan menanyai kejadiannya secara urut. Dari penuturannya aku dapat me gorek keterangan kalau dia telah bekerjasama dengan Ridwan."Jangan pecat saya, Pak. Saya masih ingin bekerja di sini," ujarnya ketika aku hendak memberikan gaji terakhirnya sebagai asisten rumah tanggaku. Risa yang baik hati, ikut membujukku agar tak memecat Mbok Nah. Akhirnya, aku menerima lagi Mbok Nah bekerja di rumahku tapi dengan satu catatan, kalau sampai dia melakukan hal yang sama, aku akan menjebloskannya ke dalam penjara.Mulai hari itu, aku menambah satu orang baby sitter untuk membantu Susi agar bisa bergantian, dan mempekerjakan dua orang satpam untuk menjaga keamanan rumah. Aku
POV RISAHari ini Kami akan pulang ke kampung halaman. Rencana yang sudah kami susun jauh-jauh hari, karena hari ini betepatan dengan hari libur Bang Ardi. Ada dua tanggal merah yang berderet di kalender. Kami akan memanfaatkannya untuk mengunjungi rumah Emak dan Rumah ibu mertuaku. "Sudah siap semua?" tanya Bang Ardi bersemangat."Sudah. Ayo kita berangkat sekarang!" ujarku dengan senyum bahagia. Entah mengapa kalau yang namanya pulang kampung selalu memberikan rasa bahagia tersendiri bagiku. Kalau bisa, setiap bulan aku ingin pulang ke kampung halamanku itu. Tepat jam delapan pagi, setelah selesai sarapan, kami berangkat menuju kampung halaman. Perjalanan hari ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Karena jarak dari rumah kami ke sana lumayan jauh. Tama sudah duduk santai duduk di kursi tengah. Dengan berbekal jajanan yang dia sukai, pasti dia akan anteng sampai ke tempat. Sedangkan kursi bagian belakang dipenuhi barang-barang bawaan kami, termasuk beberapa oleh-oleh untuk kelua
POV RISA"Sudah sering di sini orang seperti itu, Bu. Pura-pura susah, aslinya karena malas bekerja," ujar salah seorang pelayan ketika kutanya."Masak sih, Bang. Sepertinya mereka tidak pura-pura," ujarku lagi."Ibu jangan mudah tertipu. Mereka itu belum ketauan aja wujud aslinya, entar kalau ketauan pasti mangkalnya pindah ke tempat lain. Percaya deh, Bu." Pelayan itu berkata dengan entengnya. Aku sampai mengerutkan kening mendengar penjelasan darinya. Masak iya, ada orang rela panas-panasan dan dianggap hina seperti itu hanya karena uang? Tapi, mungkin saja. Zaman sekarang apa-apa butuh uang, jadi manusia akan melakukan segala cara untuk mendapatkannya. Termasuk meminta-minta seperti itu."Kok, melamun, Sayang? Kenapa? Ada yang membuat hati kamu bimbang lagi?" Tiba-tiba Bang Ardi sudah kembali lagi, dan kata-katanya membuyarkan lamunanku."Nggak ada, Sayang. Risa hanya kasihan melihat keluarga itu. Anaknya masih kecil-kecil, harus ikut menantang panasnya terik matahari seperti in
POV RISATerlihat Bapak juga menyusul keluar dari rumah dan mengikuti Emak. Emak langsung mengambil alih Adinka dari gendonganku. Sedangkan Bapak mengangkat tinggi-tinggi Tama ke udara. Tama tertawa riang. "Aduh, cucu Kakek sudah tambah besar. Kakek hampir tidak kuat menggendongnya," ujar Bapak lalu menurunkan Tama dan menuntunnya masuk ke rumah.Kami berkumpul di ruang tamu sembari bercerita panjang lebar, sampai tak sadar hari sudah semakin sore. Malam ini kami menginap di rumah Emak. Aku senang sekali dapat tidur di kamarku yang dulu menjadi saksi bisu perjalanan masa gadisku. Banyak suka dan duka tersimpan di sini. Apalagi kenangan sewaktu membesarkan Tama seorang diri. Rumah ini sudah banyak berubah. Setelah menikah dengan Bang Ardi, dia memberikan uang kepada Bapak untuk merenovasi rumah. Rumah kami yang awalnya semi permanen, kini sudah berdiri dengan dinding yang terbuat dari batu seluruhnya.Tak ada perubahan pada model rumah. Emak dan Bapak hanya mengganti bahan dinding,
Bang Ardi tampak berlari menyusuri jalan menuju ke sumber asap tersebut. Asap yang tadinya membumbung ke langit langsung menyebar dengan cepat karena hembusan angin. Tak mau anak-anak menghirup udara yang telah bercampur dengan asap itu, aku sedikit berlari menuju rumah. Tama ikut berlari di belakangku. "Ada apa kok, lari-lari. Ardi mana? Kalian pulang bertiga saja?" tanya Emak yang sedang mencabuti rumput di pekarangan rumah. "Itu, Mak. Ada asap tebal di sana. Sepertinya ada rumah warga yang kebakaran," sahutku seraya menunjuk ke arah munculnya asap tebal itu."Kebakaran? Rumah siapa yang terbakar? Jadi Ardi ke sana untuk melihatnya? Jangan-jangan yang kalian maksud asap dari pembakaran tempurung kelapa yang akan dijadikan arang," terang Emak membuatku ternganga."Siapa yang membakar tempurung kelapa itu, Mak?" tanyaku lagi."Biasanya Pak Udin, beliau membakar tempurung-tempurung itu di belakang rumahnya.""Lah! Rumah Pak Udin kan di kelilingi rumah warga. Banyak rumah di sekitarn
"Cepet banget pulangnya, Ibu masih rindu. Tama dan Adinka tinggal di sini aja, ya," ujar Ibu bercanda pada Tama dan Adinka. "Nenek aja yang ke rumah Tama. Nanti Tama beliin es krim untuk Nenek," ujar Tama polos, diikuti gelak tawa dari kami semua. Tama memang sangat suka es krim. Dia mengira semua orang sama sepertinya, suka makan es krim itu. Ibu mencubit pipi Tama yang gembul dengan gemas. "Pinternya cucu Nenek," ujar Mama lalu mencium pipi Tama berulang kali. Adinka juga tak luput mendapat perlakuan yang sama.Tepat pukul sepuluh, kami berangkat meninggalkan rumah Ibu. Tak lupa mampir sebentar di rumah Emak untuk berpamitan, karena rumah mereka dilewati.Kembali, mobil yang kami tumpangi melaju menembus jalanan berbatu dan sedikit berlubang, hingga akhirnya menemukan jalan beraspal. Sama seperti waktu pulang ke kampung, Bang Ardi mengemudikan mobil dengan hati-hati sekali. Dia tidak ingin membuat kami sekeluarga dalam bahaya dengan melajukan mobil kencang-kencang.Tepat jam du