POV RISAHari ini Kami akan pulang ke kampung halaman. Rencana yang sudah kami susun jauh-jauh hari, karena hari ini betepatan dengan hari libur Bang Ardi. Ada dua tanggal merah yang berderet di kalender. Kami akan memanfaatkannya untuk mengunjungi rumah Emak dan Rumah ibu mertuaku. "Sudah siap semua?" tanya Bang Ardi bersemangat."Sudah. Ayo kita berangkat sekarang!" ujarku dengan senyum bahagia. Entah mengapa kalau yang namanya pulang kampung selalu memberikan rasa bahagia tersendiri bagiku. Kalau bisa, setiap bulan aku ingin pulang ke kampung halamanku itu. Tepat jam delapan pagi, setelah selesai sarapan, kami berangkat menuju kampung halaman. Perjalanan hari ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Karena jarak dari rumah kami ke sana lumayan jauh. Tama sudah duduk santai duduk di kursi tengah. Dengan berbekal jajanan yang dia sukai, pasti dia akan anteng sampai ke tempat. Sedangkan kursi bagian belakang dipenuhi barang-barang bawaan kami, termasuk beberapa oleh-oleh untuk kelua
POV RISA"Sudah sering di sini orang seperti itu, Bu. Pura-pura susah, aslinya karena malas bekerja," ujar salah seorang pelayan ketika kutanya."Masak sih, Bang. Sepertinya mereka tidak pura-pura," ujarku lagi."Ibu jangan mudah tertipu. Mereka itu belum ketauan aja wujud aslinya, entar kalau ketauan pasti mangkalnya pindah ke tempat lain. Percaya deh, Bu." Pelayan itu berkata dengan entengnya. Aku sampai mengerutkan kening mendengar penjelasan darinya. Masak iya, ada orang rela panas-panasan dan dianggap hina seperti itu hanya karena uang? Tapi, mungkin saja. Zaman sekarang apa-apa butuh uang, jadi manusia akan melakukan segala cara untuk mendapatkannya. Termasuk meminta-minta seperti itu."Kok, melamun, Sayang? Kenapa? Ada yang membuat hati kamu bimbang lagi?" Tiba-tiba Bang Ardi sudah kembali lagi, dan kata-katanya membuyarkan lamunanku."Nggak ada, Sayang. Risa hanya kasihan melihat keluarga itu. Anaknya masih kecil-kecil, harus ikut menantang panasnya terik matahari seperti in
POV RISATerlihat Bapak juga menyusul keluar dari rumah dan mengikuti Emak. Emak langsung mengambil alih Adinka dari gendonganku. Sedangkan Bapak mengangkat tinggi-tinggi Tama ke udara. Tama tertawa riang. "Aduh, cucu Kakek sudah tambah besar. Kakek hampir tidak kuat menggendongnya," ujar Bapak lalu menurunkan Tama dan menuntunnya masuk ke rumah.Kami berkumpul di ruang tamu sembari bercerita panjang lebar, sampai tak sadar hari sudah semakin sore. Malam ini kami menginap di rumah Emak. Aku senang sekali dapat tidur di kamarku yang dulu menjadi saksi bisu perjalanan masa gadisku. Banyak suka dan duka tersimpan di sini. Apalagi kenangan sewaktu membesarkan Tama seorang diri. Rumah ini sudah banyak berubah. Setelah menikah dengan Bang Ardi, dia memberikan uang kepada Bapak untuk merenovasi rumah. Rumah kami yang awalnya semi permanen, kini sudah berdiri dengan dinding yang terbuat dari batu seluruhnya.Tak ada perubahan pada model rumah. Emak dan Bapak hanya mengganti bahan dinding,
Bang Ardi tampak berlari menyusuri jalan menuju ke sumber asap tersebut. Asap yang tadinya membumbung ke langit langsung menyebar dengan cepat karena hembusan angin. Tak mau anak-anak menghirup udara yang telah bercampur dengan asap itu, aku sedikit berlari menuju rumah. Tama ikut berlari di belakangku. "Ada apa kok, lari-lari. Ardi mana? Kalian pulang bertiga saja?" tanya Emak yang sedang mencabuti rumput di pekarangan rumah. "Itu, Mak. Ada asap tebal di sana. Sepertinya ada rumah warga yang kebakaran," sahutku seraya menunjuk ke arah munculnya asap tebal itu."Kebakaran? Rumah siapa yang terbakar? Jadi Ardi ke sana untuk melihatnya? Jangan-jangan yang kalian maksud asap dari pembakaran tempurung kelapa yang akan dijadikan arang," terang Emak membuatku ternganga."Siapa yang membakar tempurung kelapa itu, Mak?" tanyaku lagi."Biasanya Pak Udin, beliau membakar tempurung-tempurung itu di belakang rumahnya.""Lah! Rumah Pak Udin kan di kelilingi rumah warga. Banyak rumah di sekitarn
"Cepet banget pulangnya, Ibu masih rindu. Tama dan Adinka tinggal di sini aja, ya," ujar Ibu bercanda pada Tama dan Adinka. "Nenek aja yang ke rumah Tama. Nanti Tama beliin es krim untuk Nenek," ujar Tama polos, diikuti gelak tawa dari kami semua. Tama memang sangat suka es krim. Dia mengira semua orang sama sepertinya, suka makan es krim itu. Ibu mencubit pipi Tama yang gembul dengan gemas. "Pinternya cucu Nenek," ujar Mama lalu mencium pipi Tama berulang kali. Adinka juga tak luput mendapat perlakuan yang sama.Tepat pukul sepuluh, kami berangkat meninggalkan rumah Ibu. Tak lupa mampir sebentar di rumah Emak untuk berpamitan, karena rumah mereka dilewati.Kembali, mobil yang kami tumpangi melaju menembus jalanan berbatu dan sedikit berlubang, hingga akhirnya menemukan jalan beraspal. Sama seperti waktu pulang ke kampung, Bang Ardi mengemudikan mobil dengan hati-hati sekali. Dia tidak ingin membuat kami sekeluarga dalam bahaya dengan melajukan mobil kencang-kencang.Tepat jam du
"Anak-anakku dimana? Aku harus pulang. Kasihan mereka," ujar Gita lagi mencoba bangkit dari tempat tidurnya."Rumahmu dimana? Biar kami antar," ujar Bang Ardi pula. Gita diam. Dia hanya menangis sembari memainkan ujung jilbabnya."Aku tak punya tempat tinggal. Kalau malam, aku tidur di emperan toko bersama kedua anakku," ujarnya dengan linangan air mata. " Aku minta maaf, Ris. Aku tau, keadaanku seperti ini adalah karma dari perbuatanku kepadamu. Aku minta maaf, ya. Tolong, jangan dendam padaku! Karena aku tau, waktuku sudah tak lama lagi. Penyakit ini setiap detik terasa menyiksa. Kalau bisa, aku ingin secepatnya mati saja, dari pada menahankan sakit seperti ini.""Memangnya kamu sakit apa, Git? tanyaku penasaran."Kanker serviks," jawabnya singkat."Astagfirullah. Penyakitmu separah itu, kenapa tak berobat, Gita? "Bagaimana mau berobat, Ris? Untuk makan saja aku tak punya uang," ujarnya sedih."Tadi kata dokter, kau harus dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar. Jadi, kami akan ba
Pagi-pagi setelah selesai sarapan, aku dan Mbak Susi membawa anak-anak Gita ke rumah sakit. Aku ingin melihat keadaannya sekaligus menanyakan kepada dokter bagaimana pengobatan Gita selanjutnya. Bang Ardi menyanggupi untuk membayar semua biaya pengobatan Gita sampai sembuh. Bang Ardi mengirim seorang supir kantor ke rumah untuk mengantar kami ke rumah sakit. Setelah berkemas, kami segera naik ke dalam mobil. Pak Ujang, supir yamg di kirim Bang Ardi melajukan mobilnya dengan hati-hati. Untung saja anak-anak Gita, anak yang baik budi. Selama tidur tadi malam tidak ada yang rewel. Kata, Mbok Nah, hanya dua kali dia bangun untuk membuatkan susu untuk Farel.Kami sudah sampai di pelataran rumah sakit. Mayra tampak senang sekali karena akan bertemu Mamanya. Farel kelihatan lebih segar pagi ini."Mama masih sakit ya, Tante?" tanya Mayra ketika kami berjalan menuju ruangan tempat Gita dirawat."Iya, Sayang. Doakan agar Mama cepat sembuh, ya!" sahutku sembari mengusap lembut kepalanya. Dia m
Aku tak perlu mengingat kesalahan Gita. Dia kini sudah sadar. Sekiranya ini balasan dari kesalahannya dulu, aku memohon kepada Allah agar mengampuninya dan segera mengangkat penyakitnya. Tak tega hati ini melihat penderitaan Gita. Disaat penyakitnya sangat parah, dia terlunta-lunta di jalan, tanpa mendapatkan pengobatan yang seharusnya. Jangankan pengobatan, makan saja susah, apalagi dengan membawa kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Pasti Gita sangat menderita sekali. "Kau sudah bertemu dengan Bang Ridwan? Aku ingin sekali bertemu dengannya, Ris. Aku ingin minta maaf karena telah mengambil seluruh uangnya. Aku juga banyak salah padanya," pinta Gita memelas. "Aku akan mengatakan hal ini pada suamiku. Biar dia yang menceritakan pada Bang Ridwan. Mudah-mudahan dia mau datang ke sini, Git. Sekarang, tenangkanlah pikiranmu. Fokus pada pengobatan, agar kau segera sembuh," ujarku lagi."Entah terbuat dari apa hatimu, Ris. Aku benar-benar malu telah membuatmu menderita dulu. Sekali lag