Kembali di sosor soang.
"Rahman pergi dulu ya, Pak, Bu," pamitnya sambil melangkah ke arah pintu.
"Selangkah kamu keluar dari rumah ini. Maka aku bukan ibumu lagi."
Rahman seketika menghentikan langkahnya dan memutar badannya menatap ke arah ibunya yang tengah duduk di kursi dengan pandangan terkejutnya. Ia tak menyangka, ibunya senekat itu. Bukankah ucapan seorang ibu itu adalah doa? Lalu kenapa setiap kata yang keluar dari bibir ibunya selalu saja kata-kata yang jelek.
"Bu! Kamu apa-apaan?" pekik Pak Manto dengan wajah yang garang. Sungguh tak menyangka istrinya akan berucap seperti itu pada anaknya sendiri. Bu Samirah hanya diam dan memandang lekat ke arah Rahman yang mematung di depan pintu hendak keluar.
"Jangan egois, Bu. Tugas kita hanya membesarkan anak-anak dan membekalinya dengan ilmu bermanfaat, selepas itu, biarkan mereka menentuk
Sementara Helen yang baru saja turun dari teras, tak ayal lagi, ia begitu kaget melihat soang yang tempo hari menyosor bokongnya. Seketika ia menjerit dan berlari ke arah depan, naasnya sang soang seperti di tantang dengan teriakan Helen, keduanya berlari mengejar Helen. Helen terus menjerit-jerit sambil berlari, namun karena ia memakai higheels tak bisa berlari cepat, dan lagi bokongnya di sosor kembali oleh salah satu soang Pak Manto. Helen membuka sandalnya lalu menyerang soang itu dengan membabi buta, kini giliran Helen yang menyerang soang-soang pak Manto. Kedua soang itu pun tunggang langgang lari ke dalam kandang lagi. "Syal*n, soang syal*n. Awas, ya! Besok aku bawakan racun. Biar mat* kalian," sungut Helen, sambil memegang bokongnya yang sakit.———Aisyah dan Mala sedang diskusi untuk membuka usaha. Aisyah yang pintar memasak, berencana akan jualan aneka makanan didepan rumah kakaknya. Bu Sarah sangat setuju. Anak bungsunya itu memang tak bisa diam, otaknya selalu saja berput
Rencana Aisyah.Aisyah membuat jamur crispy dengan resep andalannya. Mala dan Rahman pun menyukainya dan bilang kalau rasa jamur Crispy buatan Aisyah itu, berbeda dengan yang kebanyakan di jual di luaran sana. Aisyah begitu bahagia dengan penilaian dari kakak dan Abang iparnya. Setidaknya jerih payahnya terbayar dengan habisnya jamur di piring besar itu. "Jadi, kamu sudah mantap untuk jualan makanan?" tanya Mala pada adik bungsunya. Aisyah langsung mengangguk dengan cepat dan seulas senyum. "Halaman disini-kan luas, kalau di bangun bikin cafe outdoor gitu, kayaknya bagus deh. Kita jualan dengan harga terjangkau sama anak-anak muda disini. Harga kisaran lima sampai dua puluh ribu rupiah. Kayak, kopi, es, juice, mie, dimsum, seafood dan lainnya," tutur Aisyah mengemukakan rencana yang ada di kepalanya. Rahman tersenyum melihat antusia adik iparnya itu. Begitupun Mala, ia sangat bangga memiliki adik yang cerdas seperti Aisyah.Gadis yang baru berusia tujuh belas tahun bahkan belum lul
"Tapi, Ais, bolehkan kalau jualan kecil-kecilan dulu?" tanya Aisyah dengan tatapan penuh harap. "Maksudnya?" tanya Mala."Ais mau jualan kayak seblak, sosis panggang, juice dan es lainnya, bolehkan?""Atu boleh, Is. Abang justru bangga melihat anak muda yang kayak kamu," ucap Rahman. "Alhamdulillah, Aisyah suka berjualan, Bang. Pegang uang terus," serunya dengan binar bahagia karena telah mendapat izin untuk berjualan di sekitar halaman kakaknya. "Jadi, mau bikin kayak kios atau bagaimana?" tanya Rahman lagi. "Iya, bang. Pake terpal doank juga gak apa-apa," sahut Aisyah. Pagi-pagi sekali Rahman mulai mengukur tempat untuk membuka lapak jualan buat Aisyah. Setelah diperkirakan untuk kaso dan bahan lainnya. Pak Ahmad dan Faris datang guna membantu membuat warung untuk Aisyah. Ketiganya mulai bekerja dengan riang, candaan antara menantu, mertua dan adik ipar itu, pecah sekali, hingga suara tawa mereka begitu terdengar ke rumah Bu Usman yang memang ada disebrang rumah Mala."Itu lagi
Part 120. Info dari Bu usmanBu Usman berjalan tergesa-gesa menuju rumah Bu Samirah, untuk melaporkan kejadian di depan mata. Apalagi informasi yang akan disampaikan pada Bestie-nya itu sudah lengkap. Tadi Novi menceritakan hasil kekepoannya datang ke rumah Rahman. "Assalamualaikum, Mirah…Mirah," panggilnya. Bu samirah yang sedang seketika bangkit dan menjawab salam sahabatnya. "Waalaikumsalam, ada apa? Kok seperti ada hal yang darurat," tanyanya dengan muka heran melihat mimik muka Bu Usman yang tidak seperti biasanya. Seperti ada hal yang sangat mendesak sekali."Eh, Mirah, kamu sudah tau belum. Kalau adiknya Mala mau buka warung di tempat anakmu?" tanyanya dengan nafas tersengal-sengal. Karena ia berjalan setengah berlari dari rumahnya tadi. "Minimal dulu nih." Bu Samirah menyodorkan Aqua gelas yang memang telah tersedia di meja ruang tamu. Dengan gesit Bu Usman mengambilnya lalu menyedotnya hingga menimbulkan bunyi dari gelas tersebut."Pelan-pelan, Napa," tegur Bu Samirah melih
Part 121. Kembali merantau.Dua hari kemudian.Rahman telah bersiap akan kembali berangkat ke Lampung. Mala menyarankan agar mampir ke rumah mertuanya. Meski terlihat enggan, Rahman membenarkan apa kata istrinya. Seburuk apapun tabiat ibunya, beliau adalah wanita yang telah melahirkannya, mengasihinya dengan tulus. "Sana, Mas. Ke rumah ibu dulu," titah Mala. Wanita itu sibuk menggoreng ayam untuk bekal Rahman di jalan. "Aku sekalian berangkat saja ke sananya," sahut Rahman yang sedang duduk di meja makan. Ia memperhatikan sosok istrinya dari belakang, betapa hati wanita itu begitu bersih tanpa dendam dan dengki. Membuat Rahman semakin sayang pada Mala. Karena wanita seperti itulah yang ia butuhkan. Meski Rahman tahu tak mungkin kalau Mala tak merasa sakit hati oleh sikap dan ucapan ibunya. Namun istrinya begitu rapih menyimpan semua duka yang didapatkan dari ibunya..Setelah semua siap, Rahman pun pamit pada istrinya, ia memeluk erat tubuh wanita yang kini mulai kurus itu. Menghirup
Pov Mala. "Pokoknya aku gak mau beli, dan awas saja kalau sampai ada anak yang keracunan atau sakit akibat jualanmu itu," ucapnya dengan mengacungkan telunjuknya. Aku hanya memandangnya acuh. Lagian siapa yang mau jual sama kamu, gak ada dalam sejarahnya nenek-nenek doyan seblak. Ini serius, aku belum pernah mendengar ada nenek-nenek modelan Bu Usman beli seblak. "Kenapa kamu diam? Takut-kan?" ucapnya lagi. Ya…Tuhan, lepas dari mertua cerewet, kini punya tetangga absurd. Semoga hamba diberi kesabaran. "Assalamualaikum," ucap Aisyah saat setelah memarkirkan motornya. "Waalaikumsalam salam," jawabku. Aisyah membawa banyak belanjaan, anak itu ternyata pergi belanja dengan masih memakai seragamnya. Sungguh tekadnya begitu kuat untuk usahanya ini. bahkan ia tidak gengsi kepasar masih memakai seragam sekolah. Disaat anak lainnya pulang sekolah nongkrong atau pergi dengan pacarnya, tapi adikku malah pergi belanja ke pasar."Banyak banget, Is," ucapku sambil menghampiri Aisyah yang sedan
"Bu, saya memang masih sekolah. Tapi saya sudah punya kerjaan," sahut aisyah dengan bangga. Sepertinya adikku itu salah menilai tetangga tua ku, dikiranya dengan jawaban seperti itu akan membuat nenek tua itu diam. Oh, tidak semudah itu miskah. Ku lihat juga Bu Usman mencebik. Aku segera mengajak Aisyah masuk, agar ia tak meledak dengan ucapan-ucapan Bu Usman berikutnya. "Kerja apaan? Anakku yang sudah lulus kuliah saja, susah cari kerjaan. Kamu anak kecil, kok sok-sok an ngaku punya kerjaan," ucap Bu Usman. Membuat Aisyah menghentikan langkahnya. Dan berbalik menatap tajam ke arah Bu Usman. Aku mendorong punggung adikku agar segera masuk saja. "Masuk," titahku dengan menggerakkan daguku. "Tapi—" "Masuk."Aisyah mendengus dan memutar bola matanya, tapi dengan cepat juga melanjutkan langkahnya. "Hey, kamu kerja apa? Ditanya orang tua kok malah pergi, anak jaman sekarang pada gak tau sopan santun," sungutnya dengan berapi-api."Bu, saya mau sholat dzuhur. Apa tidak sebaiknya, Ibu,
Pov Helen. Saat aku mendengar Rahman dan Mala telah pindah rumah, saat itu pula tungkai kakiku terasa tak mampu lagi menopang tubuh ini. Bahkan setelah pengakuanku dua hari lalu, ternyata tak membuat Rahman bergeming. Tega sekali laki-laki yang aku dambakan siang dan malam itu. Aku yang tiap detik memikirkan dirinya, tapi apa yang aku dapatkan sekarang? Penolakan dan diabaikan. Rahman telah berubah 180° dia yang dulu tak pernah membantah apa mauku, kini aku tak lagi mengenal dirinya. Bohong, kalau Rahman sampai bilang tak mencintai aku lagi. Aku tau, sorot matanya masih menyimpan sisa-sisa cinta kami yang dulu. Egoisnya seorang lelaki memang demikian. Tak apa, aku tak akan menyerah begitu saja. Akan ku dekati terus ibunya, hingga si Mala itu akan jengah dan memilih pergi dengan sendirinya, tanpa aku mengotori tanganku sendiri. ——Pagi ini aku bangun lebih pagi dari biasanya. seperti hari sebelumnya, hari ini pun, aku akan joging kembali mengelilingi kampung. Aku harus bisa menjaga