"Bukan hanya dari tadi aja deh kayaknya. Tapi dari kemarin, aku perhatikan si Arif itu mencuri-curi pandang terus sedangkan Aisyah biasa saja," sahut Rahman."Apa jangan-jangan Arif naksir, ya! sama Aisyah?" ucap Mala lagi sambil menempelkan telunjuknya di keningnya."Bisa jadi!" ucap Rahman singkat."Kalau begitu … kita jodohkan saja, Mas. Gimana? Bukankah Arif itu orang yang baik, selalu membantu kita dan dia pun masih single. Eh, atau … apakah Arif itu sudah punya pacar, Mas?" tanya Mala mencoba mencari jawaban terlebih dahulu."Setahuku sih belum. Tapi nggak tahu deh kalau di belakangku. Biasanya kalau malam minggu kami itu sering pergi berdua atau kadang aku yang main ke rumah Arif. Arif itu nggak pernah ke mana-mana selain ke rumahku dan di rumahnya," ucap Rahman lagi sambil mengingat-ingat selama setahun dia berada di Lampung dan nyaris tidak pernah absen malam minggunya tanpa Arif."Nanti aku ngomong sama Aisyah, kalau memang Arif mau sama Aisyah … kan kapan lagi Aisyah bisa d
"Hah … apa Man?" tanya Arif sedikit terkejut dan menegakkan duduknya. Wajahnya sudah bersemu merah karena malu ketahuan. ———RatuNna Kania———"Biasa aja sih, Rif. Gak usah kaget begitu!" ucap Rahman dengan senyum simpul saat melihat temannya memberikan ekspresi seperti itu, bak maling yang ke-gep, kebingungan untuk menyangkal. "Aku … aku—" Arif makin gagap, Rahman tak bisa menyembunyikan tawanya akhirnya tawa yang ditahannya sejak tadi demi menjaga perasaan Arif pecah juga. Arif mengusap wajahnya dengan kasar. Betapa malunya dia ketahuan oleh Rahman perihal rasa yang sedang bersemayam dalam hatinya."Maaf! Hmz!" Rahman berdehem untuk menghentikan tawanya. "Kalau kamu suka sama adik iparku, aku akan bantu. Lagian Mala semalam bilang, kalau Aisyah berjodoh denganmu dia akan sangat tenang dan senang!" tutur Rahman dengan pelan berusaha membangun nyali untuk Arif."What? Serius Mala bilang begitu?" Mata Arif seolah akan keluar dari tempatnya mendengar penuturannya temannya itu. Seandain
Manusiawi jika Mala masih merasakan itu, perlakuan Bu Samirah begitu kejam. Bahkan dengan tanpa perasaan berniat mendekatkan Helen dengan Rahman yang jelas-jelas dia sudah punya istri. Tak cukup disitu saja, dalam keadaan hamil pun Mala tak luput dari mulut tajamnya hingga stillbirth itu terjadi. Dia tidak menyalahkan mertuanya dalam hal musibah itu, karena kehidupan dan takdir manusia itu mutlak hak Allah. Tapi akibat banyak perlakuan kasar dan kata-kata yang sadis itulah membuat dia stres dan banyak pikiran. Bohong kalau dia bilang tak memikirkannya karena pada nyatanya sesabar apapun manusia kalau di omongin kasar tentu saja dalam hati dan pikirannya akan tersimpan dengan rapi bahkan saat si pengucap sudah lupa tapi tidak dengan yang di katainya. "Waah, Alhamdulillah. Ibu suka ternyata. Besok lusa, Mala bikinin lagi, ya. Besok kita bikin puding jagung, gimana?" tanya Mala dengan wajah sumringah. Bu Samirah mengangguk dan matanya berkaca-kaca. "Te—te—ri—ma—kasih. Huhuhuhu!" Dia men
Bersamaan dengan itu, Aisyah berbalik badan hendak masuk karena memang kegiatan menyapunya telah selesai. "Bang Arif, ngapain di sini?" tanya Aisyah, matanya beradu pandang dengan lelaki bertubuh tegap itu. Arif memejamkan matanya seketika. Setelah Rahman dan Mala kini targetnya sendiri tengah menanyainya. "E—anu, Sah. Abang mau ke kamar mandi," sahut Arif sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, matanya tak berani menatap kearah Aisyah, namun berulang kali membuang pandangannya tapi kembali menatap gadis tujuh belas tahun itu."Ais, Bang. Aku nggak mau dipanggil Sah!" ucap Aisyah dengan cemberut. Dia memang tidak suka dipanggil ujung namanya, dia lebih suka dipanggil awal namanya saja. "Ow … Maaf, ya! Abang nggak tau," ucap Arif lagi sambil tersenyum canggung. Dadanya begitu bergemuruh bak pasukan akan perang, tubuhnya terasa panas dingin dan gemetaran."Iya, tapi jangan di ulangi panggil itu lagi, nanti aku ngambek!" ucap Aisyah sambil berlalu ke dapur guna menyimpan sapu seda
"Aisyah itu agamanya kuat. Mungkin saja dia itu tidak akan nyaman dengan keberadaan aku, orang yang dianggapnya memang bukan muhrim. Walaupun sama aku yang sudah jadi keluarganya. Memang dari dulu anak itu seperti itu, kalau aku nggak ada pasti dia akan disini bersama kakaknya. Tapi kalau aku pulang, dia akan gegas pulang juga ke rumahnya. Cuma pernah waktu Mala lahiran, dia disini agak lama," tutur Rahman. "Tapi bukan karena aku kan, Man?" Arif menatap cemas. Arif sangat takut kepulangan Aisyah karena ada dirinya di rumah Rahman. "Bukan! Bukan lah. Dari dulu semenjak aku pulang-pergi ke Lampung Aisyah hanya akan disini kalau aku tidak ada, kalau aku pulang, maka dalam hitungan jam dia akan langsung pulang," tegasnya dan diangguki oleh Mala.Arif tersenyum simpul mendengar apa yang dikatakan Rahman. Dia tidak salah menjatuhkan hati. Dia tidak salah menganggumi. Tatap matanya begitu penuh harap saat kata demi kata diucapkan oleh pasangan suami-isteri itu."Ya … udah, Mas ambil moto
"Arif bukan anak kecil. Dia sudah dua puluh tujuh tahun. udah biarin aja! Kamu sekarang kalau mau pulang, ayo cepetan. Arif udah manasin mobil tuh," ucap Mala dengan langsung berbalik pergi. Dia tidak mau lagi mendengar penolakan Aisyah atau apapun. Sedangkan sang adik hanya mengerang pelan, dia tak habis pikir dengan jalan pikiran kakaknya bagaimana mungkin seorang tamu yang tidak tahu wilayah tempat tinggal mereka disuruh mengantarkan dirinya, lelaki yang baru dikenalnya dalam hitungan jam.Meskipun bagi kakaknya, Arif pada sosok yang baik tapi belum tentu dengan dirinya. Tapi apa boleh buat, dia tidak mau menyinggung perasaan siapapun. Akhirnya suka tidak suka, Aisyah menyetujuinya dengan berusaha meyakini bahwa Arif itu orang baik.Aisyah menenteng ranselnya setelah berpamitan terlebih dahulu pada bu Samirah yang sedang duduk diatas kasur. Dia menuju ke teras depan, dimana Kakak dan Kakak iparnya beserta Arif berada."Tuh, Ais sudah siap," ucap Rahman saat matanya menangkap sosok
art 112. Hilang atau kesasar? Aisyah mengangguk tanda membenarkan pertanyaan Arif. Gadis berlesung pipit itu begitu sangat terlihat manis dipandang dari samping. "Hmz … bagus, Is. Abang salut sama kamu!" Hanya itu ucapan Arif. Sungguh bertentangan dengan isi hatinya. "Tapi, kalau seandainya ada laki-laki yang tiba-tiba melamar kamu, apa kamu mau terima, Is?" tanya Arif dengan perasaan yang roller coaster. Keringat sudah membasahi tubuhnya. Meski ia telah bersiap dengan penolakan, tapi sisi egoisnya mengatakan bagaimanapun harus bisa memiliki Aisyah. Gadis tujuh belas tahun itu telah memporak porandakan hatinya, membuatnya gila dengan pikiran-pikiran masa depan yang indah jika dirinya beristrikan Aisyah."Gimana, ya! Lagian belum pernah ada yang melamar aku," sahut Aisyah dengan terkekeh geli. Mengingat banyak orang bilang dirinya cantik, pintar dan sebagainya. Tapi belum pernah ada yang melamarnya. "Hah … serius? Tapi pacar punya dong?" Arif mencoba mengorek hal yang paling rahasi
Bab 219. Kesasar atau hilang.Aisyah langsung masuk ke kamarnya meletakkan seluruh barang bawaannya. Kemudian gadis itu menuju ke dapur, berniat membuatkan minuman untuk Arif dan juga kedua orang tuanya. Tiba-Tiba Bu Sarah pun muncul di dapur."Kamu bikin apa, Is?" tanya Bu Sarah. "Ini aku bikin kopi buat Bapak sama Bang Arif, ada cemilan apa, Mak di rumah?" tanya Aisyah"Tuh ada rengginang sama goreng opak aja, baru digoreng tadi pagi sama Emak!" ucap Bu Sarah dengan menunjukkan letak toples rengginang dengan dagunya. Aisyah pun menata nampan dengan dua buah toples berukuran sedang, serta dua buah cangkir kopi. Lalu mengantarkannya ke hadapan Pak Ahmad dan Arif di ruang tamu.Pak Ahmad terlihat asik mengobrol dengan Arif, hingga sesekali tawa dari keduanya terdengar. Aisyah masuk kembali dan duduk di ruang tengah karena melihat bapaknya dan Arif sedang asik berbincang. Gadis itu gak berani ikut duduk disana."Hmz, Pak boleh saya bertanya?" ucap Arif dengan ragu-ragu. Dia menautkan