Azab suami mata kerangjang."Rasakan!" ucap Eni saat sendalnya mendarat cantik di hidung Anton yang bengkak. Anton meraung-raung memegangi wajahnya. "Azab suami mata keranjang," ucap Mala sambil berlalu masuk menggandeng suaminya."Heh! sembarangan kalau ngomong," ucap Anton tak terima."Bener kata Mala itu, selain mata keranjang, tukang peras pula," sahut Susan. "Peras apa? Cucian apa susu? Susu sapi atau susu kamu?" ucap Anton dengan gaya kemayu. Membuat Helen yang sejak tadi berdiri di halaman, bergidik ngeri. Batinnya bermonolog sendiri "Ganteng-ganteng ternyata gemulai.""Abang! Mau aku tambahin pake helm," ancam Eni yang sejak tadi jengah dengan kelakuan suaminya. Hati istri mana yang tidak panas, melihat suaminya ganjen ke wanita lain. Sudah ribuan kali Eni menghajar Anton gara-gara cemburu buta, namun tak sekali pun Anton jera meski harus babak belur dipukuli Eni. "Akh, iya Sayang, aku dataaaang," ucap Anton. Pikirnya, apa jadinya kalau helm di tangan istrinya melayang juga
***Di sosor soang***"Masuk, Len. Ngapain kamu malah ngeliatin si mantu gak waras," ucap Bu Samirah. "Oh..iya, Bu. Sehat Bu?" tanya Helen sambil mencium takjim tangan Bu Samirah. Helen datang sebenarnya karena ingin bertemu kembali dengan Rahman."Ayo, masuk!" ajak Bu Samirah. Diiringi Helen dan Susan.Sementara Mala yang tadi melihat kedatangan Helen, kini sedang bergelayut manja. Rahman menghirup aroma musk dari istrinya itu. Tiba-tiba perut Rahman bunyi. "Kamu lapar, Mas?" "Nggak sih, hehehe." "Tapi aku belum masak lho," ucap Mala. "Aku kangen indomie buatanmu," ucap Rahman. "Hahahaha, bisa aja kamu, Mas! Ya…udah, aku buatin dulu ya," ucapnya sambil bangkit dari pelukan suaminya. "Jangan lama-lama," ucap Rahman, sesaat sebelum Mala menghilang di balik pintu. Sementara Susan kini sedang mengomel pada suaminya. Perihal pemerasan yang Anton lakukan. "Uang yang harus ku pake perawatan, malah sekarang raib di gondol si pengangguran Syal*n!" umpatnya sangat kesal."Kamu kenapa bi
Part 77. Misi yang gagal.Mala terkikik geli di kursi makan, begitupun Rahman yang baru saja masuk. Ia terlihat menutup mulutnya dengan pangkalnya. Sementara Helen, memegangi dan memegangi bokongnya yang disosor soang. Pasti rasanya sangat sakit. "Ha ha ha ha." Mala tak bisa menahan tawanya. "Ini ulah kamu ya?" tudingnya. Mala tak bisa menjawab. Ia tertawa hingga menangis. Puas sekali sepertinya mengerjai janda itu. "Ada apa ini?" tanya Bu Samirah yang tiba-tiba masuk. Tapi Mala tak bisa menyudahi tertawanya, untungnya Rahman mengambilkan segelas air. "Minumlah," titahnya."Aku di sosor soang, Bu. Tuh! menantu Ibu jahat banget, aku lagi di belakang sama Rahman. Eh, dia melepas soangnya," sungut Helen sambil terus memegangi bokongnya. Bu Samirah malah ikut tertawa mendengar penuturan Helen. Siapa pula yang tidak akan tertawa jika mendengarnya atau melihat tragedi semacam itu. Pikir Mala, karena lagi jaman SD, dirinya pun pernah lari tunggang langgang saat dikejar soang milik pak ha
***Mala Ngambek***Mala yang melihat rivalnya pergi, tersenyum lega, kini ia tengah bersiap mengadili lelaki di sampingnya yang tadi sempat terlihat terpesona melihat janda pirang itu. Mala pun tak menampik pesona janda mantan pacar suaminya itu. Sebagai manusia ia pun kagum dengan ciptaan Tuhan yang satu ini. Sudah cantik, kaya masih muda pula. "Nyesel ya, Mas? Menolak ajakan wanita cantik," ucapnya dengan smirk evilnya. Tatapannya tajam bak sebuah busur panah yang siap melukai Rahman. "Heh, sembarangan aja," bela Rahman, yang sudah mencium bau-bau akan ada keributan. Mala memiringkan wajahnya dengan sengaja, guna melihat lebih jelas wajah suaminya."Really?" "Yes, sure!" "BOHONG!" "NGGAK!" "PEMBOHONG!" "APA SIH?" Rahman jadi terpancing suasana. ucapnya ikut meninggi. Ia paham dengan maksud istrinya itu. Apalagi Mala memang sedang dalam masanya sensitif. Mala bangkit dan meninggalkan Rahman, dengan bulir air mata yang tak bisa di hindari. Bahkan ia pun tak paham kenapa tiba-t
Pov Mala Aku bangkit dan meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Ternyata sudah jam lima sore. Bahkan aku belum sempat sholat ashar gara-gara ngambek sama Mas Rahman tadi. Dan aku juga yakin Mas Rahman pun belum melaksanakan shalat, ia masih begitu pulas dalam tidurnya. Lebih baik mandi dulu dan memanfaatkan waktu yang tersisa. Aku bergegas ke kamar mandi, agar ritual yang waktunya sudah mau habis ini segera terlaksana. Saat aku keluar dari kamar, aku berpapasan dengan Helen yang baru keluar dari kamar mandi. Rupanya sudah pulang mereka. Dia memicingkan matanya saat melihatku yang baru bangun tidur. Aku tak peduli padanya. Saat kami berpapasan aku mencium wangi yang menguar dari arah Helen. Akh, dia kan baru pulang dari salon habis perawatan. "Ops, bau sekali," celutuknya sambil menutup hidung. Waah, minta di garuk ni perempuan. Tapi aku segera ingat, waktu Ashar yang sudah mepet. Aku gegas masuk ke kamar mandi dan tidak memperdulikannya, tentu saja urusan dengan si pirang itu
"Kenapa? Mau bergosip?" tanya ibu. "Yeh, Mala mau masak kerang dan cumi.""E-eh, ngeyel sekali kamu, wanita hamil itu dilarang makan seafood dan ikan yang diberi makan pelet. Jangan ngeyel deh," ucap ibu dengan nada tinggi. Aku terkesiap mendengar ucapan ibu sekali lagi ini. Ku kira dia akan lupa dengan aturan itu. Karena kehamilanku sudah 7 bulan. Tapi tradisi yang katanya pantang dilanggar, membuatku si penyuka seafood ini pensiun dini memakan aneka jenis makanan laut. Hanya karena pamali menurut ibu. Dulu, saat aku bilang positif hamil. Sudah banyak larangan ibu tentang tradisi untuk wanita hamil. Bahkan perkara peniti, gunting kecil, bawang putih serta bangle pun, hingga saat ini selalu aku bawa kemana-mana. Kalau aku lupa, akan ada debat panjang bak debat anggota dewan yang tak jelas ujungnya. "Nanti cucunya ileran lho, Bu," ucap mas Rahman. Mungkin ia melihat wajah berduka ku yang gagal makan kerang dan cumi. "Kamu juga, dibilangin itu ngeyel terus, aku ini ibumu. Tau mana
Kecewa.Aku masuk dengan bergegas, tanpa sadar aku menjinjing dasterku. Kudengar gelak tawa Helen dari dalam. Oh...rupanya minta di garuk beneran sama ibu hamil, wanita itu. Aku yang sudah dikuasai oleh amarah, melangkah bak Rahwana saja. Dan ternyata suara tadi terdengar dari arah kamar Ria yang kini dihuni Bang Rahmat. Syukurlah. Aku merasa lega, setidaknya dia tertawa bukan dengan suamiku. Tapi ternyata, saat aku sampai di dapur, tak kutemukan suamiku. Gegas ku tengok keluar tak ada juga, kamar mandi kosong, begitu pun kamar kami. Aku tertegun sejenak. Kemana gerangan mas Rahman? "Sini aku yang bawa berkasnya, Bang," ucap Helen. Akh, jangan-jangan suami ada di kamar Bang Rahmat. Benar saja, ku lihat dia sedang menggendong kakaknya menuju mobil Helen. Punya rencana apa lagi, Sunda*l itu. Tak akan ku biarkan kau mendekati suamiku. Meski aku kalah dalam hal penampilan, setidaknya aku lebih beradab jadi manusia. Tak pernah ingin merusak apapun milik orang lain. Lain hal dengan wani
POV Helen.Yes, akhirnya. Aku bisa mengangkut Rahman dengan Bu Samirah, meski hanya untuk ke Rumah Sakit. Setidaknya aku lebih berguna dari si dekil itu. Untung tadi aku melihat status mbak Susan yang sedang galau karena piketnya belum berakhir, sedangkan suaminya harus kontrol. Meski sesungguhnya ini hal yang tak guna, setidaknya aku ada andil tenaga di keluarga Rahman, dan selamanya mereka akan berhutang budi padaku. "Mobilmu wangi sekali, Len," ucap ibunya Rahman yang duduk belakangku. "Sama aja kali, Bu, dengan mobil lain," sahutku dengan fokus menyetir. Jarak rumah sakit tidak begitu jauh dari rumah Rahman. Karena kami kebetulan tinggal di kampung yang bukan pelosok banget. Hanya masuk ke dalam sedikit. Aku sungguh bahagia, kini lelaki pujaanku siang malam itu, tengah duduk di sampingku. Yah, disampingku. "Ku harap, suatu saat, kamu yang membawa mobil ini. Dan aku duduk disitu," ucapku dalam hati. Sungguh tak bisa kuhindari rasa bahagia ini."Kamu hebat sekali, Len. Punya mobi