"Ibu!" Rahman reflek meninggikan suaranya saat melihat istrinya ditarik secara kasar oleh ibunya. Mala pun terkejut, dan merasa sakit di tangannya karena ditarik dalam satu hentakan."Aku gak apa-apa, Mas," potong Mala, karena kalau ia diam saja, sudah pasti urusannya akan panjang. Apalagi di tempat umum. Tukang es yang di sebelah kanan aja, sejak tadi mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Mala meraih helmnya. Dan berjalan menuju ke arah mertua lelakinya. "Ibumu ngambek," ucap pak Manto, sambil terkekeh. Mala hanya diam saja. Karena ini memang kesalahan mertuanya, seandainya saja tadi ibunya itu dipanggil mungkin gak akan seperti ini. Mala prihatin sebenarnya dengan perlakuan mertua lelakinya ke Bu Samirah. Tapi di sisi lain, jika mertua perempuan nya tadi ikut ke dalam, tipis kemungkinan proses AJB tadi akan lancar tanpa kendala. Namun kini, ia harus menebalkan telinganya. Karena sesampainya ke rumah nanti, tentu saja ibu mertuanya tak akan diam saja. Akhirnya, pak Manto dan Rah
"I—itu, itu, aku," ucapnya seketika gagap. Rahman langsung mendekati Abang iparnya itu, lalu menyerahkan uang tadi yang hendak diberikannya. "Ini mah pinjem, ya! Man. Kapan-kapan Abang, balikin," ucapnya sambil meraih uang yang diulurkan Rahman. Rahman hanya mengangguk. Ia paham apa yang dirasakan Anton. Mungkin saja kalau tadi uang itu diterima, berasa motornya di sewa. Tapi kalau ia pinjam begini kan lain ceritanya. "Tenang, Bang. Pake aja, gak dibalikin juga nggak apa-apa. Toh nanti kalau aku tak punya juga, pasti minta sama, Abang," ucap Rahman membesarkan hati iparnya itu. Anton tersenyum malu. Lalu Rahman pamit kedalam dan Anton pun pulang dengan membawa motornya. Sebenarnya ia malu karena meminjam uang pada keluarga istrinya secara langsung. Selama ini, Eni-lah yang suka merong-merong pada keluarganya dan namanya tetap bersih. Tapi hari ini ia terpaksa meminjam pada Rahman, karena Eni menolak memberikan uang yang telah diberikan suaminya. Padahal Anton bilang ada perlu ke kot
Hoax dari Rini."Rini bilang apa?" tanya Rahman, sesaat setelah Rini dan Bu Hana pergi. "Rini bilang, rumah ini ada penunggunya, Mas," ucap Mala sambil sedikit berbisik."Hei, kalian! Ngapain bisik-bisik?" tanya Tika yang baru saja masuk ke halaman rumah Mala sambil menuntun anaknya."Takut digosipin sama aku, ya? tanya Mala, sambil mencubit pipi gembul Alia, anak kedua Tika. "Yey," ucap Tika mencebik. Yang disambut kekehan Mala. "Eh, Ka. Apa kamu suka melihat sesuatu, selama rumah ini kosong?" tanya Mala penasaran. Karena rumah Tika dan rumah barunya hanya terhalang tembok setinggi dada saja."Maksudnya gimana?" tanya Tika, tidak paham dengan apa yang Mala sampaikan. "Ya, mungkin kamu pernah liat, emh— ayunan itu ada yang ngisi?" tanya Mala yang bingung cara menyampaikannya pada Tika. "Maksudnya setan?" tanya Tika dengan lantang. "Hust, jangan keras-keras," sahut Mala sambil menempelkan satu jemarinya di bibirnya."Siapa yang bilang? Si Rini, ya? Hahahaha." Tika malah tertawa d
POV Mala. Sengaja aku bangun lebih pagi. Agar ibu tak mengomel, juga aku berniat kerumahku lebih pagi. Aku sudah menelpon orang tuaku dan menyuruh kedua adikku agar membantu mas Rahman membersihkan rumah kami. Aku tak mungkin membantu mas Rahman, dari kemarin saja aku hanya pegang sapu saja. Suamiku tak mengizinkan aku mengerjakan apapun. Sedangkan kedua iparku tak ada yang membantu. Apalagi, bang Rahmat sakit, bang Anton keluar kota dan Mbak Susan kerja. Kak Eni, mana mau dia membantu bersih-bersih. Selama ini bekas makan dia dan anaknya saja ibu yang mencucinya. Huft. Suamiku bak anak tunggal yang segala mengerjakan apapun sendirian tapi jika salah satu kakaknya kesulitan, maka suamiku yang paling cepat bergerak membantu, meski semampunya. "Ayo, La," ajak Mas Rahman yang berdiri di ambang pintu ruang tengah. "Iya," sahutku. Aku membawa sebotol air mineral yang besar untuk kami minum nanti. Sengaja aku tak membawa bekal makan meski masakan sudah matang. Karena adik-adikku akan da
Di rumah baru. "Enak sekali kalian makan, tanpa mengajak atau mengingat si wanita tua ini," ucap bu Samirah dengan lantang saat matanya menangkap suasana di teras rumah anaknya, padahal ia baru saja menginjakkan kakinya di rumah anaknya. "Eh, Besan. Mari makan bareng," sapa bu Sarah. Ibunya Mala, lalu bangkit hendak bersalaman. Tapi Bu Samirah malah mendengus dan membuang muka. Membuat Rahman seketika beristigfar dalam hati. Bu Sarah yang menangkap gelagat tidak suka dari besannya itu, kembali duduk dan melanjutkan makannya, seperti tak terjadi apa-apa. Meski dalam hatinya merasa tak enak oleh sikap ibunya Rahman, tapi ia tak boleh menunjukkannya. Ada anak menantunya yang akan merasa bersalah jika ia mengambil sikap tersinggung saat ini."Bu, ayo, Makan, ini nasinya," ajak Mala sambil mengeluarkan satu bungkus nasi bagiannya. Ia sungguh lupa hanya membeli pas, untuk mereka yang berada di rumahnya saat ini. Ia pikir tak akan ada yang datang ke rumahnya, apalagi ibu mertuanya. Untung
"Sekarang serba mahal, besan. Nikahkan saja. Lagian di kampung itu sangat jarang yang kuliah. Hanya orang-orang kayak yang mampu menguliahkan anaknya," ucap Bu Samirah dengan wajah culas. bagaimanapun ia tak ingin adik-adik Mala bisa setara pendidikannya dengan anaknya, Rahman.Aisyah yang mendengar ucapan Bu Samirah, bak mendengar suara ledakan yang menghancurkan sesuatu dalam hatinya. Juga kini mental orang tuanya sedang berusaha dihancurkan. "Dengan atau tanpa biaya orang tua, saya akan tetap kuliah, Bu," ucap Aisyah dengan geram."Bagus, Is. Kalau punya cita-cita, kita harus Semangat. Mas, saja dulu sampai rela makan mie instan karena belum gajian. Kuliah sambil kerja itu, rasanya akh, mantap," ucap Rahman dengan diakhiri sebuah candaan. Membuat kedua adikny Mala tertawa begitupun Mala dan kedua orang tuanya. Hanya Bu Samirah yang mendelik tak suka pada anaknya. Dulu saat Rahman sering berkunjung ke rumah Mala, Rahman selalu mengakrabkan diri pada kedua adiknya Mala. Dan sering
Rahman kembali membuka kunci pagar rumahnya dengan tersenyum simpul, tapi wajah bu Usman tetap cemberut. "Silahkan, Bu," ucap Rahman. Bu Usman tergesa masuk kedalam dan langsung menuju ke belakang rumah. Mala yang melihat itu, merasa kesal sekali. Apalagi melihat muka cemberut sahabat mertuanya itu. Akhirnya ia dan suaminya pun berdiri di luar pagar. Bu Usman memang terkenal karena keapikannya terhadap uang, ia sering memasak sayuran hasil bumi dari sekitaran rumahnya, entah itu dipekarangannya sendiri atau malah di pekarangan rumah orang. Bahkan Bu Usman, kerap juga membawa lauk pauk dari dapur orang. Cara dia mengambil hati orang, patut diacungi jempol, hingga kadang orang yang dekat dengannya, akan memberikan apapun dengan suka rela. "Mas, ayo kita lihat, lama sekali sih," gerutu Mala dengan wajah yang ditekuk."Sabar sebentar, kita lagi beramal ini," sahut Rahman, padahal dalam hatinya juga kesal, ia yang seharus sudah rebahan di rumah. Kini malah masih menunggu Bu Usman di rum
"Assalamualaikum," ucap Rahman sambil memutar handle pintu."Waalaikum salam." Terdengar jawaban salam dari beberapa orang dari dalam rumah. Sudah pasti keluarga Rahman sedang berkumpul di ruang tengah, karena di jam ini adalah jadwalnya mereka menonton televisi."Kirain gak bakal pulang," ucap Bu Samirah dengan ketus."Apaan sih, Bu," hardik pak Manto mencoba mencegah omelan istrinya."Apaan! Apaan! Perempuan hamil itu dilarang keluyuran sebelum magrib, pamali. Lebih baik tidak pulang dan menginap saja disana," ketusnya dengan suara yang meninggi.Tapi anak dan menantunya itu tak pernah menggubris omelan Bu Samirah, keduanya berlalu ke kamarnya hendak membersihkan badannya yang terasa lengket. Kebetulan cuaca tadi siang begitu panas. Hingga membuat suasana di sore hari pun masih saja gerah."Mas, besok kita jadi USG?" tanya Mala, samb