Dalam waktu dua Minggu ini Wirda sudah mendatangi dua orang dokter kandungan. Namun, hasilnya tetap sama, peluangnya untuk bisa mengandung sangatlah kecil.Hal itu membuat wanita berumur dua puluh lima tahun itu menjadi murung, wajahnya nampak pucat tanpa make-up, semangat hidupnya menurun drastis.Terlebih Ahza juga selalu banyak diam, fikiran lelaki itu berputar memikirkan Fatma dan kedua anaknya yang tak kunjung ditemukan.Baik Wirda ataupun Ahza tak ada yang merasa bahagia kali ini, mereka tenggelam dalam penyesalan masing-masing.Belum lagi masalah restoran yang semakin kacau karena dikendalikan oleh Adiguna, lelaki tua itu memanfaatkan keterpurukan Ahza untuk menguras uangnya sebanyak mungkin.Seperti hari ini mereka berdua sedang menyantap sarapan pagi, nasi goreng yang sudah di sajikan oleh ART terasa hambar di lidah keduanya."Mas, pokoknya aku pengen punya anak, bila perlu kita berobat ke luar negri," celetuk Wirda menghentikan makan dan menatap wajah suaminya.Ahza mendesah
Ia merasa jika dirinya lebih pantas dibanding Wirda, Zahira menatap tubuh Wirda dari atas ke bawah, lalu memalingkan wajahnya ke arah lain.Bener-bener engga banget!."Oh ya dimana Faisal?" Ahza mencoba mengalihkan perhatian."Aku sudah bercerai lama darinya, Za." Wanita itu sedikit menunduk lalu tersenyum kembali dengan percaya diri.Entah mengapa ada rasa yang menggebu kembali di dalam dada Zahira ketika melihat tatapan mata Ahza, dahulu ia berusaha keras mengubur rasa cintanya tapi kini, rasa itu seolah akan tumbuh kembali."Oh, sudah lama?" tanya Ahza penasaran, semenjak ia menikah dengan Fatma dan sejak itu pula Ahza tak lagi mendengar kabar tentang Zahira, wanita itu menghilang tanpa jejak.Tentu saja Zahira sengaja lakukan itu untuk mendamaikan hatinya, bagaimanapun juga merelakan Ahza menikah dengan Fatma itu tidak mudah."Emm ... ada lah sekitar dua tahunan, aku juga ga punya anak, Za," jawabnya seraya mengaduk-ngaduk minuman menggunakan sedotan."Sabar ya, mungkin kalian ga
Sinar mentari pagi mulai memancarkan sinarnya, udara Puncak Bogor yang dingin pun menyelimuti dinginnya hati Ahza dan Wirda yang mulai membeku.Sejak hilangnya kabar tentang Fatma dan kedua anaknya lelaki berparas tinggi itu memang lebih banyak diam, rasa sesal telah menghantui hari-harinya.Meski begitu, Wirda selalu berusaha mengubah suasana diantara mereka, walau Ahza sangat jarang sekali merespon.Dalam hatinya Wirda merintih merasa kesepian dan terbelenggu dalam ikatan pernikahan, cinta Ahza yang dulu begitu menggebu kini, seolah terkikis dimakan waktu.Khayalan indah yang selama ini didamba seolah hanya angan-angan semata, impiannya bisa merajut kasih hanya berdua bersama Ahza ternyata tak seindah yang dibayangkan.Fatma telah pergi begitu pula dengan cinta Ahza seolah ikut pergi bersama bayangan masa lalunya, terlebih sekarang hadirnya Zahira yang cukup mengusik ketenangan hati, wanita yang kerap berhijab modis itu hampir selalu menghubungi Ahza.Wirda tidak suka itu. Namun, ap
Matahari sudah hampir tenggelam, tetapi Ahza masih berada di perjalanan, suasana akhir pekan memang kerap kali membuat jalanan jalur puncak Bogor menjadi macet.Pandangannya lurus ke depan, alunan musik pop menghiasi Indra pendengarannya, rasa lelah dan kepala terasa pening bercampur menjadi satu.Tak terasa mobilnya sudah terparkir di carport, deru mesin mobil membuat Wirda dan mamanya celingukan ke arah luar, gegas Wirda menghampiri untuk membukakan pintu."Mas duduk dulu ya." Wirda menuntun Ahza untuk duduk bersamanya."Ini loh aku sudah punya kontak yang bisa membantu kita mengadopsi seorang bayi, mereka juga kirim photonya, lucu-lucu lho." Wirda memamerkan beberapa lembar photo bayi.Ahza terdiam, badan capek dan pegal ditambah mendengar ide konyol Wirda membuat emosinya melonjak naik, bukannya menyambut suami dengan secangkir teh hangat atau kopi, ini malah meracau tidak karuan.Ahza memijat pelipisnya yang terasa pusing, semenjak Fatma pergi tidak ada lagi orang yang menyambut
Ahza kembali melanjutkan langkahnya, dan mereka melanjutkan tengkarnya di dalam kamar."Aku tuh ga suka kalau kamu berhubungan dengan cewe gatel itu, coba jauhi dia demi aku dan demi kerukunan rumah tangga kita," ucap Wirda dengan nada jengkel."Emang siapa yang deketin sih, baik aku ataupun Zahira ga ada hubungan spesial, dia nelpon aku karena urusan bisnis udah gitu aja." Ahza membuka dasinya lalu melemparkannya ke atas pembaringan.Biasanya ia tak pernah repot sperti ini saat pulang kerja, dengan telaten Fatma akan membuka sepatu dan dasinya, bahkan kemeja pun selalu Fatma yang bukakan, Ahza benar-benar kehilangan sosok itu."Tapi naluri seorang istri itu ga pernah meleset.""Halah sudahlah! Aku capek mau mandi, terserah kamu mau ngomong apa!" Cepat-cepat Ahza ke kamar mandi meninggalkan Wirda yang sedang bergelut dengan amarahnya.Wanita itu hanya memandangi punggung suaminya yang perlahan hilang di balik pintu kamar mandi.Sejuknya AC tak membuat hatinya mendingin malah semakin p
"Kamu yang ngapain di sini, ayo kita pulang." Adiguna mencekal tangan putrinya lalu menyeretnya keluar gerbang rumah Zahira."Lepas!" Wirda mengibaskan cekalan papanya, lalu menatap dengan penuh emosi."Ada hubungan apa Papa sama wanita itu?! Apa dia selingkuhan Papa?""Papa ga ada hubungan apapun sama Zahira kami cuma ... rekan bisnis." Adiguna agak gelagapan.Wirda terkekeh merasa lucu dengan alasan konyol papanya. "Sejak kapan Papa punya bisnis, bukankah sudah beberapa bulan Papa nganggur?"Wirda menggelengkan kepala.Fix, Papa sudah selingkuh dengan wanita m*r4h4n itu, Wirda menduga-duga."Ya ... Papa ini mau mulai bisnis lagi, Wirda, sudahlah ayo kita pulang saja." Adiguna kembali menarik tangan putrinya agar cepat pergi dari tempat ini sebelum suasana menjadi ramai."Lepas! Aku bisa pulang sendiri." Wirda melotot lalu kembali menghampiri Zahira dengan tatapan penuh amarah."Dengar ya! Aku ga akan tinggal diam kalau kamu masih mendekati suamiku ataupun ayahku, dasar j4l4ng! Semua
Ardila masih menangis sesenggukan di hadapan pintu, sementara Wirda tercenung berusaha mencerna ucapan mamanya yang tidak jelas karena bercampur dengan suara isakan."Mama tenang dulu, kita masuk ke dalam." Wirda menuntun mama duduk di sofa, ia berlari kecil menuju dapur dan kembali dengan segelas air putih hangat."Minum, Ma." Mama meneguk air itu dengan tangan bergetar, setiap tegukannya menghasilkan bunyi saking hausnya."Kenapa Papa bisa ditangkap polisi, Ma?" Wirda memulai tanya usai Mama meneguk sampai tandas air itu.Mama perlahan mengatur napas dan berusaha meredam tangisan yang masih sesenggukan."Fa-fatan yang melaporkan Papamu, Nak." Mama terisak lagi."Atas kasus apa?" Wirda melongo hanya memandangi mama."Penggelapan uang, Papamu dituduh korupsi." Mama terisak lagi, sebelah tangan Wirda meraih tissue dan menyodorkan pada Mama agar menghapus air matanya"Mama tenang ya, kalau Papa ga bersalah kita akan suruh Mas Ahza sewa pengacara buat bebasin Papa." Wirda tersenyum untuk
"Fatan ga mungkin main laporin orang tanpa bukti, pasti ia melaporkan Papa karena memang ada bukti nyata, Dek," sanggah Ahza malas menolong.Bagaimanapun juga perkataan Adiguna tempo hari masih terngiang, dan ia yakin sampai sekarang jika Adiguna lah penyebab kematian ayahnya."Kok kamu malah belain orang itu sih, Mas!" Wirda mulai meradang."Ya emang aku salah? mana mungkin Fatan main lapor-lapor sembarangan tanpa ada bukti, kalau papamu terbukti bersalah ya terima saja hukumannya semoga saja dia mau bertaubat setelah ini."Tak ingin berdebat lagi, gegas Ahza naik ke lantai atas dengan setengah berlari, hatinya puas sekali saat mendengar Adiguna berada di dalam sel tahanan, tanpa harus repot-repot mencari bukti yang sejak dulu sudah dilenyapkan tanpa jejak.Orang licik itu sudah mendapatkan hukuman, semoga saja hukumannya setimpal dengan perbuatannya, Ahza merutuk dalam hati.Malam ini Ahza tidur sendiri dengan nyenyak, tak dipedulikan Wirda yang tak kunjung pulang dan datang ke pemb