Jantung Dian berdetak lebih cepat. Ketakutannya semakin meningkat. Wajah teduhnya kini menggambarkan kegelisahan yang dahsyat.Wanita itu emeluk Citra erat, berharap Sang Pencipta selalu melindunginya dan seluruh keluarganya dari orang-orang yang hendak mencelakakan.Dian masih mematung di tempatnya berdiri, perasaannya mulai tak karuan. Ia merasa seperti ada sepasang mata yang tengah memperhatikan dan seolah-olah hendak menerkam nya.Dada Dian kembang kempis saat mendengar suara langkah kaki yang perlahan mendekatinya. Mata wanita itu melebar.Sungguh, berada di rumah Mawar benar-benar memacu adrenalin nya. Setelah menyimpulkan sesuatu, kekhawatiran semakin mendominasi perasaannya. Tubuh Dian bergetar hebat lantaran takut saat langkah seseorang itu terdengar kian nyaring.Di tengah kepasrahannya, tiba-tiba saja suara langkah kaki itu berhenti dan tak terdengar lagi. Menyadari sudah aman, Dian menghembuskan napas lega kemudian mengeratkan pelukannya pada Citra. Namun, seketika saja pu
"Stella, maaf aku harus pulang." Rian sudah kembali duduk santai di sofa saat wanita itu kembali."Kok buru-buru sih?" tanya Stella tak suka."Boy sudah mendingan, kan?" Rian balik bertanya sebagai alasannya ingin pergi."Iya, tapi aku masih mau di sini sama kamu," kata Stella, ia berusaha mencegah suami orang lain itu pergi dari rumahnya."Nanti aku balik lagi, kok," balas Rian sembari meraih kunci mobil dan ponsel yang ia letakan di atas meja."Janji ya," pinta Stella manja.Rian tersenyum tipis kemudian mencium kening Stella untuk meyakinkan bahwa dirinya akan kembali.Rian tahu betul, Stella adalah tipe wanita yang terlalu bucin jika sudah benar-benar mencintai lelaki. Hal itu Rian sadari saat dirinya masih berhubungan dengan Stella di masa lalu.Mendapatkan kecupan dari Rian, Stella tersenyum kegirangan. Wanita itu semakin yakin bisa mendapatkan Rian kembali seperti waktu yang telah silam. Wanita itu semakin berambisi merebut Rian dari istrinya.Stella menarik napas dalam saat Ri
Hasna tengah menikmati secangkir teh saat Dian menghampirinya dengan langkah tergesa. Sementara tak jauh dari Hasna ada Citra yang tengah bermain."Bu ayo kita siap-siap," kata Dian sembari meraih kemudian menggendong Citra yang tengah anteng dengan mainannya.Hasna menyipitkan pupil matanya. Jantungnya berdetak tak karuan melihat gelagat Dian. Hatinya seolah-olah tengah berbisik bahwa ada sesuatu yang terjadi."Ke mana? Ada apa sebenarnya?" tanya Hasna kebingungan."Tadi aku dapat kabar dari Mas Rian kalau Hendrik akan mencelakai kita." Dian panik dan mengunci pintu serta jendela yang sudah terbuka."Rian sudah menelpon polisi?" tanya Hasna gelisah. Wanita itu mencemaskan seluruh keluarganya."Sudah Bu, sebentar lagi dia dan Pak Beni datang. Untuk sementara kita tinggal di apartemen pak Beni katanya agar aman.""Astaghfirullah, ternyata anak Fuji benar-benar nekat," gumam Hasna sembari menggelengkan kepalanya."Ibu segera beritahu Mbok Siti, lima menit lagi mereka datang," kata Dian
"Mas, Mas...."Dian berteriak ke arah suaminya, sontak Rian yang tengah mengecek kerusakan mesin itu mendongak. Lelaki itu melangkah dan mengintip dari jendela."Kenapa?""Raya katanya ditangkap, aku takut terjadi sesuatu pada Raya."Dian semakin gelisah, sementara Citra tetap mengoceh dalam gendongannya."Kata siapa?" Rian memastikan."Tadi Pak Beni menelpon," balas Dian.Rian lantas mengambil ponselnya kemudian menelpon seseorang.***Si kepala pelontos baru saja menutup panggilan saat tiba-tiba tubuhnya dihajar dari arah belakang hingga ia tersungkur."Dasar pengkhianat."Temannya yang bertubuh tegap ternyata mendengar pembicaraan si pelontos dengan Rian melalui panggilan telepon.Si kepala pelontos itu membocorkan lokasi keberadaan Raya yang dirinya pun baru saja tahu. Sebelumnya ia hanya disuruh untuk menangkap Dian dan keluarganya. Hanya lelaki bertubuh tegap saja yang tahu ke mana mereka akan dibawa. Namun, diam-diam si kepala pelontos itu mencuri informasi dan ia bocorkan pada
"Aku khawatir dengan Raya."Indira mondar-mandir dengan wajah gelisah, sementara Dian menemani Citra dan Maira bermain sembari menonton tayangan televisi."Aku juga khawatir, lebih baik kita shalat Ashar dulu yuk Indira." Hasna mengelus pundak adiknya yang gelisah."Tapi Mbak, aku lupa bacaan shalat." Indira menunduk, sudah bertahun-tahun ia tak pernah beribadah pada Sang Pencipta."Gak apa-apa, seingatnya saja, yang penting niatnya."Tangan Hasna turun ke jemari Indira, wanita itu menggenggam erat adiknya."Tapi apa Allah akan dengar do'aku? Apa Allah akan ampuni aku, Mbak?"Indira mendongak, terbesit keraguan dalam dadanya, ia menyadari sudah banyak sekali dosa yang diperbuat, ia takut Tuhan tidak mengampuninya."Meski kita datang berlumur dosa setinggi gunung, jika hati tulus bertaubat, Allah pasti akan mengampuninya." Hasna menatap manik hitam Indira lembut."Ajari aku shalat, Mbak," pinta Indira, ia membalas tatapan Hasna dengan mata berkaca-kaca.Dian yang melihat pemandangan ha
"Bagaimana keadaan kamu sekarang?" Pak Beni menghampiri Nengsih yang sudah terbangun dari tidurnya dan sedang memainkan ponsel. "Sudah membaik, hanya saja luka bekas goresan masih sedikit perih." "Syukurlah." Pak Beni mengembuskan napas lega. "Bagaimana kabar Bu Raya, apakah beliau baik-baik saja?" Nengsih menatap mata lelaki itu dalam, ia ingin tahu tentang kabar wanita yang telah menyelamatkan hidupnya dari kematian. "Raya sedang berjuang di ruang operasi. Proyektil peluru menembus punggungnya begitu dalam. Raya juga kehilangan banyak darah." Pak Beni menunduk, lelaki itu nampak gelisah memikirkan kondisi wanita spesialnya. Setelah melihat kondisi Raya yang kian mengkhawatirkan, rasa ketakutannya semakin besar. Ia baru menyadari kalau dalam dadanya telah tumbuh benih-benih cinta untuk Raya sejak pertama melihatnya. "Semoga Bu Raya kuat. Maafkan aku, seharusnya aku yang di sana. Bukan Bu Raya." Nengsih menunduk, air matanya menetes dari pelupuk netra. Rasa bersalah kian mengh
Dokter dan semua tenaga medis berjibaku dengan tugasnya di ruang ICU. Di luar ruangan, Dian dan Indira terus berdoa untuk kesehatan Raya. Wajah mereka dipenuhi kekhawatiran. Sementara Adi pulang dulu untuk mengambil keperluan, sedangkan Pak Beni menemani Nengsih di ruangan lainnya."Ya Allah, lindungi anakku. Jaga dia ya Allah." Indira tak henti-hentinya memohon sambil menangis. Wanita itu takut terjadi sesuatu pada Raya."Ya Rabb, lindungi Raya. Kuatkan dia untuk melewati masa-masa ini." Dian pun berdoa dengan penuh pengharapan pada Sang Pencipta.Dalam tangis Indira melirik jam di ponselnya. Waktu isya sudah berlalu beberapa jam yang lalu, tetapi ia belum shalat."Dian, Tante shalat dulu ya." Indira menepuk pundak keponakannya."Iya Tante," balas Dian, ia menganggukkan kepalanya sembari menyeka bulir bening yang terus berkejaran di pelupuk netra."Kalau ada informasi tentang Raya, kamu kabari Tante, ya." Indira melangkah dengan gontai menuju mushola rumah sakit.Indira melaksanakan
Sekitar dua tahun yang lalu, saya difitnah membunuh seseorang dan dipenjara. Awalnya saya kira orang yang memfitnah adalah mantan atasan saya ditempat kerja karena saat itu saya memang sedang terlibat suatu perjanjian dengannya.Kemarahan saya semakin besar saat rumah orang tua saya dibakar, terlebih keluarga saya meninggal karena musibah itu. Beruntung saya bisa keluar dari penjara berkat bantuan seseorang yang saya anggap malaikat.Sejak saat itu saya berniat membalas dendam padanya. Namun, ternyata, semua rangkaian peristiwa mengerikan dalam hidup saya itu adalah perbuatan orang yang saya anggap malaikat. Justru, orang yang sangat saya benci adalah orang yang paling baik pada saya.Sekarang saya senang mendengar kabar bahwa iblis yang menyerupai malaikat itu telah tewas dalam kejaran polisi. Saya bahagia karena rencana pembunuhannya telah gagal. Meski dia berasal dari keluarga berada dan cukup berpengaruh, tetapi Allah tidak pernah tidur. Kekuatannya tidak sebanding dengan kekuatan