Share

Bab 8

BAYI SIAPA?

 

Part 8

 

Aku tengah berbelanja di tukang sayur. Sebenarnya aku lebih suka belanja di pasar dan sangat jarang berbelanja di tukang sayur keliling karena selain kurang lengkap, terkadang sering terjadi obrolan yang menurutku tidak penting. Kali ini terpaksa, sebab tidak ada yang menjaga Aqila jika aku ke pasar. Mbok Iin kasihan harus menjaga Aku dan Aqila.

 

"Tumben Bu Atik berbelanja di sini," ucap Bu Mirna salah seorang tetangga.

 

"Iya, Bu belum sempat ke pasar," jawabku.

 

"Sibuk sama cucu baru ya Bu?" tanya Bu RT.

 

Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan dari Bu RT tanpa bisa menjawabnya, mau kujawab apa? Aqila itu bukan anak Amran.

 

"Iya, dengar-dengar Amran sudah menikah, Bu Atik ini gimana sih, nikahin anaknya gak ngundang-ngundang," ucap Bu Rina.

 

"Sebenarnya Amran belum menikah, bayi yang kemarin Bu RT liat adalah anak saudara yang kebetulan dititipkan karena ibunya masuk rumah sakit." ucapku tentu saja berbohong.

 

Kata orang memang benar jika sekali berbohong akan terus-terusan mengulangi kebohongan untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Belum saatnya aku bicara yang sebenarnya. Jika saatnya tepat nanti, aku akan Jujur tentang siapa Aqila sebenernya. Tentu saja setelah aku tahu siapa orang tuanya.

 

"Amran memang lucu. Bisa saja dia menggodaku," ucap Bu RT.

 

"Itu karena jika bertemu dengan Bu RT selalu ditanya kapan nikah," ucapku tertawa.

 

Ibu-ibu yang berada di tukang sayur juga ikut tertawa bersamaku hingga membuat wajah Bu RT memerah. Dengan begini para tetangga tidak akan menanyakan tentang Aqila lagi. Amran juga bebas dari gibah tetangga. Satu masalahku sudah beres meskipun dalam kebohongan.

 

Aku masih asyik memilih sayuran untuk stok beberapa hari ke depan. Karena rasanya tidak mungkin aku ke pasar dalam waktu dekat. Obrolan ringan masih berlanjut. Kali ini ibu-ibu mulai membicarakan tentang anak tetangga kami yang beberapa Minggu terakhir jarang keliatan. Aku sedikit menajamkan telinga mendengar obrolan mereka. Mungkin dengan begini aku bisa mencari tahu siapa orang tua Aqila, karena tidak mungkin si pelaku orang jauh.

 

Kadang aku berpikir kenapa rumahku yang di titipi Aqila? Aku dan keluarga terkesan tertutup dan jarang bergaul. Hanya sesekali bersilaturahmi. Sudahlah, jika sudah ketemu dengan orang yang tega menaruh Aqila di depan pintu rumah, akan aku tanyakan.

 

"Bu RT kemaren kan nagih iuran bulanan ke rumah Bu Lilis, ibu lihat Lita?" tanya Bu Mirna.

 

"Gak, Bu katanya Lita sedang pergi," jawab Bu RT.

 

"Lita itu satu sekolah dengan anak saya, tahun ini lulus. Kata anak saya dia seminggu gak masuk. Isu yang beredar kalau Lita itu hamil di luar nikah dan sudah melahirkan." ucap Bu Rina.

 

Aku mendengarkan gibah tetangga ini dengan seksama. Tentunya bukan untuk di gibahkan lagi di rumah. Melainkan untuk mencari tahu kondisi sekitar lewat mulut tetangga ini. Harusnya aku lebih sering belanja di tukang sayur keliling. Lumayan bisa cari informasi tanpa banyak bertanya.

 

****

 

Berjalan masuk ke dalam rumah sambil membawa belanjaan. Aku masih terus memikirkan obrolan di tukang sayur tadi. Lita, seorang anak SMA yang di gosipkan hamil di luar nikah dan sudah melahirkan. Bisa saja dia ibunya Aqila. Kebetulan rumahnya tidak jauh dari rumahku. Hanya berjarak dua rumah. Aku harus menyelidiki ini semua.

 

Namun, bagaimana caranya? Tidak mungkin aku datang ke sana dan bertanya. Bisa-bisa aku kena pasal perbuatan tidak menyenangkan karena bertamu serta bertanya hal-hal yang belum tentu kebenarannya.

 

Aku segera menaruh belanjaan di dapur. Kebetulan ada mbok Iin di sana. Aku bisa menyuruhnya bertanya kepada asisten rumah tangga keluarga Lita. Aku harap mbok Iin mau bekerja sama denganku mencari informasi tentang siapa orang tua Aqila.

 

"Mbok, kenal dengan asisten keluarga Bu Lilis?" tanyaku.

 

"Kenal, Bu ada apa ya?"

 

"Tadi aku dengar di tukang sayur kalau anak perempuan keluarga mereka sakit. Sakit apa kira-kira, jujur aku curiga."

 

"Saya memang sering dengar kalau gadis itu hamil di luar nikah."

 

"Kok mbok gak bilang-bilang?" tanyaku.

 

"Ibu kan suka bilang kalau gak boleh gibah."

 

"Oh iya juga, tapi ini bukan gibah, Mbok. Kita sedang menyelidiki siapa orang yang tega membuang Aqila di depan rumah kita," ucapku.

 

"Iya Bu, nanti saya cari tahu."

 

Aku segera meninggalkan mbok Iin yang mulai menyiapkan sarapan. Terdengar suara Aqila menangis. Setengah berlari aku menghampiri putri kecil itu.

 

Amran berada di kamarku sedang mengganti popok Aqila. Sepertinya dia pipis hingga membuatnya menangis tadi.

 

"Amran sedang apa?" tanyaku.

 

"Ini gimana sih, Bun?" tanya Amran yang kebingungan membedong Aqila.

 

"Makanya jangan sotoy," ucapku tersenyum.

 

Aku menghampiri Amran dan langsung membantunya untuk membedong Aqila. Amran  segera menggendong Aqila setelah selesai kubedong. 

 

Tidak terasa sudah seminggu Aqila tinggal di rumah kami. Amran terlihat begitu menyayanginya. Aqila pun nyaman berada dalam gendongan Amran. Seolah mereka punya ikatan batin. Aku berjanji setelah tahu siapa orangtuanya akan segera mengurus surat adopsinya. Karena aku sangat menyayangi bayi itu.

 

Amran mengajak Aqila keluar dari kamar dan menuju teras, sinar matahari pagi memang sangat baik untuk bayi. Di lihat tetangga juga tidak mengapa sekarang karena aku sudah menjelaskan jika Aqila adalah anak saudara yang dititipkan pada keluarga kami.

 

Amran terlihat mengajak Aqila bicara di bawah sinar matahari pagi. Aqila membuka matanya dengan sempurna. Di lihat dari sudut pandangku saat ini, mereka seperti ayah dan anak. Jangan-jangan mereka memang memiliki hubungan darah. Ah, pikirkanku kacau.

 

"Bu, Ami berangkat sekolah dulu ya," ucap Ami membuyarkan lamunanku.

 

"Lho, kamu sudah sembuh?" tanyaku.

 

Gadis berseragam putih abu-abu itu mengangguk mantap. Dia memang terlihat lebih segar dan tidak pucat.

 

"Sudah sarapan?" 

 

"Sudah, Bu."

 

Tiba-tiba saja Angga berlari dari dalam rumah. Dengan sepotong roti yang terselip di bibirnya.

 

"Makan sambil duduk," ucapku mencubit pinggang Angga.

 

Dia segera mengambil roti yang ada di mulutnya.

 

"Telat, Bun. Hari ini aku piket."

 

"Kebetulan, bareng sama Ami saja."

 

"Gak usah, Bu. Ami mau ke fotocopy dulu."

 

"Aku pamit Bun, assalamualaikum," ucap Angga berlari setelah mencium tanganku.

 

"Hati-hati."

 

"Siap."

 

Ami masih berdiri di depan pintu dan asik dengan ponselnya.

 

"Kak Ami sedang apa?" tanya Amran menirukan suara anak kecil.

 

Ami melihat ke arah Amran dan melirik sesaat ke Aqila yang ada dalam gendongan sulungku itu. 

 

"Nungguin ojek online, Bang," jawabnya.

 

"Abang antar saja ya!" pinta Amran.

 

"Gak usah, Bang. Ami mau ke fotocopy dulu."

 

"Gak apa-apa, Mi. Lagi pula kamu baru sembuh."

 

"Iya, Mi. Di Amran saja," ucapku.

 

Amran menyerahkan Aqila padaku dan langsung menarik tangan Ami untuk ikut dengannya. Aku merasa ada yang aneh di sini. Terlebih melihat Amran yang begitu peduli dengan Ami dan tatapan Amran ke Ami pun mencurigakan. Apa jangan-jangan Amran yang menghamili Ami?

 

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status