Share

Bab 7

Semua orang kucurigai sekarang terlebih teman-teman Ami yang kemarin datang berkunjung. Aku mencari tahu lewat Angga seberapa dekat mereka. Cewek ataupun cowok sama-sama aku curigai karena tidak ada hal yang mustahil. Bisa saja Ami di ajak sahabat wanitanya nonton film tapi ternyata malah berbuat yang tidak-tidak.

 

Teman laki-laki pun tidak luput dari perhatianku. Kemaren ada tiga orang yang datang. Gerak gerik ketiganya sangat mencurigakan bisa saja salah satu dari mereka pelakunya.

 

****

 

Hari ini hari Minggu. Rencananya aku akan mengintrogasi Angga untuk mencari tahu lebih dalam tentang teman-teman mereka kemarin. Adakah yang dekat dengan Ami atau sahabat, terutama yang laki-laki yang sering bersama dengan Ami.

 

Aku masuk ke dalam kamar Angga. Seperti biasa Angga sibuk dengan ponselnya. Aku menghampiri dia.

 

"Sudah makan?" tanyaku.

 

"Belum lapar," ucapnya tanpa melihatku.

 

"Kamu itu game aja terus," ucapku.

 

"Kali aja jadi gamer, Bun."

 

"Jadi gamer gak, pusing iya," ucapku mengacak-acak rambut bungsuku itu.

 

"Tumben gak gendong Aqila?" tanya Angga.

 

"Aqila sedang tidur. Tumben nanyain?"

 

"Iya, habis kalo di pikir-pikir kasihan banget Aqila tuh. Di buang sama orang tuanya yang gak bertanggung jawab. Untung ketemu sama Bunda."

 

Sepertinya Angga sudah bisa menerima keberadaan Aqila, awalnya dia tidak pernah mau melihat Aqila, tapi kali ini dia menanyakan adik perempuannya itu.

 

"Ga, bunda mau tanya boleh?" tanyaku.

 

"Tanya apa, Bun?"

 

"Teman-teman kamu kemarin."

 

"Kenapa? Mereka berisik ya?"

 

"Bukan, apa diantara mereka itu ada pacarnya Ami?" tanyaku.

 

"Kayaknya gak, Bun. Kami semua sahabatan."

 

"Yang paling dekat dengan Ami siapa?"

 

"Ada namanya Anita, dia yang kemarin rambutnya di kuncir."

 

"Kalau laki-laki?"

 

"Riyan, yang rambutnya paling hitam diantara kami. Sebenarnya dia baru saja di omelin sama guru BP gara-gara warnai rambut jadi kuning. Di pikir Naruto kali, terus di cat lagi jadi hitam."

 

Aku terus mendengarkan secara seksama apa yang dikatakan oleh Angga. Jika menemukan hal janggal aku akan segera menyelidikinya.

 

"Pernah melihat Ami dengan Riyan berduaan?"

 

"Pernah."

 

"Di mana?"

 

"Di kelas beberapa hari lalu."

 

Inginku bertanya lebih jauh, tapi Angga mulai curiga terhadapku. Aku rasa cukup sampai di sini saja besok-besok aku akan mencari tahu lagi.

 

"Mulai besok kalau belajar kelompok di sini aja ya, Ga. Kasihan Ami kalau pergi-pergi."

 

"Siap nyonya," ucap Angga yang membuatku terkekeh.

 

Aku kembali mengacak-ngacak rambut Angga. Anak itu masih seperti bocah. Hobinya hanya main game dan jarang juga keluar rumah. Sekarang aku akan menanyakan tentang ucapannya soal Amran kemarin.

 

"Ga, kamu tahu kalau bang Amran menyembunyikan sesuatu?" tanyaku.

 

"Emang Bunda belum tau?" Angga balik bertanya.

 

Jantungku berdegup kencang, apa jangan-jangan Angga tahu sesuatu soal Amran dan Ami. Semoga saja apa yang aku takutkan tidak terjadi.

 

"Bunda belum tahu apa-apa."

 

"Iya mangkanya sekarang mau tanya sama kamu."

 

Aku mendengarkan dengan seksama apa yang akan di katakan oleh Angga tentang Abangnya. Aku cukup serius menatap wajah Angga dan dia mulai bicara.

 

"Abang itu gak suka sama cewek," ucap Angga.

 

"Tau dari mana? Ngomong sembarangan," tanyaku sambil menoyor kepala Angga.

 

Angga terbahak, anak itu jika aku sedang serius pasti ada aja yang membuatnya jadi candaan.

 

"Habisnya gak pernah bawa pacarnya ke rumah," ucap Angga.

 

"Abang tuh gak kayak kamu yang slengean, dia elegan," ucapku membandingkan Angga dan Amran.

 

"Mulai deh, bunda ih."

 

Kupeluk anak itu, tidak baik menang membandingkan kakak beradik, karena setiap manusia punya karakter berbeda meskipun berasal dari rahim yang sama. Setiap anak itu istimewa.

 

"Eh, tapi Bun akhir-akhir ini aku tuh liat Abang berbeda."

 

"Beda gimana?"

 

"Beda aja, apa lagi saat dia melihat Ami."

 

Tiba-tiba saja terdengar suara Aqila menangis. Mau tidak mau aku sudahi perbincanganku dengan Angga. Kapan-kapan akan aku sambung lagi. Ternyata diam-diam Angga juga memperhatikan Abangnya.

 

****

 

Aku tengah menggendong Aqila di depan rumah. Tiba-tiba saja ada seseorang mengetuk pintu pagar. Buru-buru aku masuk ke dalam rumah untuk menaruh Aqila di tempat tidurnya.

 

Aku kembali ke luar dan langsung membuka pintu. Ternyata Ibu RT yang datang menagih uang keamanan dan sampah.

 

"Masuk dulu, Bu RT. Saya ambil uangnya," ucapku mengambil dompet.

 

Aqila menangis kencang. Sepertinya dia lapar. aku tidak bisa menggendongnya karena akan membayar uang sampah dan keamanan. Untung saja ada Amran yang datang langsung menggendong Aqila. Aku segera menghampiri Bu RT yang menunggu di luar.

 

"Ini, Bu uangnya," ucapku menyodorkan iuran bulanan yang ibu RT pinta.

 

"Makasih, Bu Atik. Ngomong-ngomong saya mendengar suara bayi menangis. Bayi siapa?" tanya Bu RT.

 

Aku bingung harus menjawab apa. Aku belum memikirkan apa yang harus dilakukan jika ini terjadi. Aku terlalu fokus mencari pelaku yang menghamili Ami sampai lupa keberadaan Ami di sini karena aku menemukannya di depan pintu.

 

"Anak saya, Bu RT," jawab Amran tiba-tiba.

 

"Walah, Mas Amran sudah menikah rupanya. Kapan Mas? Kenapa tidak ngundang?"

 

"Setahun yang lalu, Bu. Sengaja tidak mengundang siapapun karena lokasinya di kampung," jawab Amran yang tentu saja berbohong dan mengarang.

 

"Istrinya mana, Mas?" tanya Bu RT lagi.

 

"Lagi mandi, Bu. Tunggu sebentar jika memang mau bertemu," jawab Amran.

 

"Tidak usah, saya buru-buru," ucap Bu RT.

 

Dia pun segera berlalu meninggalkan rumah kami, mungkin mau menagih iuran di tempat lain. Seketika aku melirik ke arah Amran yang tengah menggendong Aqila. Ceroboh benar anak itu hingga bisa berbohong kepada Bu RT.

Bagaimana kalau dia benar-benar ingin melihat menantuku.

 

"Kamu ini gimana sih, kalau Bu RT tadi beneran nunggu gimana?"

 

"Aku kasihan sama Aqila, Bun. Dia setiap hari di rumah dan tidak pernah keluar sekalipun. Bagaimanapun dia bagian dari keluarga ini dan tidak bisa terus di sembunyikan dari orang-orang."

 

"Iya, Bunda paham. Tapi tidak sekarang juga kita memberi tahu tetangga tentang Aqila. Bunda mau cari tahu siapa yang menghamili, eh menaruh Aqila di depan rumah kita," ucapku.

 

Hampir saja aku keceplosan bilang jika Ami hamil. Untung saja Amran tidak sadar dengan apa yang barusan aku ucapkan.

 

"Sekarang bagaimana jika tetangga datang dan bertanya istrimu di mana?" tanyaku.

 

"Nanti aku pikirkan lagi," ucap Amran seolah tidak bersalah.

 

Dua masalah belum kelar sekarang Amran menambah masalah baru. Dia seperti tidak tahu saja para tetangga di sini.

 

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status