Share

Bab 6

Sebaiknya kita tanya saja siapa pelakunya kepada Ami, dari pada Bunda terus mencurigai banyak orang."

 

"Tidak sekarang, Yah. Aku takut Ami stress dan bisa mempengaruhi kesehatannya."

 

Apakah aku bisa mempercayai suamiku sekarang? Dia terlihat tidak bersalah, tapi jujur saja aku masih mencurigainya. Siapapun bisa jadi tersangka yang menghamili Ami.

 

"Kasihan Ami. Dia pasti tertekan. Bagaimanapun aku menganggap gadis itu seperti anakku sendiri."

 

"Jujur aku curiga padamu, Yah" ucapku.

 

Mas Abi menatap mataku. Dia tersenyum kecil dan mulai meyakinkan aku bahwa dia tidak seperti yang aku tuduhkan.

 

"Atik, Sayang. Aku tidak pernah menyembunyikan apa pun dari kamu. Jika ingin selingkuh kenapa harus dengan Ami yang sudah kita anggap anak sendiri."

 

"Pernahkah ayah membaca kisah detektif? Pelaku utama itu biasanya adalah orang terdekat korban."

 

"Dalam kisah detektif pun biasanya yang dicurigai itu bukan pelaku sebenarnya," ucap Mas Abi seraya membelai pipiku.

 

Aku terus menatapnya dengan penuh tanya. Semoga dapat jawaban dari mata suamiku. Namun, dia malah tersenyum.

 

"Terserah Bunda saja jika memang mencurigai ayah," ucapnya seraya kembali berbaring di ranjang kembali melanjutkan tidurnya.

 

Tidak berapa lama terdengar dengkuran halus dari mulut lelaki berusia 47 tahun itu. Kupandangi wajah pria yang menemaniku selama dua puluh tujuh tahun. Aku tidak boleh lengah. Siapapun bisa jadi pelakunya dan secepatnya aku harus mencari tahu serta bukti.

 

****

 

Azan subuh berkumandang aku tengah mengganti popok Aqila. Bayi ini sangat pintar. Hanya menangis saat buang air dan lapar saja.  Tidak rewel sama sekali. Mungkin dia tahu jika bundanya ini sedang bingung jadi tidak ingin menambah kebingunganku.

 

Aqila terlihat lapar. Jariku yang menyentuh pipinya diemut bayi mungil itu. Aku segera membuatkan putri kecil ini minuman favoritnya.

 

Saat berjalan menuju dapur, aku melihat seseorang berdiri di depan pintu kamar Ami. Karena lampu tidak dinyalakan dan hanya sedikit cahaya dari dapur yang membuatku tidak tahu siapa orang yang berdiri itu. Karena penasaran aku segera menyalakan lampu.

 

"Amran? Ngapain di situ?" tanyaku.

 

Dia terlihat terkejut melihatku. Dengan gugup dan terbata-bata dia menjawab pertanyaan dan menjelaskan kenapa dia ada di situ.

 

"Eh, itu, anu, Bun. Aku hanya khawatir dengan Ami," jawabnya.

 

Aku segera menghampiri Amran dan mencoba membuka pintu kamar Ami. Syukurlah pintu terkunci dari dalam. Berarti Amran tidak dari dalam sana. Tapi tetap saja aku curiga terhadap anak sulungku itu.

 

Aku menatap tajam ke arah Amran. Inginku bertanya lebih jauh tapi tidak sekarang, Aqila sudah menangis karena lapar. Amran yang sadar aku mencurigainya langsung tersenyum dan menggaruk lehernya.

 

****

 

Sambil menggendong Aqila aku menemaninya keluarga sarapan. Tidak ada obrolan kali ini. Keluargaku hanya fokus menyantap makanannya.

 

Hanya ada Angga dan Mas Abi saja yang ada di meja makan. Sementara Amran entah pergi kemana. Ami juga masih belum makan bersama kami. Matanya pasti bengkak habis menangis semalam.

 

Aku menggendong Aqila yang menangis sampai ke depan pintu. Sepertinya dia bosan berada di dalam rumah terus. Sebenarnya aku sangat ingin mengajak Aqila keluar rumah sambil menikmati sinar matahari pagi. Namun, aku belum punya alasan jika ada yang bertanya  bayi siapa ini. Sebab aku masih memikirkan Ami.

 

Suara motor berhenti di depan pagar. Perlahan pagar terbuka dan Amran masuk. Entah dari mana anak itu.

 

"Selamat pagi, Bunda. Selamat pagi Aqila," ucap Amran.

 

"Dari mana kamu?" tanyaku.

 

"Beli bubur ayam buat Ami," jawabnya berlalu meninggalkanku.

 

Aku segera mengekor padanya. Benar saja dia ke kamar Ami. Dia memang akrab dengan Ami, tapi tidak sedekat ini. Jujur saja aku sangat mencurigainya sekarang. Semoga saja kecurigaanku salah. Bukan Amran orang yang menghamili Ami.

 

"Bunda, ngapain sih?" tanya Angga membuyarkan lamunanku.

 

"Gak, liat Abang yang peduli dengan Ami," jawabku.

 

"Abang mah memang ...." Angga tidak meneruskan kata-katanya.

 

"Memang apa?" tanyaku penasaran.

 

"Memang makanan aku," ucapnya sambil bernyanyi penggalan lagu Ipin Upin.

 

"Kamu ini."

 

"Aku berangkat ke sekolah ya, Bun," ucap bungsuku seraya mencium tanganku.

 

"Bunda!" teriak suamiku.

 

Aku berjalan menghampiri Mas Abi yang sepertinya mencariku.

 

"Ada apa, Yah?"

 

"Aku berangkat ke toko dan mungkin pulang terlambat."

 

"Kenapa?"

 

"Rencananya mau ke pabrik langsung melihat pesanan yang akan di kirim ke luar kota."

 

"Baiklah, Yah."

 

"Jaga Aqila baik-baik," ucapnya seraya mencium bayi mungil dalam gendonganku.

 

"Tunggu, Yah. Aku ikut," ucap Amran.

 

Amran segera pamit denganku dan berlari kecil menghampiri ayahnya. Aku segera masuk ke dalam kamar Ami. Dia sedang menikmati bubur ayam yang tadi dibawakan oleh Amran.

 

"Sudah merasa lebih baik?" tanyaku.

 

Dia mengangguk sambil tersenyum. Aku keluar dari kamar Ami karena Aqila menangis. Segera kutimang-timang bayi mungil dalam gendonganku hingga dia lebih tenang.

 

*****

 

Ucapan Angga yang terpotong tadi membuatku penasaran. Apa dia tahu kalau Ami dan Amran punya hubungan khusus? Jika pulang sekolah nanti aku akan mengintrogasi anak itu.

 

Jika memang Ami dan Amran punya hubungan spesial aku tidak akan marah. Senang malah karena anak sulungku itu normal sebab selama ini dia tidak pernah membicarakan perempuan apa lagi membawa gadis ke rumah ini.

 

Sebagai seorang ibu tentu saja aku takut jika anakku tidak normal, tapi sepertinya dia menyukai wanita dan itu membuatku tenang meski dia jadi orang yang paling aku curigai sekarang.

 

Suara ramai terdengar dari luar. Aku yang tengah makan siang langsung keluar. Terlihat beberapa orang berseragam putih abu-abu ada di teras. Tiga orang  perempuan dan empat orang laki-laki termasuk Angga tengah bercanda.

 

Seperti anak SMA pada umumnya. Mereka bercanda dan tertawa bersama tanpa beban. Masa sekolah dan masa mencari jati diri karena dalam kondisi transisi dari remaja menuju dewasa. Melihatku berdiri di depan pintu mereka semua terdiam.

 

"Assalamualaikum, Bunda," ucap Angga.

 

"Waalaikumsalam."

 

"Teman-teman ingin menjenguk Ami, Bun," ucap Angga lagi.

 

"Silahkan, Ami pasti senang melihat kalian," ucapku.

 

Mereka segera masuk ke dalam rumah dan menemui Ami yang ada di kamarnya. Aku mengekor pada mereka. Memperhatikan satu persatu teman-teman Ami ini. Terutama yang laki-laki.

 

Karena kamar Ami yang sempit aku menyuruh Angga dan teman-temannya ngobrol di ruang tamu saja. Mereka menuruti perintahku.

 

Ami terlihat senang ketika teman-temannya datang. Dia tertawa bersama. Syukurlah, anak itu sudah baik-baik saja. Namun, aku tidak lengah dan terus memperhatikan satu-persatu anak-anak SMA itu meski tidak ada yang aneh.

 

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status