Share

Bab 5

Kepalaku sakit memikirkan banyak hal. Lebih baik mandi air hangat untuk menyegarkan pikiran. Semua orang di rumah terlihat mencurigakan untukku.

 

Aku segera keluar dari kamar mandi dan masuk ke dalam kamar, terlihat Mas Abi, suamiku tengah menatap Aqila.

 

"Tumben sudah pulang?" tanyaku.

 

"Iya, Bun. Khawatir dengan kamu, merawat Aqila dan Ami. Tadi siang di toko kata Amran Ami sakit," jawab suamiku.

 

Mas Abi dan Amran memang mengelola toko furniture milik kami. Penghasilan dari sana lumayan bisa menghidupi keluarga kami.

 

"Ami bagaimana? Kenapa dia?" tanya Mas Abi.

 

"Biasa, masalah perempuan," jawabku.

 

Sebenarnya ingin sekali aku jujur pada Mas Abi, tapi takut. Sebab aku pun mencurigainya. Di sini ada tiga orang laki-laki yang aku curigai. Amran, Angga dan suamiku sendiri karena bagaimanapun aku tahu Ami, dia bukan perempuan murahan.

 

Untuk sementara aku sembunyikan semua masalah ini sendiri. Mencari jawabannya saat Ami sudah siap nanti. Untuk orang tua Aqila, itu nanti saja aku pikirkan, Ami lebih penting sekarang. Bagaimanapun dia sudah kuanggap sebagai putriku sendiri.

 

****

 

Kami tengah makan malam bersama. Berbincang santai sambil menikmati hidangan buatan Mbok Iin yang terhidang di meja. Biasanya Ami juga makan bersama kami. Namun kali ini dia tidak ikut karena masih lemas katanya. Aku tidak pernah membeda-bedakan antara pembantu dan keluarga. Oleh karena itu Mbok Iin betah bertahun-tahun menjadi asisten rumah tangga di rumahku. Bahkan membawa Ami serta tinggal di sini.

 

"Bun, kenapa Ami bisa pendarahan?" tanya Angga.

 

Tiba-tiba saja suamiku tersedak. Aku buru-buru menggambil air minum untuknya dan mengusap punggungnya agar lebih baik.

 

"Pendarahan?" tanya suamiku.

 

"Iya, pendarahan saat datang bulan. Itu biasa terjadi karena stress dan perubahan hormon," jawabku.

 

"Kirain cuma orang yang habis melahirkan saja yang bisa pendarahan," ucap Angga dengan polosnya.

 

"Kamu itu taunya cuma game. Dulu waktu Abang SMA pernah punya teman yang tiap sebulan sekali pasti tidak masuk sekolah karena datang bulan. Dia selalu pendarahan dan membuatnya lemas."

 

Angga hanya membulatkan mulutnya tanpa suara dan kembali asyik menyantap makanannya. Masih polos kah anak itu atau hanya pura-pura. Mas Abi pun tidak kalah mencurigakan. Yang terlihat tenang hanya Amran, tapi aku tidak boleh lengah. Pelaku yang menghamili Ami bisa jadi di dalam rumah ini sendiri karena Ami yang jarang keluar.

 

*****

 

Waktu menunjukkan pukul 22:00 WIB. Mataku enggan terpenjam, mungkin karena tadi siang sempat tertidur jadi sekarang belum bisa terlelap. Aku beranjak dari tempat tidur menuju ke dapur untuk membuat segelas susu hangat.

 

Segelas susu hangat telah siap, aku harap dengan meminumnya membuatku rileks dan bisa tidur nyenyak. Aku berjalan perlahan menuju meja makan. Sayup-sayup terdengar suara orang tengah menangis. Bulu kudukku meremang karena suara tangisnya begitu menyayat hati. Siapa yang menangis malam-malam begini?

 

Mataku tertuju kepada sebuah kamar. Tidak lain dan tidak bukan suara itu berasal dari kamar Ami. Kenapa gadis itu menangis? Apa mungkin perutnya sakit.

 

Aku langsung masuk ke dalam kamar tanpa mengetuk pintu. Untung saja pintu tidak di kunci. Kuhampiri Ami yang terkejut melihatku ada di kamarnya. Matanya basah, aku segera duduk di tepi ranjangnya.

 

"Mi, perut kamu sakit?" tanyaku.

 

Ami menggeleng sambil mengusap wajahnya. Dia terlihat begitu tertekan. Tak tega menanyakan banyak hal padanya sekarang meskipun dalam kepalaku banyak yang ingin kutanyakan.

 

Kusodorkan segelas susu hangat yang ada di tanganku. Dia menyuruhku menaruhnya di atas meja, tapi di meja banyak makanan yang belum di buka, mungkin dia belum makan apa pun dari tadi.

 

"Minumlah," ucapku.

 

"Baik, Bu."

 

Dia menuruti perintahku dan meminum sampai habis susu hangat yang kubuat.

 

"Jika ingin bicara, bicarakan padaku. Aku tidak akan marah atau menghakimi kamu. Di sini aku  merasa bersalah karena tidak bisa menjagamu," ucapku mengelus kepala Ami.

 

"Ibu, maaf," ucap Ami sambil menangis.

 

"Berhentilah menangis. Jika terus begini kamu akan ketahuan."

 

Ami menghapus air matanya. Kubelai lembut rambut gadis manis itu.

 

"Tidurlah, sudah malam. Jangan menangis lagi ada aku bersamamu." ucapku menenangkan Ami.

 

Aku pergi dari kamar Ami setelah dia lebih tenang. Niatnya mau membuat susu hangat kembali, tapi kuurungkan niat itu dan memilih untuk ke kamar saja.

 

"Bun, dari mana?" tanya suamiku.

 

"Dari kamar Ami, Yah."

 

"Kenapa dia?"

 

"Tidak apa-apa, hanya ingin melihatnya saja. Bagaimanapun aku menganggapnya sebagai anak sendiri dan khawatir."

 

"Kamu memang ibu yang hebat. Bisa memahami perasaan anak-anakmu," ucap suamiku.

 

Haruskah aku ceritakan yang sebenarnya tentang Ami kepada Mas Abi agar beban ini sedikit berkurang? Atau terus mencurigai suamiku itu sebagai pelakunya.

 

Tak sanggup lagi menahan beban ini sendirian, akhirnya aku putuskan untuk bicara yang sebenarnya kepada Mas Abi, tapi aku akan terus pantau pergerakannya setelah kuberi tahu dia. Kuhela napas panjang dan mulai berbicara.

 

"Sebenarnya Ami keguguran, Yah," ucapku.

 

"Apa?"

 

"Jujur saja aku mencurigai orang dalam rumah ini."

 

Mas Abi menatapku. Dia sadar jika aku mencurigainya. Aku pun menatap balik mata suamiku mencari kebenaran di sana.

 

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status