Share

Bab 4

Kutarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Menghampiri Ami yang masih menangis. Kupeluk erat gadis manis itu. Gadis yang kuanggap sebagai anakku sendiri.

 

"Bu, maaf," ucapnya.

 

Aku bingung harus berbicara apa. Di otakku ingin bertanya banyak hal kepada Ami. Namun, aku takut malah membuatnya tertekan. Karena bisa saja dia korban dari laki-laki tidak bertanggung jawab.

 

Air mata menetes dari kedua mataku. Ada rasa kecewa dalam diri ini. Aku merasa gagal melindungi Ami hingga dia menjadi seperti ini.

 

"Bu, Ami mohon maaf," ucapnya.

 

"Semua bukan salahmu, ini salahku karena tidak bisa menjagamu dengan baik."

 

"Bu, tolong rahasiakan ini dari ambu. Ami tidak ingin beliau sedih," pinta Ami.

 

Satu botol cairan infus sudah habis, Ami di izinkan pulang. Kami tengah menunggu obat. Angga terlihat asyik dengan ponselnya. Anak itu bermain game online untuk mengatasi rasa bosan. Sementara Ami masih menundukan wajahnya. Dia tidak berani menatapku.

 

Aku sangat ingin tahu yang sebenarnya terjadi. Siapa yang tega merayu Ami hingga membuatnya hamil dan mengugurkan kandungannya. Aku tahu betul Ami jarang keluar rumah.

 

Ami anak rumahan yang jarang keluar rumah. Hanya sekolah dan sesekali pergi bersama teman-temannya itu pun Angga pasti ikut karena mereka sekelas. Biasanya izin untuk mengerjakan tugas sekolah.

 

Masalah Aqila belum selesai, ada masalah baru lagi. Haruskah masalah Ami kuceritakan pada suamiku? Jujur saja aku mencurigainya juga.

 

****

 

Wajah mbok Iin sangat cemas dan langsung memapah putrinya begitu kami tiba di rumah. Aku tahu perasaan khawatir Mbok Iin sekarang. Anak satu-satunya sedang tidak sehat.

 

"Mbok, Aqila mana?" tanyaku.

 

"Sama Amran, Bu," jawab mbok Iin.

 

"Lho, Amran sudah pulang?" tanyaku lagi.

 

"Sudah, Bu dia langsung pulang saat menelpon rumah dan saya bilang ibu ke rumah sakit."

 

"Ya sudah, suruh Ami istirahat dan minum obatnya secara teratur," ucapku menyerahkan kantung plastik berisi obat yang harus diminum oleh Ami.

 

"Ami kenapa, Bun?" tanya Amran dari dalam rumah.

 

"Dia hanya kurang darah. Maklum perempuan," ucapku berbohong.

 

"Iya, tadi di sekolah aja sampai ganti rok gara-gara tembus," ucap Angga.

 

"Kamu itu kalau gak sehat libur dulu kenapa sih," ucap Amran memarahi Ami.

 

Amran terlihat begitu khawatir hingga memarahi Ami. Sulungku itu memang sangat pengertian dan penyayang. Buktinya Aqila yang baru sehari ada di sini saja Amran sangat menyayanginya.

 

"Amran, biarkan Ami istirahat, dia butuh itu," ucapku.

 

"Iya, Bu." jawab Amran.

 

Kepalaku terasa sakit memikirkan ini semua. Aku bingung masalah mana yang harus aku pecahkan, siapa yang menghamili Ami atau orang tua Aqila. Jujur aku sangat pusing sekarang.

 

Berjalan perlahan menuju ke dalam kamarku. Melihat Aqila yang tertawa dalam tidurnya membuatku ikut tersenyum. Bayi mungil yang tidak tahu apa-apa itu jelas korban sebenarnya di sini. Akibat keegoisan orangtuanya hingga membuang bayi tidak berdosa itu. Namun aku bersyukur karena menemukan Aqila. Serta berterima kasih kepada orangtuanya yang tidak membunuhnya.

 

Membaringkan tubuhku di samping Aqila. Menatap wajah bayi berusia sehari itu membuatku sedikit lebih tenang. Sesekali dia menggeliat. Lucu sekali anak perempuanku ini.

 

Perlahan mataku terpejam. Semalam memang kurang tidur. Akhirnya aku benar-benar terlelap.

 

*****

 

Suara tangisan Aqila membangunkan tidurku. Segera aku memeriksa bayi mungilku yang sepertinya pipis. Aku mengganti popok Aqila, setelah selesai aku menggendongnya untuk keluar dari kamar.

 

Berjalan perlahan menuju kamar Angga. Langsung masuk ke dalam dan terlihat putra keduaku itu tengah berbincang dengan seseorang lewat telepon. Melihat kedatanganku dia menyudahi panggilannya.

 

"Udah dulu ya."

 

"Nelpon siapa, nak?" tanyaku.

 

"Temen, Bun."

 

Angga melirik ke arah Aqila. Namun, menyadari aku memperhatikannya, dia langsung memalingkan wajahnya. Aku tahu karakter anak keduaku ini. Dia tidak mudah akrab dengan orang baru meski bayi sekalipun.

 

"Abang, aku Aqila. Kamu mau gendong gak?" ucapku menirukan suara anak kecil.

 

"Bunda apaan sih."

 

"Liat nih, Aqila itu bayi yang manis, Abang Amran saja suka sama dia," ucapku menyodorkan.

 

Angga hanya melihat sesaat dan kembali fokus dengan ponselnya.

 

"Bunda emang gak cape ngurusin bayi?" tanyanya tiba-tiba.

 

"Bunda malah senang karena ada kesibukan, kamu kan tiap hari sekolah dan kalau di rumah sibuk sama hp. Jadi gak bisa Bunda ajak main. Sekarang ada Aqila yang nemenin bunda."

 

"Ya sudah rawat saja, gak usah di kasih ke panti asuhan," ucap Angga.

 

Mudah sekali anak itu berubah pikiran. Padahal dari tadi malam dia yang tidak ingin aku merawat Aqila. Aku meninggalkan kamar Angga dan pergi ke kamar Ami. Aku ingin tahu kondisinya.

 

Kamar Ami terletak tidak jauh dari kamar Angga. Dia tidur sendiri tidak bersama dengan mbok Iin. Aku pikir kasihan jika seorang gadis masih tidur bersama ibunya. Aku pun pernah menjadi gadis yang butuh privasi.

 

Pintu kamar Ami tidak dikunci. Setelah mengucapkan salam aku langsung masuk ke dalam. Ami terbaring di ranjangnya. Wajahnya sudah tidak terlalu pucat.

 

"Sudah merasa lebih baik?" tanyaku.

 

Dia mengganguk tanpa mengeluarkan suara. Ami terus memandangi Aqila yang berada dalam gendonganku. Entah apa yang dipikirkan gadis itu. Apakah dia menyesal telah mengugurkan kandungannya? Aku duduk di tepi ranjangnya.

 

"Kamu sudah makan?"

 

"Sudah, Bu."

 

"Istirahatlah, kamu butuh itu untuk memulihkan diri."

 

Aku segera bangkit dari tempat duduk dan pergi meninggalkan Ami yang masih butuh banyak istirahat. Saat aku ingin keluar dari kamar. Terkejut karena Amran berdiri di depan pintu.

 

"Amran? Ngapain?"

 

"Eh, itu, Bun. Aku beli buah naga dan jeruk untuk Ami katanya bagus untuk menambah darah."

 

Amran tersenyum sambil menatap Ami. Sementara Ami menundukkan kepalanya. Aku hanya bisa melihat mereka secara bergantian. Ada apa ini? Kenapa mereka mencurigakan.

 

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status