"O ... iya! Saking terlalu bahagianya, hingga aku terlupa menanyakan alasanmu kenapa pagi pagi sudah berada di kantorku? Apa ada yang bisa kubantu?" tanya Pak Damar sambil kembali ke kursi kerjanya. Melepaskan jas yang ia pakai, dan meletakkannya di sanderan kursi sebelum ia duduki."Aku ingin melihat berkas perceraian Anakku, Alfaris Harmaka Agung, bisa?" tanya Papa Adi, yang duduk di samping Mama Via yang masih terisak."Faris?! Kalau dia anakmu, kenapa tak kau tanyakan langsung padanya, Di?" Dengan heran Pak Damar balik bertanya dengan kedua mata memandangi wajah Papa Adi, terlihat bingung."Anakku ... dia baru sadar dari pingsan selama kurang lebih tujuh bulan akibat kecelakaan yang dialaminya. Jadi berkas itu masih ada di sini. Lagi pula hubungan kami masih belum sehat," jawab Papa Adi yang dibalas anggukan pelan Pak Damar tanda mengerti situasinya."Ita, tolong bawa berkas Alfaris Harmaka Agung dari perusahan AVA!" perintah Pak Damar pada seseorang melalui pesawat interkom."Ba
"Waktu itu ... aku melihatnya sedang duduk sendiri di kursi depan kantin kampus, aku pikir itu kesempatan untuk mendekat. Namun, saat sudah berada di depannya, barulah tampak dengan jelas kalau dia sedang menangis. Lalu aku bertanya, apakah aku boleh duduk bersamanya? Kulihat Ana tampak terkejut waktu itu, mungkin dia tidak menyangka kalau aku bakal menyapa, bahkan izin untuk duduk bersamanya." Pak Damar menghentikan ceritanya dengan sebuah tarikan nafas panjang. "Agak lama dia membuatku menunggu izin untuk duduk, dan saat aku sudah mulai menyerah, aku mundurkan langkahku dua langkah, kemudian terdengar suaranya menahan langkahku. Dengan suara yang serak akhirnya dia mengizinkan aku duduk bersamanya.Tangan kanannya mempersilahkanku ke kursi di depannya bukan di sampingnya. Tapi tak apa, untukku, itu sudah merupakan awal yang bagus bukan?!" Mama Via terlihat ikut tersenyum saat dari sudut matanya yang melirik, melihat pak Damar melakukan hal yang sama. "Sungguh! Aku senang sekal
Dengan menggunakan dua mobil yang berbeda. Perjalanan menuju ke makam Ana berjalan lancar hingga sampai kawasan di perbatasan kota, mobil yang dikendarai Pak Damar berjalan lebih lambat, karena memasuki perkampungan padat penduduk yang memiliki luas jalan hanya cukup untuk satu mobil. Kemudian mobil Pak Damar berhenti di sebuah pemakaman umum yang rimbun karena banyak pohon kamboja yang menaungi. Makam yang berderet deret rapi dan bersih, banyak pedagang kaki lima yang mencari rejeki di sekitar pemakaman. Pak Damar melangkah keluar mobil, setelah memarkir mobilnya di tempat yang tak jauh dari pintu gerbang. Di ikuti oleh Papa Adi dan Mama Via, yang memarkir mobil di sebelah kanannya. Baru hendak melangkah menuju pintu masuk kawasan pemakaman, tampak seseorang yang berlari sambil memanggil Pak Damar."Ada apa, Jo?" tanya Pak Damar saat orang yang memanggilnya itu sudah berjarak satu meter. "Pak Damar, terima kasih atas pemberiannya, saya dan keluarga sangat terbantu dengan pembe
"Kenapa nggak langsung naik ke atas?" Semua orang seketika mendongakkan wajah saat terdengar suara menyapa.Ternyata yang turun adalah Umi, penanggung jawab panti. Umi dengan senyuman yang khas, beliau menyambut tamunya dengan pertanyaan. "Bu, masih ingat saya?" tanya Pak Damar yang sudah berdiri, menghampiri dan mengajak bersalaman dengan orang yang baru saja menuruni tangga. Seakan dejavu. Umi terhenyak, bibir yang semula di hiasi senyuman berubah terkatub, seakan terkenang lagi saat bertemu pria yang berada di depannya berpuluh tahun silam."Bapak ... bapak kandungnya Ivana, kan? Anda yang pernah membawa Ivana ke sini saat itu, benar bukan?" runtut Umi seketika hingga suasana berganti haru, saat tahu siapa yang berada di hadapannya saat itu."Iya, Bu! Saya ayahnya Ivana, sudah bertahun tahun saya mencari anak saya dan panti ini, Namun setiap tahun rupanya panti ini selalu berpindah pindah. Maaf kalau baru sekarang bisa datang, dan menjemput Ivana," jawab Pak Damar tak kalah h
Begitu sampai di dapur ternyata Ayah Damar dan Papa Adi sudah tak ditemukannya. Hanya terdengar suara mereka, yang sesekali tertawa dari arah ruang tamu."Ma, mau makan apa?" Sengaja Ivana mengambilkan piring untuk mantan mertuanya. "Nggak usah, Mama nggak pengin makan, kenyang! Kamu aja Yang makan, aku mau balik ke cucuku aja," tolak Mama Via dengan senyumnya, kemudian tanpa menunggu jawaban dari Ivana, langsung berbalik arah kembali menaiki tangga."Ma! Makan dulu, ayo! Nanti sakit loh!" ajak Ivana mencoba memaksa Mama Via untuk makan bersamanya."Nggak, Mama masih kenyang!" jawab Mama Via tanpa menoleh lagi. Terus melangkah ke kamar cucu-cucunya.Ivana hanya bisa tersenyum melihat sikap Mama pada bayinya. Akhirnya perempuan cantik itu pun menikmati makannya sendirian. ****"Va, anakmu bangun tapi nggak nangis, Umi bawa ke ruang tamu, ya?" ujar Umi yang tiba tiba sudah berada di belakang punggungnya sembari menggendong bayi. Di belakangnya ada Mama Via yang juga menggendong bayi
"Ayah ... maap, aku sebenarnya ingin di sini saja, karena aku dan Rizal sudah sepakat tidak pindah dari Panti.""Maksudmu? Apa hubungannya dengan Rizal?" Kening ayah Damar seketika berlipat mendengar jawaban putrinya. "Saya dan Ivana ... kami berniat akan menikah setelah Ivana menyelesaikan ujiannya, Pak." Rizal yang semula hanya diam saja memperhatikan, kini mengambil sikap untuk mengatakan lamarannya kepada Ayah Damar. "Jadi, kau sudah berniat mau menikah lagi, Va?" Dengan hati-hati Ayah Damar bertanya pada putrinya. "Ayah ... sebenarnya masih ingin berdua denganmu, tapi kalau kamu sudah yakin dengan kemauanmu, Ayah hanya bisa berdoa untuk kebahagiaanmu," ucap Ayah Damar sambil tersenyum tulus, sesaat setelah melihat anggukan anak perempuannya itu."Kapan kau akan datang bersama orang tuamu? Untuk yang satu ini, harus di rumah Ayah, Ivana masih punya Ayah, dan ini tak boleh di tolak oleh siapa pun." Ayah Damar terlihat tak ingin kecolongan lagi, hingga membuat pernyataan tak
[Ma, posisinya lagi di mana?]Terdengar suara Naya di ponsel Mama Via, saat beliau masih berada di dalam mobil, perjalanan menuju ke rumah sakit. [Ini, Mama sudah dalam perjalanan ke rumah sakit, ada apa, Nay?] [Jangan ke rumah sakit, Mas Faris sudah boleh pulang tadi, cuman dia bersikeras maunya pulang dengan si Annabelle.][Pulang ke mana? Memangnya Bella tadi ke sana?]Mama Via bertanya dengan mata menyipit.[Iya ... tadi Annabelle ke sini, tapi sekarang sudah pergi bareng Mas Faris. Jangan tanya ke mana, karena aku pun tak tahu, nggak dipamitin tadi.]Mama Via tersenyum saat mendengar suara Naya yang terdengar sedikit kesal.[Ya ... udah Nay, kami ini sudah mau pulang? Mama jemput atau gimana?][Nggak usah, Ma. Ada Dimas yang nemani aku. Cuman mau laporan tentang Mas Faris aja, kok!][Ooo, gitu. Ya udah, Mama dan Papa langsung pulang aja ya, hati-hati ya Nak Cantik.][Iya, Ma. Makasih. Assalamualaikum.][Wa alaikum salam.]Mama menutup pembicaraan lewat ponsel dengan Naya, sambi
"Selamat pagi, Sayangku," bisik Bella tepat di telinga lelaki tampan yang sedang tertidur, dengan badan yang ditutupi selimut coklat. Hanya menyisakan bagian dadanya saja yang terekspos. Membuat Faris terlihat tampak seksi."Mmm ...." jawab Faris, tanpa membuka matanya."Mandi dulu ya, aku udah masakin kamu makanan yang paling kamu sukai," rayu Bella pada Faris."Mmm ...." Lagi. Hanya deheman tanpa gerakan yang berarti dari Faris, hingga membuat Bella gemas melihatnya."Yaang, ayo bangun! Mandi sana!" Sambil memeluk punggung Faris dari belakang, Bella kembali membangunkan lelakinya. "Apa yang sedang kamu lakukan pagi pagi begini di sini, Sayang?" tanya Faris dengan kening berlipat. "Apa kamu lupa tentang penyatuan kita semalam?" tanya Bella dengan ekspresi mata yang membulat sempurna. Faris terdiam, seperti sedang memikirkan sesuatu."Kamu sungguh melupakan apa yang telah terjadi dengan ki-""Tidak, aku tidak melupakannya."Faris sengaja memotong ucapan Bella dan segera turun dar