"Mau ke mana kita, Pak?" tanya Rahmat, saat lirikan matanya yang melihat Pak Damar sedang memesan tiket pesawat secara on line."Ke singapura!" jawab Pak Damar singkat. "Malam ini juga, Pak?"Lagi Rahmat bertanya dengan wajah terkejut. "Ya, malam ini juga, aku harus menyelesaikan urusan yang terjadi dua puluh tiga tahun yang lalu." Sambil melangkah mendekati Papa Adi dan Mama Via, saat sudah berada di halaman Polres."Mau ke mana, Dam? Kita pulang dulu ke panti!" ujar Kakek saat melihat Pak Damar yang sudah berpamitan ke Papa Adi dan Mama Via."Aku harus menyelesaikan urusanku, Pa. Harusnya urusan ini selesai dua puluh tiga tahun yang lalu, tapi entah kenapa orang ini masih tidak lelah berurusan denganku," ujar Pak Damar sambil memeluk Kakek dan menciumi punggung tangannya."Kau mau ke Singapura malam ini, dan mau ketemu dengan si Dewi, bukan begitu, Dam?" tebak Kakek yang hafal dengan kelakuan putra tunggalnya."Iya! Aku harus bertanya langsung apa maunya hingga mengobrak abrik ke
Karena berhasil yakin atas ucapan si supir taksi, akhirnya Pak Damar dan Rahmat, melangkahkan kakinya untuk turun dari mobil dan segera menemui satpam agar bersedia membukakan pintu gerbangnya."Apakah bapak sudah apa janji sebelumnya dengan Nyonya saya?" tanya Pak Satpam yang sepertinya akan mempersulit keadaannya maka dengan segera, Pak Damar menelpon langsung Dewi.[Halo, Dewi, aku Damar, ada yang ingin kubicarakan padamu,] saat telponnya langsung di terima oleh Dewi.[Ok, aku akan katakan pada satpam yang jaga kalau kau adalah tamuku dan untuk mengantarmu ke sini,] jawab Dewi yang kaget dan bingung, kenapa Pak Damar tiba tiba saja menghampirinya di Singapura.[Terima kasih, aku tunggu!]Benar saja, setelah ponsel milik Pak Damar di matikan. Interkom di pos satpam berbunyi, dan terdengar suara Dewi yang menyuruh agar tamunya segera di antarkan masuk ke rumah.Mendengar perintah dari Nyonyanya, langsung saja sikap dari satpam yang tadi tampak mengerikan, berganti ramah dan penuh ke
Tiba tiba Damar berbalik dan melangkah kembali mendekati Dewi yang sudah kembali merubah ekspresinya dengan raut muka di bikin sedih."Kau harusnya juga minta maaf pada mereka yang kehilangan Ana karena kamu, selain aku," ucapnya dengan suara tegas dan mata yang fokus pada wajah Dewi seperti sedang mendakwa bersalah pada seseorang."Apa maksud perkataanmu tentang kehilangan Ana karena aku, bahkan aku tak pernah bertemu dengan wanita yang kau sebut itu, apalagi sampai menyentuhnya, bagaimana bisa aku yang jadi penyebab dia mati?" tanya Dewi dengan suara kembali lantang "Kamu sadar nggak sih, semuanya terjadi karena kamu!" tunjuk Dewi tepat di wajah Damar."Kamulaaah penyebab segalanya! Kalau dari awal kau bisa menjaga sikapmu untuk tidak berlebihan padaku, tentu aku tak mungkin berharap lebih padamu, lalu kau berbeda setelah bertemu dengan Ana, perempuan yang dengan murahnya menjual dirinya padamu demi uang untuk Via, dan sekarang kau menyalahkan segala sikapku yang menunjukkan kalau
Sore itu, di panti tampak ramai, selain karena Pak Damar yang sudah datang, juga karena kedatangan keluarga Naya lengkap."Bagaimana kabarnya Dewi, Dam. Dia sehat?" tanya Mama Via yang baru tahu kalau kemarin Pak Damar menemui Dewi di Sungapura. Saat mereka hanya berdua saja di teras."Dewi sehat badannya, Namun, entah dengan otaknya?" Ayah Damar menjawab setelah dirinya membuang nafas panjang, tadi. "Jangan mendoktrin dia seperti itu, bagaimana pun dia adalah teman kita juga, mungkin dia merasa kita yang menyakitinya, karena kita tidak tahu bagaimana cara dia memandang kita."Mama Via tampaknya berusaha untuk tidak membuat ayah Damar kembali kesal."Kita sudah tak pernah di pandangnya lagi sebagai teman, Vi. Kebencian sudah mendiami hatinya, hingga meski pun kita menjelaskan sedetail apa pun, dia tak akan pernah mau paham.""Apakah menurutmu aku perlu mendatanginya dan meminta maaf karena Ana?" tanya Mama Via sambil memandang Papa Adi yang terlihat mendekat menghampiri."Aku pikir
"Ivana ingin pulang ke rumah Ayahnya karena di sana ada kenangan bersama sang Ibu. Setidaknya bisa merasakan rumah keluarganya, itu kata Ivana.""Damar pasti bahagia banget, aku jadi iri." "Sabar, Ma. Kan nanti bisa giliran." Umi mencoba menenangkan hati Mama Via.Akhirnya setelah berbasa basi sebentar, Mama Via meninggalkan kamar kerja Umi.Di teras ternyata sudah berkumpul Ivana dan Naya serta Faris.Sambil tersenyum, semuanya menyambut kedatangan Mama Via yang heran dengan senyum mereka."Mama dari mana?" tanya Naya sambil memberikan tempat di sebelahnya untuk di duduki Mamanya."Dari Umi," jawab Mama Via dengan singkat."Ngapain ke Umi? Mau minta tolong buat ngomong ke Ivana biar si kembar nggak di sini dulu ya?" tanya Ayah Damar sambil tersenyum, alisnya turun naik meniru kebiasaan Mama Via, jika tengah mengganggunya. Mama Via yang sadar kalau sedang di goda, melempar bantal sofa ke Ayah Damar. Namun, untung Ayah Damar sempat menghindar sehingga tidak kena."Bukan gitu, Ma.
Ini adalah perpisahan ke dua, setelah sebelumnya Ivana meninggalkan panti karena menikah, dan kini kembali meninggalkan panti untuk keselamatan si kembar.Setelah pamit pada Umi dan pengurus panti yang lain, akhirnya rombongan berangkat malam itu juga ke rumah Ayah Damar. Sekitar satu jam perjalanan, akhirnya rombongan sampai ke kediaman ayah Damar.Mungkin karena sudah hafal dengan mobil yang di pakai oleh Pak Damar, seorang satpam berlari membukakan pagar. Dengan membungkukkan badannya sedikit saat rombongan mobil masuk ke halaman. Dan kembali menutup pagar."Selamat datang, Ghani dan Ghina di rumah Baba," ucap Ayah Damar sambil menoleh ke belakang, di mana ada Ivana dan Naya yang sedang menggendong si kembar."Baba? Apa itu Baba, Yah?" tanya Naya yang merasa asing dengan panggilan yang di sematkan oleh Pak Damar."Baba singkatan dari Mbah, Nay. Seperti keluarga Ibu Ana." Ivana membantu menjawab pertanyaan dari Naya."Eee ... Bagus juga ya, nggak kelihatan kalau dari Mbah," kata N
"Mas menunggumu bercerita," ujar Faris setengah berbisik pada Naya sambil menggengam tangan adik perempuan satu satunya itu. Di dalam mobil saat perjalanan pulangKaget! Naya menatap tajam kakak laki lakinya dengan dahi yang sedikit mengerut. Namun, di balas Faris dengan senyuman dan tatapan hangat.Naya masih seperti tak percaya dengan perubahan yang amat sangat berbeda dari Faris. Perhatian itu pernah ia rasakan sebelum ada Bella di kehidupan Faris. "Cerita apa maksudmu, Ris?" tanya Papa Adi yang masih menyetir, sambil sesekali memandang mereka lewat kaca spion. Rupanya telinga awasnya masih mendengar bisikan Faris pada Naya.Naya yang terkejut tak menyangka Papanya mendengar. Seketika menarik tangan Faris dan menatap kakaknya sambil melotot."Cerita tentang Ghina, Pa. Saat tadi di mobil tanpa aku. Apakah rewel, apa gimana?" bohong Faris menutupi yang sebenarnya terjadi. Kemudian tertawa saat berpaling pada Naya yang sedang menarik nafas panjang."Kamu harus lebih dewasa, Nak. Ada
"Nay, kamu juga maukan bila Papa suruh untuk merubah penampilan dengan menggunakan hijab? Akan tetap cantik kok, Nak. Malah akan tampak terlihat lebih elegant." Papa Adi bertanya saat mereka sedang dalam perjalanan menuju ke Mall."Iya, Papa aku mau, aku siap. Bismilllah." Naya yang sebenarnya dari dulu ingin sekali berhijab langsung menyetujui permintaan Papanya."Alhamdulillah. Akhirnya aku bisa tenang kalau suatu saat harus lebih dulu meninggalkan kalian," lirih suara Papa, Namun mampu membuat Mama Via dan Naya menoleh bersamaan."Papa!" pekik Mama Via dan Naya bersamaan. Dan hanya di tanggapi oleh senyuman oleh Papa Adi."Urusan umur kan kita nggak ada yang tahu, Papa hanya berusaha meninggalkan yang terbaik buat kalian, buat keluarga Papa," ujar Papa sambil terus fokus ke jalan sambil sesekali mencuri pandang pada Mama Via dan Naya. "Jangan di omongin, Pap. Ngeri! Biar yang rahasia jadi rahasia, kita jalani aja yang ada. Toh nanti pada akhirnya kita akan tahu arahnya." ujar N