Vilia tersenyum saat membaca pesan dari Giant. Saat ini Giant dan Rian masih antri menunggu pak Pramono. "Keren... luar biasa ... hari ini semua lembur termasuk KaJurnya," gumam Vilia.
Dengan tergesa-gesa Zeni menghampiri Vilia. "Vilia kamu ada acara?" "Ada apa Zeni? kamu kelihatan khawatir?" Vilia mencoba menelisik raut wajah Zeni. "Aku minta tolong antar ke Stasiun ya?" pinta Zeni menunjukkan raut wajah yang memelas. "Kamu mau kemana? Ini sudah sore lho?" selidik Vilia. "Aku disuruh pulang sekarang, ada kepentingan mendesak?" Zeni berbicara dengan nada cemas. "Oke, kamu mau ke kos dulu atau terus ke stasiun?" tawar Vilia. "Terus ke stasiun saja Vil, ini aku sudah pesan tiket kereta secara online." "Oke," jawab Vilia. Keduanya segera berjalan menuju parkiran motor di depan gedung Auditorium. Sepeda motor metic membawa keduanya menuju stasiun yang terbesar di kota Surabaya. Lalu lintas sore ini macet sehingga membutuhkan waktu agak lama menuju ke stasiun. "Aku antar sampai depan stasiun ya, ini sudah Maghrib nanti kemaleman sampai di rumah." ucap Vilia sembari Zeni turun dari motor. "Oke, terima kasih Vilia. Vilia melambaikan tangannya dan mulai melajukan motornya menjauh dari stasiun. Musholla kecil didalam area stasiun menjadi tempat istirahat setelah selesai menunaikan sholat jamak. Zeni memakan snack sisa yang masih ditasnya sembari menunggu waktu pemberangkatan kereta. Rasa lelah seharian sudah terbayar saat Zeni berhasil menyelesaikan kendala terkait persyaratan tugas pengabdian masyarakat. Dia mengeluarkan kertas dari dalam tasnya dan mulai membaca ulang terkait jadwal pelaksanaan. Tertegun Zeni saat melihat di kertas tersebut tercantum nomor ponsel. Dahinya berkerut memikirkan kepemilikan nomor ponsel tersebut. Senyum usil tersungging dibibirnya. Tanpa menunggu waktu lama nomor ponsel tanpa nama sudah tersimpan di memori ponselnya. Tap... tap.... tap..... suara langkah kaki Zeni terdengar di area tunggu penumpang kereta. Dia mencari kursi yang kosong untuk ditempati. "Pemberangkatan kereta masih Lima belas menit lagi," gumam Zeni dengan melihat jam dilayar ponselnya. Dia merasakan tenggorokan haus, segera dia menuju mini market yang tempatnya tak jauh dari tempat duduknya. Dua botol air mineral sudah ditangannya. Segera dia kembali ke tempat duduk dan menghilangkan dahaga di tenggorokannya. Setengah botol air mineral sudah tandas. Frans keluar dari mini market stasiun, sorot matanya tertuju pada gadis berjilbab hitam yang sedang duduk. "Sepertinya aku pernah lihat gadis tersebut," gumam Frans sambil berjalan menuju kursi yang kosong. Terkejut Zeni melihat Frans yang berjalan menuju arahnya. "Kamu mau kemana?" tanya Frans dengan menduduki kursi yang kosong. "Aku mau mudik," dengan acuh Zeni menjawab pertanyaan Frans. "Besok ada kuliah-kan? kamu juga sedang sibuk di kepanitian?" cecar Frans memperlihatkan rasa ingin tahu. Zeni terkejut mendengar pertanyaan Frans, tadi Zeni tidak berpikir kalau dia sedang sibuk dikepanitiaan. "Heem... tadi aku terburu-buru Frans, padahal deadline distribusi surat harus kelar Minggu ini." "Aku bisa bantu kamu, kalau kamu ada kepentingan mendesak, tak usah sungkan," tawar Frans. "Iya, terima kasih, maaf sudah merepotkanmu Frans, kamu mau kemana?" "Sama kayak kamu, ke Ngawi?" jawab Frans datar. " Kamu di gerbong berapa Zen?" "Gerbong 10," jawab Zeni "Beda gerbong sama aku, tapi nanti kita ketemu di stasiun pemberhentian ya, ini sudah malam," ajak Frans. "Aku dijemput saudara di stasiun Frans, kamu serius mau membantuku dikepanitiaan? kita kan beda jurusan? "Iya, aku serius Zen? apa yang bisa aku bantu,? tawar Frans "Aku mudik tiga hari, boleh minta tolong untuk mengantarkan surat ini ke kajur?" sembari menunjukkan 4 amplop yang didalamnya berisi surat kepanitian. "Tentu saja, apa hanya ini? kamu bilang deadline Minggu ini selesai, kamu juga mudik tiga hari?" "Heem... itu ada satu surat lagi tapi bukan diJurusan, harus diantar ke Gedung Rektorat?" ucap Zeni "Kebetulan Jumat aku ke Auditorium, sekalian ke Rektorat, mana suratnya?" Zeni mengambil kembali satu buah surat dan menyerahkan kepada Frans. "Kereta Parahyangan sudah tiba di stasiun, kepada para penumpang diharapkan untuk memasuki gerbong sesuai tiket Kereta, sekian dan terima kasih," pengumuman dari petugas Kereta api menghentikan percakapan keduanya. Bergegas Frans dan Zeni memasuki kereta sesuai gerbong masing-masing. Setelah mendapatkan tempat duduk sesuai tiket, Zeni mulai merehatkan badannya. Seharian ini cukup menguras tenaga, beruntung tubuhnya prima jadi bisa tetap beraktivitas tanpa gangguan. Laju kereta api malam dari Kota Surabaya menuju Ngawi menghabiskan waktu 3 jam 40 menit, membuat mata Zeni perlahan tertutup berkelana ke alam mimpi. Ritme suara telepon terdengar didalam tas Zeni, membuat refleks gerakan kecil tangannya untuk mulai mengambil benda pipih tersebut. "Assalamu'alaikum," Suara Zeni terdengar parau saat menjawab telepon. "Wa'alaikumussalam... Zeni kamu sudah naik kereta? Nanti terus ke rumah sakit kota ya, jangan pulang ke rumah dulu." Suara tante Dinta mengagetkan Zeni. "Memang ada apa Tante? Siapa yang sakit?" Cecar Zeni "Nanti tante kabari lagi ya," terdengar suara tangis diujung telepon diiringi dengan terputusnya suara tante Dinta. Hati Zeni mendadak kacau bercampur cemas. "Ada apa gerangan? Tadi sore disuruh pulang mendadak karena Tante Dinta besok ditemani check up rutin? tapi kenapa sekarang di rumah sakit?" gumam Zeni dengan memijit pelipisnya. Sepanjang perjalanan di kereta Zeni hanya bisa menghilangkan perasaan cemas dengan berdoa. Tak lupa bibirnya senantiasa basah mengagungkan penciptanya. Waktupun dirasa berputar terasa lambat membuat Zeni berkeinginan untuk segera menuju ke rumah sakit. Kereta sampai di Stasiun Ngawi. Bergegas Zeni mengemasi barang bawaannya di tas dan mulai berjalan menuju pintu gerbong. Terlihat Frans berdiri tepat didepan gerbong 10. Zeni turun dari kereta dan berjalan menuju Frans. "Kamu sudah dikabari saudara yang menjemputmu Zen?" Aku sudah dijemput supir, kalau mau bareng saja tak antar. Dahi Zeni berkerut, dia mulai penasaran akan kedatangan Frans yang bersama ke kota Ngawi. "Kamu punya saudara di Ngawi Frans?" "Aku mau ke rumah sakit kota, ada saudara Ayah yang mengalami masalah dan dia tidak bisa datang. Makanya aku bergegas ke Ngawi." jelas Frans "Saudara Ayahmu tinggal di kota ini?" selidik Zeni "Dia kerja di kota ini, ada proyek yang harus ditangani, namun saat ini Om Ayas harus ke Kalimantan ada proyek yang failed, ayo Zen, kamu mau pulang ke rumahkan? Sekalian bareng, ini sudah malam. "Aku tadi dapat telepon disuruh ke rumah sakit kota segera," jawab Zeni Wajah Frans seketika berubah pucat mendengar jawaban dari Zeni. "Apa? kamu mau ke rumah sakit kota?" pekik Frans Terkejut Zeni melihat ekspresi Frans yang tiba-tiba berubah drastis. "Kamu ada masalah Frans?" "Eemmm.... emmm ti... ti.... dak... " jawab Frans gelagapan sambil mengusap peluh yang muncul di dahinya.Zeni masih heran melihat reaksi berlebihan Frans. "Apa cuma perasaanku saja ya?" pikir Zeni. Keduanya hening sesaat, yang terdengar hanya helaan nafas lembut ditambah semilirnya angin malam. Dengan memasang ekspresi wajah setenang mungkin, dan menekan gejolak hati yang kacau, Frans memberanikan diri untuk mulai membuka percakapan kembali yang sesaat terhenti. " Ayo Zen, kita berangkat sekarang, nanti malam bertambah semakin larut," ajak Frans dengan nada suara setenang mungkin. "Oke, Frans." spontan jawaban keluar dari mulut Zeni. Keduanya pun berjalan beriringan menuju area parkir stasiun. Frans segera menghubungi supir yang menjemputnya. Area parkir stasiun cukup lenggang, yang terlihat hanya beberapa hilir mudik kendaraan yang lalu lalang. Pukul 23.00 malam hari, keduanya sudah meluncur meninggal stasiun menuju Rumah sakit kota. Supir dengan leluasa membawa mobil Pajero hitam dengan kecepatan tinggi melintasi area jalan yang sepi. Lobi rumah sakit cukup sepi. Hanya ter
Baskoro masih diam membisu, pikirannya dibiarkan bebas berkelana, lebih memilih memanjakan matanya untuk menikmati nuansa malam di apartemen miliknya. Dengan posisi duduk di balkon, ditemani semilir angin malam, belum mampu membius kedua matanya untuk terlelap. Waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari, namun perasaannya masih gusar. Informasinya dari kaki tangannya terkait ledakan di sebuah proyek masih mengganggunya. "Aneh, kenapa proyek seperti itu bisa meledak? Dan sepertinya polisi angkat tangan terhadap kasus tersebut." pikir Baskoro. "Profil pemiliknya juga misterius, Ayyas! Apa dia pemain baru di bisnis ini." gumam Baskoro. Bunyi ponsel di atas nakasnya terdengar, segera Baskoro melangkahkan kakinya menuju sumber suara tersebut. Terlihat sebuah nama Garvin muncul di layar ponselnya. Segera dia meraih benda pipih tersebut dan menekan tombol berlogo telepon warna hijau. Terdengar suara familiar diseberang telepon. "Hallo Bas, kamu besok ada agenda? Aku rencana besok t
Zeni berlari-lari kecil menuju ruang ICU. Hampir sepuluh menit dia menghabiskan waktu menuju ruangan tersebut. Jarak tempuh yang agak jauh dari Musholla, saat Zeni menghabiskan waktu pagi harinya disana. Terlihat Tante Denti sedang duduk didepan ruang ICU. Zeni segera menghampiri dan memposisikan duduk bersebelahan dengannya. "Tante, apa yang terjadi." Terlihat raut wajah cemas di wajahnya, perlahan tangan Zeni menggenggam tangan Tante Denti. Nafas Tante Denti tersengal-sengal setelah menangis. Dia berusaha mengatur nafasnya sebaik mungkin untuk menjawab pertanyaan dari Zeni. "Tadi kedua orangtuamu sempat kritis, patient monitor tidak menunjukkan detak jantung. Sekarang sedang dilakukan tindakan oleh perawat." Mendengar jawaban dari Tante Denti, Zeni hanya beristighfar didalam hati. Dia sudah mulai menata hati, pikiran, jiwa dan raga untuk tetap tegar mengatasi kemungkinan terburuk. "Kita pasrah saja Tante, yang penting sudah berikhtiar semaksimal mungkin." ucapan dari Zeni m
Pagi ini aktivitas padat mahasiswa terlihat di kampus, terutama di depan Ruang Kajur Akuntansi sudah terdapat beberapa mahasiswa. Rian masih menunggu satu giliran untuk masuk ke dalam ruangan tersebut. Giant keluar dari ruangan, dan tersenyum melihat Rian. "Sekarang giliranmu. Aku tunggu kamu ya? pinta Giant. "Nanti kita ada kelas pagi." "Iya, Giant. Aku konsultasi sebentar mau urus nilai." tegas Rian sembari memasuki ruang kajur. Desain ruang kajur yang berciri khas ruang kantor bertambah semakin terlihat menawan dengan ornamen lukisan dan logo jurusan yang menempel di dinding. Segera Rian berkonsultasi terkait nilai yang belum keluar sampai semester ini. Dengan ramah Pak Pramono mulai menjelaskan dan memberi instruksi kepada Rian untuk segera membawa surat keterangan yang dibubuhi tanda tangannya, meminta TU jurusan untuk mengeluarkan nilai mata kuliah sesuai jumlah SKS serta Dosen pengampu yang tertera di surat tersebut. Setelah selesai berkonsultasi, Rian keluar dari
"Tante!" Pekik Zeni. Dia terkejut melihat tubuh Tante Denti sudah berada diatas lantai ruang ICU. Dia segera berlari ke arah Tante Denti. Pekikan suara Zeni terdengar oleh perawat yang berjaga di ruang ICU. Dua orang perawat yang bertugas di ruangan ini, segera datang menuju sumber suara. Terlihat Zeni sedang menggerakkan tubuh Tante Denti berusaha memulihkan kesadarannya. Perawat segera mendekat dan memberi pertolongan pertama pada Tante Denti. "Kita bawa segera perempuan ini ke ruang emergency." seru salah satu perawat. Zeni shock mendengar perkataan dari perawat tersebut. "Bagaimana keadaan Tante saya?" tanya Zeni dengan khawatir. "Denyut nadinya lemah serta mengalami kesulitan saat bernafas." Segera perawat tersebut mengangkat tubuh Tante Denti dan memindahkannya ke atas brankar kosong pasien. Brankar tersebut di dorong perawat menuju ke ruang emergency. Tubuh Zeni terasa lemas, melihat perlahan brankar yang digunakan Tante Denti menghilang dari pandangannya. Pikirann
Frans sangat terkejut mendengar informasi dari Joy. Konsentrasinya pecah dan berbagai pikiran negatif menghampiri otaknya. Dia khawatir jika terjadi sesuatu dengan Zeni. "Apakah Zeni atau Tantenya yang pingsan?" pikir Frans galau. Dia mengambil ponselnya dan mengirim pesan ke Joy untuk melacak terkait identitas pasien penunggu yang pingsan di ruang ICU. Waktupun berputar terasa cukup lama. Sudah hampir sore dia selesai menunggu konfirmasi atas surat kepanitiaan Zeni di ruang administrasi Rektorat beserta persiapannya mengurusi tugas pengabdian masyarakat di gedung Auditorium. Hembusan nafas kasar keluar dari mulutnya. Dia saat ini sedang duduk menikmati makanan di kantin yang dekat dengan perpustakaan pusat. Rasa lelah terasa di tubuhnya ditambah dengan munculnya permasalahan di proyek. "Akhirnya kelar juga urusan surat kepanitian dari Zeni." gumamnya. Sesaat rasa sesal muncul di hatinya. "Seandainya dia tidak ceroboh dan selalu memantau secara teratur terkait keberlangsungan
Sore ini, brankar di ruang emergency terlihat penuh. Terlihat beberapa penunggu pasien yang berdiri di luar ruang emergency. Mereka rela menunggu diluar demi kenyamanan pasien. Zeni berjalan dengan tergesa-gesa menuju tempat perawat jaga di ruang emergency. “Permisi suster, pasien a.n Denti muntah bercampur darah." Berkata Zeni dengan nafas tersengal-sengal. "Bisa minta tolong untuk segera ditangani?” Raut wajahnya menampilkan ekspresi khawatir. “Untuk sementara, semua perawat yang bertugas di ruang Emergency sedang menangani pasien korban maut kecelakaan bis, yang baru saja dibawa ke rumah sakit ini.” Ucap suster menegaskan. “Harap tunggu sebentar.” Suster Kembali memberi penekanan. “Tapi kondisi Tante Denti saat ini benar-benar perlu penanganan secepatnya?” ucap Zeni dengan ekspresi tegas. “Tolong mengerti kondisi kami!” tekan suster. “Jumlah perawat lebih sedikit dari pada pasien yang berada di ruang emergency. Jadi kami belum mampu menangani pasien secara bersama-sama.”
Baskoro hanya terdiam mendengar perkataan dari Garvin. Dia sudah mengenal Garvin selama dua tahun karena pertemuan yang tidak disengaja. Selama ini mereka saling berbagi dan bertukar informasi terkait bisnis. “Ada yang perlu aku bantu Garvin? Minggu ini aku memiliki waktu senggang sebelum menjalani tugas pengabdian masyarakat di kampus?” “Aku sengaja meminta bertemu denganmu hari ini karena ada yang ingin aku bahas.” Dia mulai melihat sekeliling café yang mulai penuh dengan pengujung. “Aku membutuhkan kamu waktu dua hari untuk membantu melacak orang misterius yang sudah mengendus dan mengetahui bisnis gelapku.” Baskoro menyandarkan punggungnya ke belakang disertai hembusan nafas kasar. “Kamu masih bermain bisnis gelap itu Garvin?” sorot matanya menyimpan kekecewaan. “Aku tidak mungkin melepasnya Bas? Itu sebagai akses dan kekusaanku untuk tetap bertahan.” Aku menikmati kesemuanya, kekuasaan, uang, kejayaan, kehormatan dan pengakuan bisnisku.” Senyum smirk muncul di bibirnya.