Zeni sedang menunggu antrian untuk melengkapi berkas persyaratan tugas pengabdian masyarakat. Vilia masih bersikeras belum ingin pulang, dan masih setia menemani Zeni.
"Terima kasih Vilia mau menemanku, aku masih antri dua mahasiswa lagi, ini rasanya enak kamu beli dimana? Seru Zeni sambil memakan snack yang tersedia. "Dikantin dekat perpus pusat, jam segini masih buka, biasanya sudah tutup ya? Apa ini karena pengumuman di Auditorium ya?" "Mungkin mengikuti kondisi sekarang, dimana masih banyak mahasiswa di gedung auditorium, aku merasa aneh Vil, memang ada berkas persyaratan untuk mengikuti tugas pengabdian masyarakat ya? kamu keliatan tidak mengurus berkas apapun Vil? Aku cuma isi RKS saat ambil tugas pengabdian masyarakat," tegas Zeni "Iya, Zen, aku tadi sempat tanya Rian dan Giant mereka juga sama sepertiku cuma isi KRS saja beserta SKS?" Mungkin ada kebijakan terbaru Zen?" "Semoga saja dipermudah ya Vil. Rian dan Giant apa masih sempat ketemu Pak Pramono?" Zeni melihat jam di ponselnya yang menunjukkan pukul 04.00 sore. "Mungkin masih, aku kirim pesan ke Giant ya? "Pegawai disini kemungkinan lembur Vil, menyelesaikan mahasiswa yang namanya belum tercantum, termasuk aku," pandangan Zeni menatap sosok mahasiswa yang sedang berdebat dengan pegawai yang berwenang mengurusi tugas pengabdian masyarakat. "Aku ke ruang pelayanan sebentar Vil?" sepertinya giliranku sudah dekat. "Iya, aku duduk disini saja Zen, masih menunggu pesan dari Giant," "Permisi pak, atas nama Zeni dari Fakultas Ekonomi apa sudah diproses terkait pelaksanaan tugas pengabdian masyarakat?" pertanyaan Zeni otomatis menghentikan perdebatan antara pegawai dan mahasiswa tersebut. "Mba... anda akan diurus prosesnya setelah mahasiswa ini," tegurnya dengan raut wajah yang tidak bersahabat. "Baiklah," Zeni melangkah kakinya mencari kursi kosong untuk ditempati, sembari melihat perdebatan keduanya yang tadi sempat terhenti. "Pak tolong jangan dipersulit, jadwalnya bisa dirubah, ini berbenturan dengan jadwal mengajar. Dosen utama ada proyek di luar negeri sehingga untuk satu bulan kedepan jam mengajarnya berubah" seru mahasiswa yang wajahnya mirip Frans. "Coba panggil mba tadi, yang sempat menanyakan jadwalnya," saran pegawai tersebut. Bergegas mahasiswa tersebut menghampiri Zeni yang keberadaannya tak jauh dari ruang pelayanan. "Mba, dipanggil ke ruang pelayanan," suara bariton terdengar ditelinga Zeni. "Aku..." Jari telunjuk Zeni refleks bergerak ke arahnya. Tanpa menjawab sepatah katapun Mahasiswa tersebut meninggalkan Zeni dan berjalan menuju ruang pelayanan. Bergegas Zeni berjalan mengikuti langkah kaki mahasiswa tersebut. "Bagaimana pak, apa proses untuk jadwal dan penempatan atas nama Zeni sudah selesai?" "Apakah anda Zeni, mahasiswa dari Fakultas Ekonomi? Bisa menunjukkan kartu mahasiswa?" pertanyaan pegawai tersebut membuat Zeni segera mengambil kartu Mahasiswa yang tersimpan rapi didalam dompetnya. "Ini pak, kartunya" sembari menyerahkan kartu mahasiswa Pegawai tersebut segera mencocokkan kartu mahasiswa dengan data di komputer. "Zeni ada berkas terkait persyaratan yang harus ditempuh saat mengambil mata kuliah pengabdian masyarakat, di data tercantum untuk nilai Perpajakan belum masuk, padahal anda sudah menempuh kuliah tersebut selama 2 SKS." "Apakah ada keterangan mata kuliah Perpajakan 1 atau Perpajakan 2?" tanya Zeni dengan sopan "Berdasarkan data di komputer hanya tercantum mata kuliah Perpajakan tidak ada keterangan 1 maupun 2," jelasnya "Berarti itu kesalahan input data pak, untuk jurusan Akuntansi S1 menempuh 4 SKS perpajakan terdiri dari Perpajakan 1 dan Perpajakan 2. Minta tolong dicros cek pak, dengan kartu rencana studi sesuai prodi Akuntansi S1?" jelas Zeni dengan ramah. "Sebentar, saya cek terlebih dahulu, anda bisa komunikasi terlebih dahulu dengan Baskoro terkait jadwal dan penempatan, karena anda menggantikan posisi Baskoro" "Maksud bapak, mahasiswa yang tadi berdebat dengan bapak namanya Baskoro." "Iya, silakan ditanyakan lebih lanjut terkait jadwal dan anda diharapkan menunggu sampai proses pengecekan selesai." "Terima kasih informasinya pak." Zeni melangkah kakinya mencari sosok Baskoro. Terlihat mahasiswa tersebut sedang memainkan ponselnya. "Anda yang bernama Baskoro?" tanya Zeni. Mahasiswa tersebut secara otomatis menghentikan aktivitasnys, dan menoleh ke arah sumber suara. " Iya, saya Baskoro, ada keperluan apa?" "Benarkah anda mengganti jadwal tugas pengabdian? Bolehkan anda memberi tahu detail jadwal dan penempatannya?" Baskoro segera mengambil selembar kertas didalam tas. Dan memberikannya kepada mahasiswi didepannya. "Siapa nama kamu dan dari fakultas mana?" sembari Baskoro menyerahkan kertas tersebut. "Namaku Zeni dari Fakultas Ekonomi, terima kasih." Zeni menerima kertas dari Baskoro. "Silakan dibaca, disitu tertulis nama anggota dan lokasi penempatan pengabdian masyarakat," jelas Baskoro sembari memainkan kembali ponselnya. Bola mata Zeni mulai mencari nama anggota yang mungkin familiar dengannya. "Nihil," gumam Zeni saat diketahui tak seorangpun yang dia kenal. Setelah memanfaatkan kamera di ponselnya untuk memfoto kertas dari Baskoro, Zeni mengembalikan kembali kertas tersebut ke Baskoro. "Kamu sudah selesai membacanya," tanya Baskoro dengan sikap acuhnya. "Sudah, Terima kasih," Zeni berusaha pergi menjauh menuju ruang pelayanan. "Tunggu Zeni, kamu mahasiswa Ekonomi sendirikan? Dikertas ini anggota yang berganti hanya aku, lainnya tetap," "Iya, tidak apa-apa nanti juga kenal, sembari mengurungkan langkah kakinya. "Kamu kenal Frans, mahasiswa semester akhir jurusan manajemen?" "Saya kurang begitu akrab namun tahu?" jawab Zeni. "Dia sepupuku, kami jarang bertemu karena ada konflik. Seharusnya aku mengikuti tugas pengabdian masyarakat tahun lalu, namun aku berencana satu kelompok dengan Frans sehingga mengubah jadwal beserta penempatannya. "Kamu berarti kakak kelasku ya? Zeni melihat daftar anggota yang sudah tersimpan di memori ponselnya. "Fakultas kedokteran?" tanya Zeni meyakinkan "Iya, kamu kenal anak kedokterankan? wajah kamu terlihat familiar? "Benarkah? Zeni tersenyum mendengar jawaban Baskoro. Aku ada teman satu organisasi di fakultas kedokteran? Namanya Mia? "Mia yang aktif ngurusi buletin fakultas? Baskoro mencoba mengingat-ingat adik kelasnya yang bernama Mia. "Iya, dia aktif di media kampus. Aku kenal saat pelatihan Jurnalistik di Universitas. Cuma aku sebentar bergabung, karena saat itu aku ada agenda lain. Aneh kamu Bas, bukannya kamu ada konflik dengan Frans tapi kamu mau gabung satu kelompok?" tanya Zeni penasaran. "Karena aku mau menyelesaikan konflik tersebut, dan ini momen tepat karena kami akan berinteraksi selama satu bulan?" "Tapi apa pihak kampus yang mengelola ploting jadwal tugas pengabdian menerima alasan kamu? Senyum sarkas muncul di wajah Baskoro mendengar pertanyaan Zeni. "Kebetulan aku asisten dosen, dan menggunakan jabatanku sebagai alibi untuk mempermudah pertukaran jadwal?" Termenung Zeni mendengar jawaban Baskoro, "Ternyata dia bisa memanfaatkan situasi ya?" gumam Zeni Suara pegawai dari ruang pelayanan menghentikan percakapan keduanya. Bergegas Zeni dan Baskoro menuju ke sumber suara. "Bagaimana pak, sudah selesai prosesnya?" tanya Zeni "A.n Zeni sudah dilakukan pengecekan data dan terdapat input yang terlewat terkait prodi, untuk jadwal dan penempatan sudah tercatat" Sembari menyerahkan kertas kepada Zeni yang berisi jadwal pembekalan tugas pengabdian masyarakat. "Terima kasih pak," Zeni menerima kertas dan membacanya sekilas. Baskoro mendekati loker pegawai pelayanan, "Untuk jadwal saya yang terbaru apakah sudah di ACC pak?" "Sudah. Ini silakan ditanda tangani untuk kelengkapan pergantian jadwal." pegawai menyerahkan selembar kertas kepada Baskoro beserta jadwal terbaru. Baskoro segera menandatangani kertas tersebut dan membaca jadwalnya. "Iya pak. Sudah sesuai?" jawab Baskoro meyakinkan. Baskoro menyimpan kertas tersebut kedalam ranselnya. "Kamu kenapa Zen?" terlihat raut wajah Zeni khawatir ketika membaca pesan diponselnya. "Tidak apa-apa, ini masalah keluarga, aku pulang dulu Bas, sudah ditunggu Vilia. Terburu-buru Zeni melangkah kakinya menuju tempat duduknya Vilia. Baskoro terdiam melihat Zeni sudah mulai pergi menjauh. "Gadis yang unik." gumam Baskoro dengan melangkah kakinya menuju tempat parkir.Vilia tersenyum saat membaca pesan dari Giant. Saat ini Giant dan Rian masih antri menunggu pak Pramono. "Keren... luar biasa ... hari ini semua lembur termasuk KaJurnya," gumam Vilia. Dengan tergesa-gesa Zeni menghampiri Vilia. "Vilia kamu ada acara?" "Ada apa Zeni? kamu kelihatan khawatir?" Vilia mencoba menelisik raut wajah Zeni. "Aku minta tolong antar ke Stasiun ya?" pinta Zeni menunjukkan raut wajah yang memelas. "Kamu mau kemana? Ini sudah sore lho?" selidik Vilia. "Aku disuruh pulang sekarang, ada kepentingan mendesak?" Zeni berbicara dengan nada cemas. "Oke, kamu mau ke kos dulu atau terus ke stasiun?" tawar Vilia. "Terus ke stasiun saja Vil, ini aku sudah pesan tiket kereta secara online.""Oke," jawab Vilia. Keduanya segera berjalan menuju parkiran motor di depan gedung Auditorium.Sepeda motor metic membawa keduanya menuju stasiun yang terbesar di kota Surabaya. Lalu lintas sore ini macet sehingga membutuhkan waktu agak lama menuju ke stasiun. "Aku antar sampai dep
Zeni masih heran melihat reaksi berlebihan Frans. "Apa cuma perasaanku saja ya?" pikir Zeni. Keduanya hening sesaat, yang terdengar hanya helaan nafas lembut ditambah semilirnya angin malam. Dengan memasang ekspresi wajah setenang mungkin, dan menekan gejolak hati yang kacau, Frans memberanikan diri untuk mulai membuka percakapan kembali yang sesaat terhenti. " Ayo Zen, kita berangkat sekarang, nanti malam bertambah semakin larut," ajak Frans dengan nada suara setenang mungkin. "Oke, Frans." spontan jawaban keluar dari mulut Zeni. Keduanya pun berjalan beriringan menuju area parkir stasiun. Frans segera menghubungi supir yang menjemputnya. Area parkir stasiun cukup lenggang, yang terlihat hanya beberapa hilir mudik kendaraan yang lalu lalang. Pukul 23.00 malam hari, keduanya sudah meluncur meninggal stasiun menuju Rumah sakit kota. Supir dengan leluasa membawa mobil Pajero hitam dengan kecepatan tinggi melintasi area jalan yang sepi. Lobi rumah sakit cukup sepi. Hanya ter
Baskoro masih diam membisu, pikirannya dibiarkan bebas berkelana, lebih memilih memanjakan matanya untuk menikmati nuansa malam di apartemen miliknya. Dengan posisi duduk di balkon, ditemani semilir angin malam, belum mampu membius kedua matanya untuk terlelap. Waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari, namun perasaannya masih gusar. Informasinya dari kaki tangannya terkait ledakan di sebuah proyek masih mengganggunya. "Aneh, kenapa proyek seperti itu bisa meledak? Dan sepertinya polisi angkat tangan terhadap kasus tersebut." pikir Baskoro. "Profil pemiliknya juga misterius, Ayyas! Apa dia pemain baru di bisnis ini." gumam Baskoro. Bunyi ponsel di atas nakasnya terdengar, segera Baskoro melangkahkan kakinya menuju sumber suara tersebut. Terlihat sebuah nama Garvin muncul di layar ponselnya. Segera dia meraih benda pipih tersebut dan menekan tombol berlogo telepon warna hijau. Terdengar suara familiar diseberang telepon. "Hallo Bas, kamu besok ada agenda? Aku rencana besok t
Zeni berlari-lari kecil menuju ruang ICU. Hampir sepuluh menit dia menghabiskan waktu menuju ruangan tersebut. Jarak tempuh yang agak jauh dari Musholla, saat Zeni menghabiskan waktu pagi harinya disana. Terlihat Tante Denti sedang duduk didepan ruang ICU. Zeni segera menghampiri dan memposisikan duduk bersebelahan dengannya. "Tante, apa yang terjadi." Terlihat raut wajah cemas di wajahnya, perlahan tangan Zeni menggenggam tangan Tante Denti. Nafas Tante Denti tersengal-sengal setelah menangis. Dia berusaha mengatur nafasnya sebaik mungkin untuk menjawab pertanyaan dari Zeni. "Tadi kedua orangtuamu sempat kritis, patient monitor tidak menunjukkan detak jantung. Sekarang sedang dilakukan tindakan oleh perawat." Mendengar jawaban dari Tante Denti, Zeni hanya beristighfar didalam hati. Dia sudah mulai menata hati, pikiran, jiwa dan raga untuk tetap tegar mengatasi kemungkinan terburuk. "Kita pasrah saja Tante, yang penting sudah berikhtiar semaksimal mungkin." ucapan dari Zeni m
Pagi ini aktivitas padat mahasiswa terlihat di kampus, terutama di depan Ruang Kajur Akuntansi sudah terdapat beberapa mahasiswa. Rian masih menunggu satu giliran untuk masuk ke dalam ruangan tersebut. Giant keluar dari ruangan, dan tersenyum melihat Rian. "Sekarang giliranmu. Aku tunggu kamu ya? pinta Giant. "Nanti kita ada kelas pagi." "Iya, Giant. Aku konsultasi sebentar mau urus nilai." tegas Rian sembari memasuki ruang kajur. Desain ruang kajur yang berciri khas ruang kantor bertambah semakin terlihat menawan dengan ornamen lukisan dan logo jurusan yang menempel di dinding. Segera Rian berkonsultasi terkait nilai yang belum keluar sampai semester ini. Dengan ramah Pak Pramono mulai menjelaskan dan memberi instruksi kepada Rian untuk segera membawa surat keterangan yang dibubuhi tanda tangannya, meminta TU jurusan untuk mengeluarkan nilai mata kuliah sesuai jumlah SKS serta Dosen pengampu yang tertera di surat tersebut. Setelah selesai berkonsultasi, Rian keluar dari
"Tante!" Pekik Zeni. Dia terkejut melihat tubuh Tante Denti sudah berada diatas lantai ruang ICU. Dia segera berlari ke arah Tante Denti. Pekikan suara Zeni terdengar oleh perawat yang berjaga di ruang ICU. Dua orang perawat yang bertugas di ruangan ini, segera datang menuju sumber suara. Terlihat Zeni sedang menggerakkan tubuh Tante Denti berusaha memulihkan kesadarannya. Perawat segera mendekat dan memberi pertolongan pertama pada Tante Denti. "Kita bawa segera perempuan ini ke ruang emergency." seru salah satu perawat. Zeni shock mendengar perkataan dari perawat tersebut. "Bagaimana keadaan Tante saya?" tanya Zeni dengan khawatir. "Denyut nadinya lemah serta mengalami kesulitan saat bernafas." Segera perawat tersebut mengangkat tubuh Tante Denti dan memindahkannya ke atas brankar kosong pasien. Brankar tersebut di dorong perawat menuju ke ruang emergency. Tubuh Zeni terasa lemas, melihat perlahan brankar yang digunakan Tante Denti menghilang dari pandangannya. Pikirann
Frans sangat terkejut mendengar informasi dari Joy. Konsentrasinya pecah dan berbagai pikiran negatif menghampiri otaknya. Dia khawatir jika terjadi sesuatu dengan Zeni. "Apakah Zeni atau Tantenya yang pingsan?" pikir Frans galau. Dia mengambil ponselnya dan mengirim pesan ke Joy untuk melacak terkait identitas pasien penunggu yang pingsan di ruang ICU. Waktupun berputar terasa cukup lama. Sudah hampir sore dia selesai menunggu konfirmasi atas surat kepanitiaan Zeni di ruang administrasi Rektorat beserta persiapannya mengurusi tugas pengabdian masyarakat di gedung Auditorium. Hembusan nafas kasar keluar dari mulutnya. Dia saat ini sedang duduk menikmati makanan di kantin yang dekat dengan perpustakaan pusat. Rasa lelah terasa di tubuhnya ditambah dengan munculnya permasalahan di proyek. "Akhirnya kelar juga urusan surat kepanitian dari Zeni." gumamnya. Sesaat rasa sesal muncul di hatinya. "Seandainya dia tidak ceroboh dan selalu memantau secara teratur terkait keberlangsungan
Sore ini, brankar di ruang emergency terlihat penuh. Terlihat beberapa penunggu pasien yang berdiri di luar ruang emergency. Mereka rela menunggu diluar demi kenyamanan pasien. Zeni berjalan dengan tergesa-gesa menuju tempat perawat jaga di ruang emergency. “Permisi suster, pasien a.n Denti muntah bercampur darah." Berkata Zeni dengan nafas tersengal-sengal. "Bisa minta tolong untuk segera ditangani?” Raut wajahnya menampilkan ekspresi khawatir. “Untuk sementara, semua perawat yang bertugas di ruang Emergency sedang menangani pasien korban maut kecelakaan bis, yang baru saja dibawa ke rumah sakit ini.” Ucap suster menegaskan. “Harap tunggu sebentar.” Suster Kembali memberi penekanan. “Tapi kondisi Tante Denti saat ini benar-benar perlu penanganan secepatnya?” ucap Zeni dengan ekspresi tegas. “Tolong mengerti kondisi kami!” tekan suster. “Jumlah perawat lebih sedikit dari pada pasien yang berada di ruang emergency. Jadi kami belum mampu menangani pasien secara bersama-sama.”