“Di mana aku harus memilih jas?” tanya Keenan begitu Marissa masuk ke ruang ganti.“Oh, ada di sebelah sana,” jawabku sambil mengarahkan Keenan ke ruangan tempat penyimpanan beberapa jas yang telah aku persiapkan.Aku meraih sebuah jas berwarna hitam yang ada di gantungan. Aku sengaja merancang jas tersebut dengan model yang Keenan sukai. Kemudian, aku menyerahkan jas tersebut kepadanya.“Aku sudah membuat jas ini dengan ukuran tubuhmu,” kataku.Keenan memeriksa jas itu, dan bertanya, “Apa menurutmu pas?”Aku mengangguk. “Aku yakin akan cocok di tubuhmu,” jawabku.Keenan pun mencobanya, dan jas itu ternyata sangat cocok dan ia terlihat nyaman memakainya. “Terima kasih. Aku tidak pernah menyangka bahwa jas sebagus ini akan cocok untukku,” ujarnya sambil tersenyum.Aku hanya tersenyum membalas ucapan Keenan. Aku merasa senang melihat Keenan tampak percaya diri dengan jas barunya. Aku mengetahui bahwa dengan penampilan yang baik, seseorang dapat merasa lebih percaya diri dan sukses dala
Aku merasa hati ini begitu berat ketika mengetahui bahwa anakku, Kenzie telah ditampar oleh Marissa. Aku merasa perlu mencari kebenaran di balik insiden tersebut. Dengan hati yang berkobar-kobar, aku memacu mobil menuju rumah Marissa dengan cepat.Setibanya di depan rumah Marissa, aku turun dari mobil dan langsung menekan bel pintu. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan seorang wanita paruh baya keluar.“Maaf, dengan siapa, ya?” tanya wanita paruh baya itu.“Saya Kiara. Saya ingin bertemu dengan Marissa. Apa Marissa ada di rumah?” tanyaku langsung.“Maaf, Nyonya Marissa sedang tidak ada di rumah. Dia sedang berkunjung ke rumah Bu Belinda,” jawabnya.Aku mengangguk dengan pahit. “Baiklah, terima kasih.” Sebelum kembali ke mobil. Aku memutuskan untuk mencari Marissa di rumah Tante Belinda.Perjalanan ke rumah Tante Belinda terasa panjang dan penuh kekhawatiran. Aku terus memikirkan apa yang sebenarnya terjadi dengan Kenzie dan Marissa. Begitu tiba di rumah Tante Belinda, aku melihat mobi
Pov. KeenanDari jendela apartemen yang menjulang tinggi, pandanganku terhampar luas atas keajaiban alam. Di sana, langit membentang luas, berwarna biru keemasan saat mentari beranjak naik. Gemerlap cahaya pagi menari di antara gedung-gedung, menciptakan kontras yang memukau antara ciptaan manusia dan keindahan alami. Burung-burung terbang melintasi langit, menambahkan simfoni alam yang merdu ke dalam pemandangan urban yang sibuk. Ini adalah momen di mana alam dan peradaban bertemu, mengingatkanku pada keharmonisan yang bisa tercipta di antara keduanya.“Sudah jam 8 pagi, lebih baik aku mandi saja.”Dengan langkah yang gesit, aku bersiap untuk menyegarkan diri. Harapan menggantung di setiap tetes air yang akan membasuh, membawa pergi lelah yang melekat. Aku berharap akan kembali menemukan kesegaran untuk menyambut hari.Di balik tirai air yang jernih, aku menutup mata, membiarkan air mengalir bebas. Setiap tetesnya adalah sentuhan lembut yang menghapus bekas semalam, menghidupkan kem
Pov. KiaraAku memandang dengan penuh kepedihan pada amplop merah yang ada di hadapan. Namanya terukir dengan indah di permukaannya: Keenan dan Marissa. Hati ini berdegup keras, terasa sakit ketika aku harus menyaksikan orang yang aku cintai menikah dengan wanita lain. Wanita yang dulu pernah menjadi teman dekatku, namun sekarang kami begitu terpisah seperti dua sungai yang terbagi.Aku bingung, tidak tahu apakah sebaiknya aku datang ke pernikahan mereka atau tidak. Aku sangat takut menghadapi situasi ini. Aku ingin berada di sana, ingin melihatnya bahagia, tapi dalam lubuk hatiku, ada rasa sakit yang sulit diungkapkan.Sungguh sulit bagiku untuk menerima kenyataan bahwa dia akan menjadi milik orang lain. Setiap kenangan kami bersama, setiap tawa dan tangisan, semuanya berkelebat di benakku seperti kembang api yang segera padam.“Keenan, apakah kamu sungguh bahagia menikah dengan Marissa?” Tak terasa bulir hangat yang terasa asin jatuh di pipi ini.Aku memejamkan mata ini, tapi air ma
Pov. KeenanSaat ini suasana di pesta pernikahanku begitu ramai. Keluarga dan kerabat yang hadir sibuk mengerjakan tugas mereka masing-masing. Ada yang mempersiapkan dekorasi, ada yang memasak makanan, dan ada yang menyambut para tamu undangan. Aku mencoba tersenyum dan bersikap bahagia, meskipun di dalam hati rasa tidak enak itu tak pernah hilang. Aku dijodohkan dengan seorang wanita bernama Marissa. Ayah dan ibuku memilihnya sebagai pasangan hidupku, meskipun kami sudah dekat bertahun-tahun, tapi rasa cinta yang seharusnya tumbuh dalam hatiku tidak pernah datang.“Keen, apa kamu sudah siap, Sayang? Sebentar lagi kamu akan melepas masa lajangmu,” gumam Mama yang sudah ada di hadapanku.“Siap tidak siap, bukannya aku harus tetap siap, Ma,” ucapku sambil tersenyum ke arah Mama.“Mama selalu mendoakan yang terbaik untukmu, Sayang,” kata Mama sambil mengelus bahuku.Aku hanya tersenyum dan melihat kepergian Mama dari hadapanku.Aku mencoba mengatasi perasaanku yang rumit dengan menenangka
“Sayang, apa ini?” tanya Marissa, masih terkejut dengan tayangan yang ia lihat.“Kamu lihat saja,” jawabku dengan tegas pada Marissa. Aku merasa puas bisa mendapatkan bukti perselingkuhan Marissa, meskipun hal tersebut terjadi di tengah pernikahan kami.Semua mata tertuju pada Marissa dan aku. Marissa tampak begitu gugup, dan ternyata jawabanku membuatnya semakin takut. Percakapan kami terdengar sangat jelas di tengah keheningan.Beberapa tamu undangan tampak terkejut ketika melihat gambar-gambar itu. Ada saja yang berbisik-bisik dan menggosip tentang pernikahan ini. Semua kejahatan yang dilakukan oleh Marissa pun terungkap, dari tindakan kejam saat menampar Kenzie, hingga rahasia jahat mengenai rencananya untuk mendapatkan harta Wardana Group.Tak ada yang bisa mengatakan apa pun ketika semua fakta tersebut terungkap. Semua orang termenung dan tertegun, terutama Marissa yang merasa terpojok dengan semua bukti yang ada. Selain Marissa, aku pun merasa sakit hati ketika mengetahui segal
“Mam, Mama pulang duluan, ya? Nanti biar sopir yang antar,” ucapku sambil membuka pintu mobil untuk Mama.Mama mengangguk mengerti. “Baiklah, mama pulang duluan,” kata Mama sambil masuk ke dalam mobil. Setelah Mama masuk, aku segera menutup pintu mobil.Mobil yang ditumpangi Mama melaju meninggalkan hotel. Setelah itu, aku melihat ke arah Kiara yang masih berada di tempat yang sama. Aku lekas melangkah menghampirinya.“Apa ada masalah?” tanyaku pada Kiara ketika sudah berada di depannya.“Aku ingin bicara,” kata Kiara sambil melihat ke arahku.“Aku mengerti,” ucapku sambil menyuruhnya untuk masuk ke dalam mobil. Setelah kami berdua berada di dalam mobil, keheningan menyelimuti kami berdua. Namun, pada akhirnya aku langsung bertanya, “Apa yang ingin kamu bicarakan?”Kiara menatapku dengan pandangan datar. “Kenapa kamu melakukan itu?” tanyanya tiba-tiba.“Apa maksudmu?” balasku dengan suara gemetar.Kiara menarik napas dalam-dalam sebelum mengatakan, “Aku rasa kamu sudah berlebihan, Kee
“Apa yang kamu bawa?” tanyaku ketika melihat Bagas membawa map ditangannya.“Tidak, bukan apa-apa,” imbuhnya.Aku lantas langsung mengambil alih map itu dari tangan Bagas. “Surat Perjanjian Pemindahan Saham,” gumamku lirih sambil membaca surat tersebut.Pikiranku berkecamuk, tidak percaya dengan apa yang kubaca. Bagaimana mungkin nama Kiara tertera di sini? Aku tidak percaya dengan semua yang kulihat ini.“Bisa kamu jelaskan?” tanyaku.“Begini, Keenan. Kiara …,” jawab Bagas terputus-putus, seolah tak sanggup melanjutkan.“Kenapa namanya ada di sini?” tanyaku sambil menunjuk surat itu.Bagas terdiam, matanya menghindari tatapanku. Akhirnya, ia berbicara. “Sebagian aset yang hilang, berpindah atas nama Kiara.”Aku terpaku. Tubuhku gemetar saat kebingungan dan amarah bergelombang di dalam diriku. “Apa maksud semua ini?” desakku dengan suara gemetar.“Sebelum Kiara meninggalkanmu, aset itu sudah dimiliki olehnya. Tante Belinda dan Kiara mungkin memiliki kesepakatan, sehingga Kiara akhirny