"Kiara, kamu baik-baik saja?" tanya Ibu yang sudah ada di dekatku.Aku mencoba tersenyum untuk meyakinkan Ibu, tetapi rasanya sulit. "Aku merasa mual, Bu. Mungkin kecapekan," kataku sambil mengelap wajah dengan handuk.Ibu mengerutkan kening. "Mungkin kamu perlu istirahat lebih. Kalau mual terus, kita periksa ke dokter, ya."Aku mengangguk pelan, merasa bersyukur memiliki Ibu yang begitu perhatian. "Iya, Bu. Aku istirahat dulu sebentar."Kembali ke kamar, aku berbaring di tempat tidur, berharap rasa mual ini segera hilang. Tapi di tengah kegelisahanku, pikiranku melayang ke satu kemungkinan yang tak pernah terpikir sebelumnya. Dengan hati-hati, aku mencoba mengingat kapan terakhir kali aku haid. Benar saja, sudah beberapa minggu terlambat.Jantungku berdebar lebih cepat. Apakah mungkin …?Aku memutuskan untuk menunggu hingga Keenan pulang dan membicarakan ini dengannya. Aku begitu cemas memikirkan semua ini. Aku mencoba memejamkan mata sebentar.Beberapa saat kemudian, aku terkesiap k
Seorang wanita paruh baya duduk di depanku. Wajahnya tampak berbeda dari biasanya seakan menyoroti sosok yang selama ini telah tersembunyi di balik kelakar dan senyum yang ramah selama lima tahun ini.Dia meletakkan selembar cek kosong dan sebuah pena di atas meja, lalu mendorongnya ke arahku. Napasnya tersengal-sengal. "Tulis berapapun yang kamu mau, asalkan kamu meninggalkan putraku," katanya dengan suara yang tegas.Aku menatapnya dengan raut wajah bingung. "Apa maksud, Tante?" tanyaku ragu, tidak mengerti akan perkataannya."Aku mau kamu meninggalkan putraku," ujar wanita itu dengan tegas sekali lagi."Kenapa?" tanyaku dengan raut wajah sedih dan begitu bingung."Karena kamu bukanlah orang yang tepat untuknya. Kamu hanya wanita miskin yang datang dari desa, sama sekali tidak pantas untuk anakku," jelasnya.Aku begitu terkejut dan hatiku teramat sesak. Bagaimana bisa dia berkata seperti itu? Selama ini, dia tak pernah menunjukkan rasa tidak suka denganku. Kenapa dia tiba-tiba berbal
"Tidak apa-apa, Keen." Sudah kulihat tante Belinda mulai menarik kedua ujung bibirnya, wanita paruh baya itu tersenyum begitu manis, seakan tidak ada yang terjadi di antara kami.Keenan berjalan dengan langkah percaya diri dan tatapan matanya melihat ke arah kami. Kulitnya yang warm undertone, wajah yang segar dan rapi, serta rambut hitam alami yang sehat, membuatnya makin terlihat menawan. Aku tak bisa menyangkal, bahwa menatap Keenan itu seperti memandang matahari terbenam di ufuk barat, seakan membuatku lupa dengan segala sesuatu.Tak hanya tampan, Keenan juga memiliki kharisma yang menawan. Keturunan Wardhana memancarkan aura kebangsawanan yang membuat setiap orang yang berada di sekitarnya terpikat. Dia memiliki daya tarik yang kuat, dan membuat setiap wanita yang dekat dengannya terpikat akan kemampuannya dalam menarik perhatian.Keenan adalah lelaki yang lengkap. Selain tampan dan kaya, ia juga baik dan santun. Bagaimana bisa aku tidak larut dalam pesona kesempurnaannya? Aku me
Keenan terdiam dalam kebingungannya, setelah seperkian detik, kemudian dengan suara tegas ia berkata, "Bercandamu tidak lucu, Sayang."Ya Tuhan, bahkan dia mengira aku sedang bercanda. Aku terkejut, sedih, dan juga panik. Keenan mengira kalau ini semua adalah lelucon. Aku ingin membuat lelucon, apabila hanya itu saja masalahnya. Namun, saat ini yang terjadi adalah kenyataan yang pahit. Tante Belinda menyuruhku untuk pergi dari kehidupan Keenan. Terlebih lagi, Keenan sudah dijodohkan dengan wanita lain.Kuusap air mata yang menetes di pipiku dengan kasar. Lalu aku menatap Keenan yang masih berjongkok di hadapanku dengan tatapan tegas."Aku tidak bercanda, Keen. Aku ingin kita berpisah," kataku dengan suara lirih.Keenan tampak bingung dan tidak mengerti kenapa aku harus mengambil keputusan itu. "Kenapa?" tanyanya lirih dengan suara bergetar.Aku diam sejenak, memikirkan jawaban yang tepat dan tak menyakiti perasaannya terlalu dalam. Aku merasa hatiku yang sesak dan teramat pedih ketika
Setelah enam tahun berlalu, pesawat Singapore Airlines telah mendarat di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai. Aku keluar dari pesawat tepat pukul 11:05 pagi dan berjalan menuju bandara dengan perasaan gugup. Sambil menunggu bagasi dan arloji di tangan kananku, aku melihat ke sekeliling mencari sosok yang begitu aku rindukan selama bertahun-tahun.Aku merasa begitu lelah, tapi aku tidak ingin menunjukkan lelahku pada anakku. "Ken, apakah kamu merasa lelah?" tanyaku sambil menatap ke bawah pada anak kecil itu yang berjalan gontai.Dia menatapku dengan penuh harap sambil mengangguk lemah. "Iya, Mom. Ken sangat lelah," jawabnya.Aku hanya bisa meraih rambutnya dan mengacak-ngacak dengan lembut. "Sabar, ya! Kita hampir sampai di rumah," ujarku dengan nada bersemangat.Akhirnya tas kami berhasil kuterima dan kami berjalan ke luar dari bandara dengan harapan yang tak terbatas. Sinar matahari bertiup lega berpadu dengan angin lembut yang berhembus. Sambil menembus keramaian, aku terus me
Dalam sekejap, aku segera berbalik badan, mengenakan kacamata hitam dan masker untuk menyamarkan wajahku. Tak lupa, aku mengambil topi Kenzie yang tersimpan di tas, meski kecil, namun cukup untuk melindungi identitasku.Dengan hati berdebar, kuamati sekitar sebelum beranjak meninggalkan lokasi itu, berusaha menjauhkan diri dari pandangan Keenan. Aku berdoa ia tidak sempat melihatku.Namun, takdir belum berpihak. Tiba-tiba, langkahku terhenti ketika mendengar suara bariton yang telah lama kurindukan rintihannya."Tunggu!"Jantungku beradu di dada, ketakutan mulai menggerogoti seluruh jiwaku. Keenan akhirnya berada di dekatku, menghentikan langkahku yang sempoyongan. Kubangun dinding mental untuk mengendalikan tubuhku yang terasa beku dan tak berkutik.Suasana di sekitar terasa kelam dan suram, seakan waktu berhenti dan segalanya berpihak pada Keenan. Kini hatiku dipenuhi kebimbangan, haruskah aku melangkah maju atau menghindar dari sisi Keenan? Aku tahu bahwa keputusan ini akan mengub
"Kenapa dengan mereka?"Akhirnya dia melanjutkan ucapannya, "Kabarnya, Marissa dan Keenan telah menjalin hubungan."Jantungku berdebar kencang, perasaan cemburu dan kesedihan menyelimuti diri ini. Hatiku berkecamuk, bagaimana mungkin aku melupakan Keenan? Aku merasa tak rela kehilangan orang yang satu-satunya pernah kucintai.Namun, aku berupaya keras untuk mengendalikan emosi. Marissa dan Keenan berhak untuk mencari dan mendapatkan kebahagiaan mereka, meskipun kebahagiaan itu bukan bersamaku."Sissi, terima kasih sudah memberitahuku." Aku berusaha tersenyum. "Aku harap mereka bisa bahagia."Sambil menguatkan hati, aku berusaha berbicara dengan nada suara yang lebih ceria dan penuh semangat. Perlahan, aku menyadari bahwa kehilangan Keenan bukanlah akhir dari segalanya. Aku belajar untuk lebih menghargai diri sendiri. Aku mencintai apa yang kumiliki dan menjalani kehidupan yang aku pilih. Suatu hari nanti, aku akan menemukan orang yang tepat untuk menyempurnakan hidupku. Dan pada saat
Ken tampak kesal saat menceritakan kejadian tidak menyenangkan itu. "Dia menabrakku, Mom, hingga es krim yang aku pegang terjatuh ke celana dan sepatunya. Namun, bukannya minta maaf, dia malah menyalahkan aku dan memintaku untuk meminta maaf padanya. Aneh sekali!"Aku menghela napas mendengar cerita Ken dan berpikir. Apakah yang dimaksud Ken itu adalah Keenan?Lamunanku tiba-tiba terhenti ketika Ibu memanggilku."Ara ... Ken ... ayo sarapan dulu, Nak," ucap Ibu yang sudah berada di ambang pintu."Iya, Bu," sahutku, menoleh ke arahnya, lalu aku melirik ke arah putraku yang masih asyik dengan tabletnya."Ken, ayo kita sarapan dulu." Ajakku, berusaha menarik perhatiannya dari perangkat yang ia pegang erat.Mendengar perkataanku, Ken langsung mengangguk dan mengiyakan. "Baik, Mom."Kami berdua lantas berjalan menuju dapur untuk menyantap hidangan yang sudah disiapkan.Ketika tiba di dapur, kami dihadapkan dengan berbagai macam lauk pauk yang menarik selera. Terasa aroma sedap dari masakan