Share

Bab 6. Benci Dihina

"Kenapa dengan mereka?"

Akhirnya dia melanjutkan ucapannya, "Kabarnya, Marissa dan Keenan telah menjalin hubungan."

Jantungku berdebar kencang, perasaan cemburu dan kesedihan menyelimuti diri ini. Hatiku berkecamuk, bagaimana mungkin aku melupakan Keenan? Aku merasa tak rela kehilangan orang yang satu-satunya pernah kucintai.

Namun, aku berupaya keras untuk mengendalikan emosi. Marissa dan Keenan berhak untuk mencari dan mendapatkan kebahagiaan mereka, meskipun kebahagiaan itu bukan bersamaku.

"Sissi, terima kasih sudah memberitahuku." Aku berusaha tersenyum. "Aku harap mereka bisa bahagia."

Sambil menguatkan hati, aku berusaha berbicara dengan nada suara yang lebih ceria dan penuh semangat.

Perlahan, aku menyadari bahwa kehilangan Keenan bukanlah akhir dari segalanya. Aku belajar untuk lebih menghargai diri sendiri. Aku mencintai apa yang kumiliki dan menjalani kehidupan yang aku pilih. Suatu hari nanti, aku akan menemukan orang yang tepat untuk menyempurnakan hidupku. Dan pada saat itulah, aku akan merasa bahwa segala perjuangan dan pengorbanan yang kulakukan tak sia-sia.

Aku mengarahkan pandanganku ke Sissi yang hanya terdiam, menatap dengan tatapan nanar ke arahku. Sepertinya, dia bisa merasakan apa yang kurasakan, sebab jujur, selama ini dialah sahabatku yang siap mendengar curahan hatiku.

Aku tersenyum mencoba mengalihkan topik. "Oh ya, tolong siapkan gaun untukku besok. Aku tidak ingin ada kesalahan sedikit pun."

Dia menatapku intens, seolah mencoba menyelami apa yang sedang terjadi dalam pikiranku. "Baiklah, jangan khawatir. Aku akan memastikan semuanya sempurna untukmu."

***

Tubuhku terasa lemas saat aku terbangun dari tidurku. Aku terkesiap oleh alarm yang terus berbunyi nyaring. Dengan lambat, kuraih jam alarm yang berada di atas meja, tepat berdampingan dengan tempat tidurku. Kulihat jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka empat. Selimut yang menghangatkan tubuhku, kubuka perlahan, dan pelan-pelan turun dari tempat tidur yang telah memberiku kenyamanan.

Di antara langkah kaki yang masih enggan melepaskan lelah, kuatasi semangat untuk memulai hari ini. Aku menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarku, bersiap untuk rutinitas pagi yang harus kupenuhi. Menggosok gigi, mencuci muka, lalu mengambil air wudhu dengan penuh khusyuk sebagai bentuk penghormatan dan syukur kepada Tuhan.

Segera kumenunaikan salat subuh, mengingat betapa pentingnya waktu ini dalam kehidupanku. Aku ingin merasa sejuk dan damai sebelum melanjutkan rutinitas hari-hari yang biasanya cukup melelahkan. Dalam salat subuhku, kubisikkan doa-doa dalam hatiku, meminta pertolongan dan dukungan-Nya untuk menjalani kehidupan yang penuh tantangan ini.

Setelah selesai, kulangkahkan kaki ini menuju dapur, aku terkejut mendengar suara wajan dan spatula yang saling beradu. Kulihat Ibu yang tengah sibuk memasak. Selama ini, Ibu memang tak pernah berubah; selalu bangun pagi dan memasak untuk kami. Sebenarnya, aku sudah melarangnya untuk memasak karena usianya yang sudah berumur, tetapi ibu tetap bersikeras.

"Ibu, biar Ara saja yang masak. Ibu istirahat saja, ya?" pintaku sambil berusaha mengambil alih tugas memasak dari Ibu.

"Tidak perlu, biar ibu saja, ini juga sebentar lagi selesai, kamu bangunkan Kenzie saja, ya?" tolak Ibu sambil melanjutkan memasak di dapur.

Begitulah kenyataannya, Ibu selalu menolak saat aku menawarkannya bantuan. Mungkin karena rasa khawatir atau keinginan untuk meringankan beban anaknya, Ibu tak pernah memberi kesempatan padaku untuk membantu di dapur.

Aku menghela napas panjang, terpaksa kulangkahkan kaki ini untuk menuju kamar putraku, setelah berada di depan pintu, perlahan tanganku meraih gagang pintu. Aku berhasil membuka pintu tanpa membuat bunyi yang mencolok. Kini mataku terpaku pada Kenzie yang tampak asik dengan tabletnya, ia duduk tepat di sisi ranjang.

"Ken, kamu sudah bangun?" tanyaku, wajahku tersenyum simpul melihat kesibukannya, dan aku memutuskan untuk menghampirinya.

Apa yang aku lakukan untuk menarik perhatian Kenzie berhasil. Sepasang matanya sejenak terhenti dari layar tablet dan ia mengangkat wajahnya melihat ke arahku, kemudian menjawab, "Sudah, Mom."

Menggenggam pinggiran bantal, aku memutuskan untuk duduk di sampingnya agar dapat mengikuti kegiatan yang sedang ia lakukan. Dengan cekatan, kuambil posisi di sisi ranjang yang sama. "Kamu sedang apa, Ken?" tanyaku.

"Ken sedang melihat Cocomelon, Mom," jawabnya sambil tersenyum manis, menatap layar dengan antusias.

Aku teringat akan kewajibannya, lalu mengganti topik pembicaraan. "Apa kamu sudah salat?"

Matanya berkaca-kaca sejenak sebelum mengangguk. "Sudah, Mom."

Aku tersenyum bangga pada putraku. Meski umurnya baru lima tahun, dia sudah bisa melaksanakan salat dengan tekun. Rasa haru dan syukur bercampur dalam dadaku. Aku takjub dengan perkembangannya yang cepat dan semangat yang dimilikinya untuk belajar ibadah.

Aku menepuk pundak Ken, memberi dukungan padanya. "Bagus sekali, Ken. Mommy bangga dengan kamu," ucapku sambil mengecup keningnya.

"Oh iya, Ken, besok Mommy akan mencari sekolah terbaik untukmu," kataku dengan penuh harapan.

Namun, wajah Ken seketika mengkerut. "Ayolah, Mom, Ken tidak ingin sekolah," keluhnya.

"Hey … mengapa kamu merasa begitu?" tanyaku dengan khawatir.

Namun, Ken merajuk. "Aku tidak mau sekolah, Mom. Aku benci dihina murid-murid lainnya karena tidak punya ayah. Aku tidak ingin melalui semua itu lagi."

Ken bersedekap dada dan memalingkan wajahnya dariku. Dia tidak pernah menyukai sekolah, terutama karena di sana, ia selalu dicemooh temannya akibat tak memiliki ayah. Hatiku hancur mendengarnya, ketika ia mengungkapkan perasaannya yang sedih karena dihina oleh teman-temannya.

Menyadari penderitaan Ken, aku mengelus lembut rambutnya. "Tidak apa, Ken, Mommy akan melindungimu. Kita akan menemukan sekolah yang penuh kasih dan pengertian," ujarku, mencoba memberinya semangat.

Namun, Ken tetap bersikap keras kepala. "Mau sekolah mana pun juga pasti mereka bakal menghina Ken," gumamnya perlahan, bibirnya bergetar di ujung kata.

Mendengar itu, aku menarik napas dalam-dalam, kemudian memberikan Ken pelukan erat. "Tidak masalah, Sayang. Kamu tahu, mommy juga pernah mengalami penghinaan seperti yang kamu alami. Tapi, kita harus tetap berani menghadapinya," ujarku.

Air mata Ken mulai menetes. "Tapi, Mom, Ken takut," bisiknya dengan suara yang hampir tak terdengar.

"Ken, percayalah, tidak semua orang jahat seperti itu. Kita akan mencari sekolah yang baik, dan kamu akan menemukan teman yang tidak akan menghinamu," ujarku, mencoba menghiburnya sambil mengusap air matanya yang telah menetes.

Ken akhirnya mengangguk sambil tersenyum. "Baiklah, Mom. Ken juga akan kuat, seperti Mommy."

Sebagai seorang ibu, mendengar kata-kata itu dari anaknya, membuat hatiku terenyuh. Ya Tuhan, aku merasa amat beruntung memiliki anak seperti Kenzie. Anakku yang selalu ceria, penuh semangat, dan optimis menghadapi segala rintangan. Aku tahu bahwa hidup ini tidak selalu mudah, namun dengan sikap dan tekad Kenzie, aku yakin bahwa dia akan menjadi pribadi yang tangguh.

"Mom!" panggil Ken dengan semangat.

"Iya, Ken? Ada apa?" tanyaku penasaran.

"Kemarin di bandara, aku menemui seseorang yang mirip denganku, Mom. Rasanya seperti bertemu kembaranku sendiri!" ungkap Ken tampak terkejut.

Aku tergelak mendengar kata-kata Ken dan bertanya, "Kembaran? Bagaimana mungkin, Ken?"

Kenzie mengangguk yakin. "Iya, Mom. Dia sangat mirip denganku, tapi sayang sekali, sikapnya tidak sebaik diriku. Dia sangat galak dan tidak ramah sama sekali."

Aku menjadi penasaran mendengarkan cerita anakku. "Lalu, ada masalah apa dengan orang itu, Ken?"

Ken tampak kesal saat menceritakan kejadian tidak menyenangkan itu. "Dia menabrakku, Mom, hingga es krim yang aku pegang terjatuh ke celana dan sepatunya. Namun, bukannya minta maaf, dia malah menyalahkan aku dan memintaku meminta maaf padanya. Aneh sekali!"

Aku menghela napas mendengar cerita Ken dan berpikir. Apakah yang dimaksud Ken itu adalah Keenan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status