"Kenapa dengan mereka?"
Akhirnya dia melanjutkan ucapannya, "Kabarnya, Marissa dan Keenan telah menjalin hubungan."Jantungku berdebar kencang, perasaan cemburu dan kesedihan menyelimuti diri ini. Hatiku berkecamuk, bagaimana mungkin aku melupakan Keenan? Aku merasa tak rela kehilangan orang yang satu-satunya pernah kucintai.Namun, aku berupaya keras untuk mengendalikan emosi. Marissa dan Keenan berhak untuk mencari dan mendapatkan kebahagiaan mereka, meskipun kebahagiaan itu bukan bersamaku."Sissi, terima kasih sudah memberitahuku." Aku berusaha tersenyum. "Aku harap mereka bisa bahagia."Sambil menguatkan hati, aku berusaha berbicara dengan nada suara yang lebih ceria dan penuh semangat.Perlahan, aku menyadari bahwa kehilangan Keenan bukanlah akhir dari segalanya. Aku belajar untuk lebih menghargai diri sendiri. Aku mencintai apa yang kumiliki dan menjalani kehidupan yang aku pilih. Suatu hari nanti, aku akan menemukan orang yang tepat untuk menyempurnakan hidupku. Dan pada saat itulah, aku akan merasa bahwa segala perjuangan dan pengorbanan yang kulakukan tak sia-sia.Aku mengarahkan pandanganku ke Sissi yang hanya terdiam, menatap dengan tatapan nanar ke arahku. Sepertinya, dia bisa merasakan apa yang kurasakan, sebab jujur, selama ini dialah sahabatku yang siap mendengar curahan hatiku.Aku tersenyum mencoba mengalihkan topik. "Oh ya, tolong siapkan gaun untukku besok. Aku tidak ingin ada kesalahan sedikit pun."Dia menatapku intens, seolah mencoba menyelami apa yang sedang terjadi dalam pikiranku. "Baiklah, jangan khawatir. Aku akan memastikan semuanya sempurna untukmu."***Tubuhku terasa lemas saat aku terbangun dari tidurku. Aku terkesiap oleh alarm yang terus berbunyi nyaring. Dengan lambat, kuraih jam alarm yang berada di atas meja, tepat berdampingan dengan tempat tidurku. Kulihat jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka empat. Selimut yang menghangatkan tubuhku, kubuka perlahan, dan pelan-pelan turun dari tempat tidur yang telah memberiku kenyamanan.Di antara langkah kaki yang masih enggan melepaskan lelah, kuatasi semangat untuk memulai hari ini. Aku menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarku, bersiap untuk rutinitas pagi yang harus kupenuhi. Menggosok gigi, mencuci muka, lalu mengambil air wudhu dengan penuh khusyuk sebagai bentuk penghormatan dan syukur kepada Tuhan.Segera kumenunaikan salat subuh, mengingat betapa pentingnya waktu ini dalam kehidupanku. Aku ingin merasa sejuk dan damai sebelum melanjutkan rutinitas hari-hari yang biasanya cukup melelahkan. Dalam salat subuhku, kubisikkan doa-doa dalam hatiku, meminta pertolongan dan dukungan-Nya untuk menjalani kehidupan yang penuh tantangan ini.Setelah selesai, kulangkahkan kaki ini menuju dapur, aku terkejut mendengar suara wajan dan spatula yang saling beradu. Kulihat Ibu yang tengah sibuk memasak. Selama ini, Ibu memang tak pernah berubah; selalu bangun pagi dan memasak untuk kami. Sebenarnya, aku sudah melarangnya untuk memasak karena usianya yang sudah berumur, tetapi ibu tetap bersikeras."Ibu, biar Ara saja yang masak. Ibu istirahat saja, ya?" pintaku sambil berusaha mengambil alih tugas memasak dari Ibu."Tidak perlu, biar ibu saja, ini juga sebentar lagi selesai, kamu bangunkan Kenzie saja, ya?" tolak Ibu sambil melanjutkan memasak di dapur.Begitulah kenyataannya, Ibu selalu menolak saat aku menawarkannya bantuan. Mungkin karena rasa khawatir atau keinginan untuk meringankan beban anaknya, Ibu tak pernah memberi kesempatan padaku untuk membantu di dapur.Aku menghela napas panjang, terpaksa kulangkahkan kaki ini untuk menuju kamar putraku, setelah berada di depan pintu, perlahan tanganku meraih gagang pintu. Aku berhasil membuka pintu tanpa membuat bunyi yang mencolok. Kini mataku terpaku pada Kenzie yang tampak asik dengan tabletnya, ia duduk tepat di sisi ranjang."Ken, kamu sudah bangun?" tanyaku, wajahku tersenyum simpul melihat kesibukannya, dan aku memutuskan untuk menghampirinya.Apa yang aku lakukan untuk menarik perhatian Kenzie berhasil. Sepasang matanya sejenak terhenti dari layar tablet dan ia mengangkat wajahnya melihat ke arahku, kemudian menjawab, "Sudah, Mom."Menggenggam pinggiran bantal, aku memutuskan untuk duduk di sampingnya agar dapat mengikuti kegiatan yang sedang ia lakukan. Dengan cekatan, kuambil posisi di sisi ranjang yang sama. "Kamu sedang apa, Ken?" tanyaku."Ken sedang melihat Cocomelon, Mom," jawabnya sambil tersenyum manis, menatap layar dengan antusias.Aku teringat akan kewajibannya, lalu mengganti topik pembicaraan. "Apa kamu sudah salat?"Matanya berkaca-kaca sejenak sebelum mengangguk. "Sudah, Mom."Aku tersenyum bangga pada putraku. Meski umurnya baru lima tahun, dia sudah bisa melaksanakan salat dengan tekun. Rasa haru dan syukur bercampur dalam dadaku. Aku takjub dengan perkembangannya yang cepat dan semangat yang dimilikinya untuk belajar ibadah.Aku menepuk pundak Ken, memberi dukungan padanya. "Bagus sekali, Ken. Mommy bangga dengan kamu," ucapku sambil mengecup keningnya."Oh iya, Ken, besok Mommy akan mencari sekolah terbaik untukmu," kataku dengan penuh harapan.Namun, wajah Ken seketika mengkerut. "Ayolah, Mom, Ken tidak ingin sekolah," keluhnya."Hey … mengapa kamu merasa begitu?" tanyaku dengan khawatir.Namun, Ken merajuk. "Aku tidak mau sekolah, Mom. Aku benci dihina murid-murid lainnya karena tidak punya ayah. Aku tidak ingin melalui semua itu lagi."Ken bersedekap dada dan memalingkan wajahnya dariku. Dia tidak pernah menyukai sekolah, terutama karena di sana, ia selalu dicemooh temannya akibat tak memiliki ayah. Hatiku hancur mendengarnya, ketika ia mengungkapkan perasaannya yang sedih karena dihina oleh teman-temannya.Menyadari penderitaan Ken, aku mengelus lembut rambutnya. "Tidak apa, Ken, Mommy akan melindungimu. Kita akan menemukan sekolah yang penuh kasih dan pengertian," ujarku, mencoba memberinya semangat.Namun, Ken tetap bersikap keras kepala. "Mau sekolah mana pun juga pasti mereka bakal menghina Ken," gumamnya perlahan, bibirnya bergetar di ujung kata.Mendengar itu, aku menarik napas dalam-dalam, kemudian memberikan Ken pelukan erat. "Tidak masalah, Sayang. Kamu tahu, mommy juga pernah mengalami penghinaan seperti yang kamu alami. Tapi, kita harus tetap berani menghadapinya," ujarku.Air mata Ken mulai menetes. "Tapi, Mom, Ken takut," bisiknya dengan suara yang hampir tak terdengar."Ken, percayalah, tidak semua orang jahat seperti itu. Kita akan mencari sekolah yang baik, dan kamu akan menemukan teman yang tidak akan menghinamu," ujarku, mencoba menghiburnya sambil mengusap air matanya yang telah menetes.Ken akhirnya mengangguk sambil tersenyum. "Baiklah, Mom. Ken juga akan kuat, seperti Mommy."Sebagai seorang ibu, mendengar kata-kata itu dari anaknya, membuat hatiku terenyuh. Ya Tuhan, aku merasa amat beruntung memiliki anak seperti Kenzie. Anakku yang selalu ceria, penuh semangat, dan optimis menghadapi segala rintangan. Aku tahu bahwa hidup ini tidak selalu mudah, namun dengan sikap dan tekad Kenzie, aku yakin bahwa dia akan menjadi pribadi yang tangguh."Mom!" panggil Ken dengan semangat."Iya, Ken? Ada apa?" tanyaku penasaran."Kemarin di bandara, aku menemui seseorang yang mirip denganku, Mom. Rasanya seperti bertemu kembaranku sendiri!" ungkap Ken tampak terkejut.Aku tergelak mendengar kata-kata Ken dan bertanya, "Kembaran? Bagaimana mungkin, Ken?"Kenzie mengangguk yakin. "Iya, Mom. Dia sangat mirip denganku, tapi sayang sekali, sikapnya tidak sebaik diriku. Dia sangat galak dan tidak ramah sama sekali."Aku menjadi penasaran mendengarkan cerita anakku. "Lalu, ada masalah apa dengan orang itu, Ken?"Ken tampak kesal saat menceritakan kejadian tidak menyenangkan itu. "Dia menabrakku, Mom, hingga es krim yang aku pegang terjatuh ke celana dan sepatunya. Namun, bukannya minta maaf, dia malah menyalahkan aku dan memintaku meminta maaf padanya. Aneh sekali!"Aku menghela napas mendengar cerita Ken dan berpikir. Apakah yang dimaksud Ken itu adalah Keenan?Ken tampak kesal saat menceritakan kejadian tidak menyenangkan itu. "Dia menabrakku, Mom, hingga es krim yang aku pegang terjatuh ke celana dan sepatunya. Namun, bukannya minta maaf, dia malah menyalahkan aku dan memintaku untuk meminta maaf padanya. Aneh sekali!"Aku menghela napas mendengar cerita Ken dan berpikir. Apakah yang dimaksud Ken itu adalah Keenan?Lamunanku tiba-tiba terhenti ketika Ibu memanggilku."Ara ... Ken ... ayo sarapan dulu, Nak," ucap Ibu yang sudah berada di ambang pintu."Iya, Bu," sahutku, menoleh ke arahnya, lalu aku melirik ke arah putraku yang masih asyik dengan tabletnya."Ken, ayo kita sarapan dulu." Ajakku, berusaha menarik perhatiannya dari perangkat yang ia pegang erat.Mendengar perkataanku, Ken langsung mengangguk dan mengiyakan. "Baik, Mom."Kami berdua lantas berjalan menuju dapur untuk menyantap hidangan yang sudah disiapkan.Ketika tiba di dapur, kami dihadapkan dengan berbagai macam lauk pauk yang menarik selera. Terasa aroma sedap dari masakan
Hatiku seperti tertusuk duri sembilu saat Marissa tiba-tiba muncul dan menggandeng lengan Keenan. Seolah ia ingin menyadarkanku bahwa kini Keenan adalah miliknya. "Hai, Kiara, ternyata kamu sudah kembali," sapa Marissa dengan begitu ramah. "Bagaimana kabarmu? Sejak kamu pergi ke luar negeri, kami tidak pernah mendengar kabar darimu."Aku mencoba tersenyum, sambil menjawab, "Aku baik-baik saja, Marissa. Terima kasih sudah menanyakan kabarku."Rahasia telah aku jalani sejak pergi ke luar negeri. Aku tidak ingin semua orang mengenaliku atau melacak keberadaanku. Untuk itu, aku melepaskan semua kartu identitasku, mengganti ponsel dan kartu SIM, serta berhenti memainkan media sosial yang pernah kukenal.Sesungguhnya, hati yang terluka menjadi alasan utama aku melakukan semua perubahan tersebut. Kepergianku ke luar negeri mengharuskanku jauh dari Keenan, dan ia kini semakin dekat dengan Marissa. Bahkan aku menghindari mengabadikan momen-momen kehidupanku di sana, berusaha menjauh dari duni
"Syukurlah, aku harap apa yang kamu katakan benar," ucap Fina dengan senyum smirk-nya. Aku mencoba untuk tersenyum, tetapi hatiku masih terasa sakit.Anggun, sahabatku, mencoba mengalihkan perhatian. "Sudahlah, kita makan saja, tidak perlu membahas yang lain," ujar Anggun sambil menatapku penuh perhatian. Meski Fina merasa kesal, namun aku berusaha untuk tidak terpengaruh olehnya.Fina melanjutkan perkataannya, "Memangnya kenapa kalau membahas yang lain? Tidak ada orang yang kebakaran jenggot, kan?" Sentakanku menjadi semakin nyata. Aku benar-benar kalah menghadapi Fina. Dia terus saja memojokkan aku.Aku tidak mengerti mengapa Fina seolah tidak menyukai kehadiranku. Sejak tadi, dia terus saja mencoba untuk membuatku merasa tidak nyaman. Apakah dia mengira aku kembali ke Indonesia hanya untuk menggagalkan pertunangan Marissa dan Keenan? Sejujurnya, aku sama sekali tidak mengetahui bahwa mereka berdua akan bertunangan. Dan jika memang itu terjadi, aku akan merasa bahagia jika kebahagiaa
Pov Keenan.Setelah menyapa beberapa rekan kerja, rasa gundah muncul begitu saja. Tempat ini, yang kuharap bisa membantuku melupakan masa lalu, kini menjadi saksi kembalinya sosok menyakitkan itu. Wanita yang menghancurkan hidupku hingga hancur berkeping-keping.Aku mengepalkan tanganku, merasakan amarah yang berkobar di dada. Berbagai pertanyaan muncul di benakku. Apakah dia kembali hanya untuk menyakiti perasaanku saja? Mengapa di saat aku mulai melupakannya, dia kembali dengan membawa luka lama? Apakah dia kembali hanya untuk menambah derita? Kenapa dia harus kembali lagi, di saat hatiku sudah membaik?Luka lama mulai terasa membakar kembali. Betapa dulu, aku begitu mencintainya dan ingin menjadikannya pelabuhan terakhirku. Tapi, dia dengan tega menghancurkan semuanya. Kini, dia kembali hadir dan membawa luka-luka itu bersamanya.Kepalaku terasa sakit, seperti akan meledak karenanya. Aku menapakkan kaki keluar, meninggalkan tempat keramaian untuk mencari ketenangan. Meski berulang
"Aku bilang pergi! Apa kau tidak mendengarku?!" bentakku, tak bisa menahan emosi yang memuncak.Prang …!Tak sengaja, kuhempaskan botol minum yang ada di atas meja. Botol itu jatuh dan terpecah belah di lantai, menggambarkan perasaanku yang sudah hancur lebur karena ulah Kiara. Meskipun dia mencoba untuk memperbaikinya, tetap saja tidak akan pernah utuh seperti sedia kala.Aku menahan air mata yang akan mengalir seiring dengan jatuhnya botol minum tersebut. Wajahku bermuram, mencerminkan rasa sakit yang tak mampu terungkapkan. Kiara mulai menangis, tangisnya terdengar pelan dan perlahan menyayat hati. Namun, aku tidak bisa melupakan pengkhianatan yang dia lakukan padaku. Semua kenangan bersama bagai terkoyak oleh pilihan yang dia ambil, membuat cinta yang selama ini kami jalin tak lagi bermakna."Maafkan aku, aku tahu aku salah karena telah meninggalkanmu begitu saja. Mungkin maafku tak bisa menyembuhkan perasaanmu, tapi kuharap kau bahagia bersama Marissa," ucap Kiara.Cebikan sinis
Sambil tersenyum, aku menegaskan pada mamaku. "Mama tidak salah dengar, aku ingin bertunangan dengan Marissa. Aku percaya pilihan Mama yang terbaik untukku." Ucapan itu keluar dari mulutku dengan penuh ketulusan, karena aku tahu betapa mama ingin aku bahagia bersama Marissa.Mama menatapku dengan kasih sayang, kemudian mengelus wajahku lembut. "Terima kasih, Sayang. Kamu memang anak yang baik. Mama sangat beruntung memilikimu," kata Mama dengan nada lembut.Meski begitu, di dalam hati, aku merasa terpaksa menerima keputusan untuk bertunangan dengan Marissa. Sejak dulu, Mama selalu mendorongku untuk segera menikahi Marissa. Namun, entah mengapa, perasaanku masih bimbang. Kami memang sudah menjalin hubungan, tapi ada sesuatu yang mengganjal pikiranku.Aku mencoba menyembunyikan keraguan itu dan menuruti keinginan Mama agar ia bahagia. Aku ingin melihat Mama bahagia melihatku sebagai calon suami Marissa. Namun, pertanyaannya adalah, apakah aku juga akan bahagia dengan keputusan ini?Seba
Pov KiaraSejak pagi tadi, aku terus mencari Kenzie di seluruh penjuru apartemen dan ke mana-mana, namun tak kunjung menemukan keberadaan putraku itu. Aku mulai merasa cemas, dan memutuskan untuk bertanya ke area resepsionis yang ada di area apartemen, mungkin saja mereka dapat membantuku. Sebelumnya, sudah kucoba menghubungi Kenzie lewat telepon, namun yang kulihat hanya dering ponselnya yang ada di dalam kamar. Ternyata, Kenzie meninggalkan ponselnya di apartemen.Dengan napas tersengal, aku mendekati resepsionis dan menunjukkan foto Kenzie sambil berkata, "Maaf, Mbak, saya sedang mencari anak saya, apa ada yang melihatnya?"Mereka lalu memperhatikan foto Kenzie dengan seksama, lalu kembali menatapku.Salah satu resepsionis mengangguk dan menjawab, "Mm … dia ada di belakang Bu Kiara."Aku terperanjat mendengar jawaban tersebut. "Hah? Belakang?" Tanpa berpikir panjang, aku langsung menoleh ke arah belakang dan benar saja, ternyata di sana ada Kenzie. Putraku yang kucari itu sedang te
Ternyata yang berdiri di balik pintu bukanlah Keenan. Kelegaan menyapu seluruh tubuhku seketika. Namun, siapa sebenarnya sosok yang berdiri di hadapanku ini? Apa yang ingin dia lakukan? Pertanyaan-pertanyaan ini mulai bergelora dalam pikiranku. Kubuat jarak agar lebih aman sambil mencoba membaca niat orang yang ada di depanku.Dengan sopan, ia menyapaku, "Permisi, apa benar dengan Bu Kiara Dewi Anggraeni?" tanyanya.Aku menghapus keringat di dahi sambil tersenyum ramah. "Benar, saya sendiri. Ada apa, ya?"Dia menyerahkan sebuah buket bunga mawar berwarna merah kepadaku. "Ini ada kiriman untuk Ibu," katanya.Seketika aku mengerutkan keningku. Aku berpikir keras siapa yang mungkin mengirim bunga untukku. Aku bertanya pada kurir itu, "Maaf, Mas, dari siapa, ya?"Lelaki itu menggeleng. "Pengirimnya tidak ingin memberitahu namanya, Bu." Mataku membulat, kening terangkat, aku semakin kebingungan dengan semua ini."Tapi … ini beneran untuk saya?" Aku memastikan agar orang itu tidak salah kir