Share

Bab 7. Pertemuan

Ken tampak kesal saat menceritakan kejadian tidak menyenangkan itu. "Dia menabrakku, Mom, hingga es krim yang aku pegang terjatuh ke celana dan sepatunya. Namun, bukannya minta maaf, dia malah menyalahkan aku dan memintaku untuk meminta maaf padanya. Aneh sekali!"

Aku menghela napas mendengar cerita Ken dan berpikir. Apakah yang dimaksud Ken itu adalah Keenan?

Lamunanku tiba-tiba terhenti ketika Ibu memanggilku.

"Ara ... Ken ... ayo sarapan dulu, Nak," ucap Ibu yang sudah berada di ambang pintu.

"Iya, Bu," sahutku, menoleh ke arahnya, lalu aku melirik ke arah putraku yang masih asyik dengan tabletnya.

"Ken, ayo kita sarapan dulu." Ajakku, berusaha menarik perhatiannya dari perangkat yang ia pegang erat.

Mendengar perkataanku, Ken langsung mengangguk dan mengiyakan. "Baik, Mom."

Kami berdua lantas berjalan menuju dapur untuk menyantap hidangan yang sudah disiapkan.

Ketika tiba di dapur, kami dihadapkan dengan berbagai macam lauk pauk yang menarik selera. Terasa aroma sedap dari masakan Ibu yang terkenal lezat. Mulai dari nasi hangat, sayur asem hingga sambal goreng hati, semuanya terhidang rapi di atas meja.

Ibu tersenyum memandang kami, Ibu sepertinya begitu puas melihat kami menikmati hidangan yang disajikan. Suasana dapur pun terasa lebih hangat dengan adanya tawa dan canda ringan diantara kami bertiga.

Setelah sarapan selesai, aku membersihkan meja dan peralatan makan yang telah digunakan. Kuperintahkan Ibu untuk beristirahat saja, karena aku tahu ia juga kelelahan. Mungkin nanti aku harus menyewa asisten rumah tangga, sebab sejujurnya, aku tak ingin melihat Ibu terus kecapean saat memasak.

***

Kuamati wajahku di depan cermin, setelah merapikan diri, terasa ada yang hilang pada penampilanku. Malam ini, entah mengapa, jantungku berdegup kencang - lebih kencang dari biasanya. Aku akan bertemu pria yang pernah dekat denganku, yang aku tinggalkan selama 6 tahun tanpa alasan yang jelas. Aku merasa khawatir kepada sikapnya nanti, apakah ia akan membenciku atau bahkan sudah melupakan keberadaanku?

"Ara, aku sudah membawakan beberapa gaun untukmu," kata Sissi, berjalan ke arahku sambil membawa beberapa gaun di tangannya.

"Terima kasih," balasku dengan senyum.

Aku mencoba gaun pertama, gaun merah dengan potongan yang elegan. "Bagaimana?" tanyaku sambil memutar badanku perlahan.

"Cantik! Tapi, coba yang selanjutnya juga," saran Sissi. Aku mengangguk dan kembali ke ruang ganti.

Setelah mencoba beberapa gaun, akhirnya keputusan jatuh pada gaun hitam bersiluet mengikuti bentuk tubuh yang dihiasi payet keemasan. Gaun ini terlihat memukau dan cocok untuk tema malam ini.

"Kamu terlihat menawan, Ara. Aku yakin semua mata akan tertuju padamu."

Aku tersenyum bahagia mendengar perkataan Sissi. Akan tetapi aku merasa risau, aku hanya takut semua orang akan memperhatikanku, terlebih lagi aku baru kembali dari luar negeri, dan sudah bertahun-tahun pula kami tidak pernah bertemu.

Aku melihat Ibu yang memasuki kamar, langkahnya pelan menghampiriku. "Ara, kamu cantik sekali, Sayang."

"Terima kasih, Bu."

"Apa kamu yakin dengan keputusan ini, Nak? Ibu hanya tidak ingin kamu merasa tertekan, apalagi kamu pasti akan bertemu Keenan nanti di sana."

Aku menatap wajah Ibu yang penuh kekhawatiran. Aku tahu, bila aku nanti pasti akan bertemu dengan Keenan, tapi walau bagaimana pun juga, cepat atau lambat aku pasti akan bertemu dengan dia. Apa pun yang terjadi, aku akan menghadapinya tanpa takut.

"Ara yakin dengan keputusan ini, Ibu. Tidak perlu khawatir, Ara akan menghadapinya."

Wajah Ibu tampak ragu, namun ia mencoba tersenyum. "Baiklah, Nak, bila itu maumu. Ibu hanya takut saja."

Aku mengambil tangan Ibu, mencoba menenangkannya. "Ibu, semuanya akan baik-baik saja. Ara akan kuat, seperti yang Ibu ajarkan."

Mendengar kata-kataku, Ibu mulai menenangkan diri. "Ara, Ibu percaya padamu. Kamu adalah anakku, dan Ibu tahu kamu akan bisa melewati semua ini."

Aku memeluk Ibu erat, merasakan kehangatan kasih sayangnya. "Terima kasih, Ibu. Ara akan selalu berjuang untuk itu."

Menatap jam yang ada di atas dinding, kulihat waktu menunjukkan pukul 20:23 malam. Aku tersadar pesta akan berlangsung pukul 21:00 dan sepertinya sudah saatnya aku pergi.

Aku melepaskan pelukan dengan perlahan. "Aku harus pergi sekarang, Bu."

"Iya, hati-hati di jalan, ya!"

Aku mengangguk. "Terima kasih, Bu."

"Apa kamu mau aku antar?" tawar Sissi.

"Tidak perlu. Aku bisa pergi sendiri."

Setelah berpamitan, aku melangkah keluar dari gedung apartemen. Rasanya jantungku berdebar kencang, gugup menjelang pesta ulang tahun Tante Hana. Aku tak tahu apa yang akan terjadi di sana, tapi berharap kehadiranku tak mengganggu suasana.

Kuambil napas dalam-dalam ketika aku membuka pintu mobil, buru-buru masuk, dan memakai sabuk pengaman sebelum menekan tombol starter. Kendaraan pun beranjak berjalan perlahan ketika kakiku menekan pedal gas dengan hati-hati. Ada sejuta perasaan berkumpul dalam diriku - cemas, harap, dan bahkan sedikit takut.

Rasa cemas membayang pada setiap jengkal jalan. Aku bertanya-tanya, bagaimana reaksi keluarga Keenan saat mereka melihatku di pesta nanti? Apakah semuanya akan berjalan lancar, atau rasa was-was ini sungguh berarti ada yang tidak beres? Pertanyaan-pertanyaan ini menghantui setiap langkah pedal yang kuinjak.

Aku tiba di rumah Tante Hana setelah melalui perjalanan dengan rasa harap berkecamuk. Aku melangkah keluar dari mobil, menghembuskan napas sejenak, dan mengatur langkah menuju pintu. Ini adalah awal yang baru dan aku yakin aku bisa melewatinya dengan lancar.

Saat aku melangkah menuju pintu, petugas penjaga tiba-tiba menghentikan langkahku. "Maaf, Bu. Bisakah Anda memperlihatkan kartu undangannya?" katanya dengan nada serius. Wajahku tersentak kaget, namun aku tidak panik. Kuraih tas kecil yang kubawa, mencari kartu undangan yang diberikan Tante Hana beberapa hari sebelumnya.

"Silakan, ini kartunya, Pak." Aku menjawab sambil menyerahkan kartu undangan tersebut kepada petugas. Setelah diperiksa dengan teliti, ia menganggukkan kepala dan mengizinkanku untuk masuk.

Denyutan jantung melaju cepat ketika memasuki pintu rumah yang megah. Aku merasakan banyak palu berdetak di dadaku, memberikan ritme yang jelas pada saat-saat mendapat tantangan ini. Tetapi aku sadar, tidak ada yang bisa dilakukan selain menghadapi pesta malam ini.

Baru saja kaki melangkah masuk ke dalam rumah, sorot mata mulai menatapku satu per satu. Ada yang memuji, ada yang berbisik dengan tatapan aneh. Aku mulai risau, khawatir jika perhatian tersebut membuat situasi menjadi semakin rumit. Tapi, aku tidak ingin menunjukkan rasa cemas itu pada setiap orang.

"Kiara ..." Aku terkesiap ketika mendengar ada yang memanggil namaku. Dengan sigap, kuamati sekeliling untuk mencari siapa yang memanggilku.

"Anggun ..." Aku tersenyum senang ketika melihat Anggun yang berjalan mendekatiku. Dia adalah sahabatku sewaktu kami masih duduk di SMA, kebetulan orang tuanya adalah sahabat dari Tante Hana. Mungkin … dia juga ikut datang bersama keluarganya.

"Aku tidak menyangka kau kembali. Bagaimana kabarmu?" Anggun memelukku erat.

"Aku baik, bagaimana denganmu?"

Anggun melepaskan pelukannya, lalu mengamatiku dengan teliti.

"Sama, aku juga baik. Kamu Kiara, kan?"

"Memangnya kau kira aku siapa? Apa kau lupa denganku?" Aku menggodanya.

Anggun terkikik. "Maaf, aku begitu pangling melihatmu. Kau sangat cantik sekarang. Tubuhmu indah seperti gitar Spanyol, kulitmu mulus dan glowing. Ceritakan dong rahasianya!"

Aku terkekeh mendengar penuturannya. "Kau bisa saja." Kutepuk lembut bahunya. "Ingin tahu rahasia kulit glowingku?"

Anggun mengangguk.

"Rahasianya ... air wudhu, hehe ..."

Anggun mencubit pinggangku pelan. "Kamu bisa saja."

Setelah lama kami berbincang, aku memutuskan untuk pergi mencari Tante Hana. Namun, tak disangka-sangka, aku malah beradu pandang dengan lelaki yang selama ini selalu menjadi bayang-bayang di benakku.

Keenan - sosok yang selama ini kerap menghantui pikiranku - kini tengah memandangku dengan tatapan yang sulit untuk kuartikan.

Tiba-tiba, seluruh tubuhku terasa tegang, merasa seperti pohon yang tertiup angin ribut. Jantungku berdetak lebih keras, mencoba menyuarakan seribu satu keraguan yang selama ini mengintai pelan-pelan. Wajahku mungkin tampak tenang, namun di dalam sanubari, aku merasa bak tengah berada dalam mimpi yang sulit diprediksi akhirnya.

Mataku yang terbelalak untuk beberapa detik akhirnya menyadarkanku, bahwa Keenan telah di depanku, waktu terasa seolah menyusut seiring arus cerita yang kian lama luput dari ingatanku. Serentak, napas kami seakan tersengal-sengal mengarungi gelombang bertemunya dua hati yang menjadi satu.

Hatiku seperti tertusuk duri sembilu, saat Marissa tiba-tiba datang dan menggandeng lengan Keenan. Seakan ia menyadarkanku bahwa Keenan kini adalah miliknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status