Ken tampak kesal saat menceritakan kejadian tidak menyenangkan itu. "Dia menabrakku, Mom, hingga es krim yang aku pegang terjatuh ke celana dan sepatunya. Namun, bukannya minta maaf, dia malah menyalahkan aku dan memintaku untuk meminta maaf padanya. Aneh sekali!"
Aku menghela napas mendengar cerita Ken dan berpikir. Apakah yang dimaksud Ken itu adalah Keenan?Lamunanku tiba-tiba terhenti ketika Ibu memanggilku."Ara ... Ken ... ayo sarapan dulu, Nak," ucap Ibu yang sudah berada di ambang pintu."Iya, Bu," sahutku, menoleh ke arahnya, lalu aku melirik ke arah putraku yang masih asyik dengan tabletnya."Ken, ayo kita sarapan dulu." Ajakku, berusaha menarik perhatiannya dari perangkat yang ia pegang erat.Mendengar perkataanku, Ken langsung mengangguk dan mengiyakan. "Baik, Mom."Kami berdua lantas berjalan menuju dapur untuk menyantap hidangan yang sudah disiapkan.Ketika tiba di dapur, kami dihadapkan dengan berbagai macam lauk pauk yang menarik selera. Terasa aroma sedap dari masakan Ibu yang terkenal lezat. Mulai dari nasi hangat, sayur asem hingga sambal goreng hati, semuanya terhidang rapi di atas meja.Ibu tersenyum memandang kami, Ibu sepertinya begitu puas melihat kami menikmati hidangan yang disajikan. Suasana dapur pun terasa lebih hangat dengan adanya tawa dan canda ringan diantara kami bertiga.Setelah sarapan selesai, aku membersihkan meja dan peralatan makan yang telah digunakan. Kuperintahkan Ibu untuk beristirahat saja, karena aku tahu ia juga kelelahan. Mungkin nanti aku harus menyewa asisten rumah tangga, sebab sejujurnya, aku tak ingin melihat Ibu terus kecapean saat memasak.***Kuamati wajahku di depan cermin, setelah merapikan diri, terasa ada yang hilang pada penampilanku. Malam ini, entah mengapa, jantungku berdegup kencang - lebih kencang dari biasanya. Aku akan bertemu pria yang pernah dekat denganku, yang aku tinggalkan selama 6 tahun tanpa alasan yang jelas. Aku merasa khawatir kepada sikapnya nanti, apakah ia akan membenciku atau bahkan sudah melupakan keberadaanku?"Ara, aku sudah membawakan beberapa gaun untukmu," kata Sissi, berjalan ke arahku sambil membawa beberapa gaun di tangannya."Terima kasih," balasku dengan senyum.Aku mencoba gaun pertama, gaun merah dengan potongan yang elegan. "Bagaimana?" tanyaku sambil memutar badanku perlahan."Cantik! Tapi, coba yang selanjutnya juga," saran Sissi. Aku mengangguk dan kembali ke ruang ganti.Setelah mencoba beberapa gaun, akhirnya keputusan jatuh pada gaun hitam bersiluet mengikuti bentuk tubuh yang dihiasi payet keemasan. Gaun ini terlihat memukau dan cocok untuk tema malam ini."Kamu terlihat menawan, Ara. Aku yakin semua mata akan tertuju padamu."Aku tersenyum bahagia mendengar perkataan Sissi. Akan tetapi aku merasa risau, aku hanya takut semua orang akan memperhatikanku, terlebih lagi aku baru kembali dari luar negeri, dan sudah bertahun-tahun pula kami tidak pernah bertemu.Aku melihat Ibu yang memasuki kamar, langkahnya pelan menghampiriku. "Ara, kamu cantik sekali, Sayang.""Terima kasih, Bu.""Apa kamu yakin dengan keputusan ini, Nak? Ibu hanya tidak ingin kamu merasa tertekan, apalagi kamu pasti akan bertemu Keenan nanti di sana."Aku menatap wajah Ibu yang penuh kekhawatiran. Aku tahu, bila aku nanti pasti akan bertemu dengan Keenan, tapi walau bagaimana pun juga, cepat atau lambat aku pasti akan bertemu dengan dia. Apa pun yang terjadi, aku akan menghadapinya tanpa takut."Ara yakin dengan keputusan ini, Ibu. Tidak perlu khawatir, Ara akan menghadapinya."Wajah Ibu tampak ragu, namun ia mencoba tersenyum. "Baiklah, Nak, bila itu maumu. Ibu hanya takut saja."Aku mengambil tangan Ibu, mencoba menenangkannya. "Ibu, semuanya akan baik-baik saja. Ara akan kuat, seperti yang Ibu ajarkan."Mendengar kata-kataku, Ibu mulai menenangkan diri. "Ara, Ibu percaya padamu. Kamu adalah anakku, dan Ibu tahu kamu akan bisa melewati semua ini."Aku memeluk Ibu erat, merasakan kehangatan kasih sayangnya. "Terima kasih, Ibu. Ara akan selalu berjuang untuk itu."Menatap jam yang ada di atas dinding, kulihat waktu menunjukkan pukul 20:23 malam. Aku tersadar pesta akan berlangsung pukul 21:00 dan sepertinya sudah saatnya aku pergi.Aku melepaskan pelukan dengan perlahan. "Aku harus pergi sekarang, Bu.""Iya, hati-hati di jalan, ya!"Aku mengangguk. "Terima kasih, Bu.""Apa kamu mau aku antar?" tawar Sissi."Tidak perlu. Aku bisa pergi sendiri."Setelah berpamitan, aku melangkah keluar dari gedung apartemen. Rasanya jantungku berdebar kencang, gugup menjelang pesta ulang tahun Tante Hana. Aku tak tahu apa yang akan terjadi di sana, tapi berharap kehadiranku tak mengganggu suasana.Kuambil napas dalam-dalam ketika aku membuka pintu mobil, buru-buru masuk, dan memakai sabuk pengaman sebelum menekan tombol starter. Kendaraan pun beranjak berjalan perlahan ketika kakiku menekan pedal gas dengan hati-hati. Ada sejuta perasaan berkumpul dalam diriku - cemas, harap, dan bahkan sedikit takut.Rasa cemas membayang pada setiap jengkal jalan. Aku bertanya-tanya, bagaimana reaksi keluarga Keenan saat mereka melihatku di pesta nanti? Apakah semuanya akan berjalan lancar, atau rasa was-was ini sungguh berarti ada yang tidak beres? Pertanyaan-pertanyaan ini menghantui setiap langkah pedal yang kuinjak.Aku tiba di rumah Tante Hana setelah melalui perjalanan dengan rasa harap berkecamuk. Aku melangkah keluar dari mobil, menghembuskan napas sejenak, dan mengatur langkah menuju pintu. Ini adalah awal yang baru dan aku yakin aku bisa melewatinya dengan lancar.Saat aku melangkah menuju pintu, petugas penjaga tiba-tiba menghentikan langkahku. "Maaf, Bu. Bisakah Anda memperlihatkan kartu undangannya?" katanya dengan nada serius. Wajahku tersentak kaget, namun aku tidak panik. Kuraih tas kecil yang kubawa, mencari kartu undangan yang diberikan Tante Hana beberapa hari sebelumnya."Silakan, ini kartunya, Pak." Aku menjawab sambil menyerahkan kartu undangan tersebut kepada petugas. Setelah diperiksa dengan teliti, ia menganggukkan kepala dan mengizinkanku untuk masuk.Denyutan jantung melaju cepat ketika memasuki pintu rumah yang megah. Aku merasakan banyak palu berdetak di dadaku, memberikan ritme yang jelas pada saat-saat mendapat tantangan ini. Tetapi aku sadar, tidak ada yang bisa dilakukan selain menghadapi pesta malam ini.Baru saja kaki melangkah masuk ke dalam rumah, sorot mata mulai menatapku satu per satu. Ada yang memuji, ada yang berbisik dengan tatapan aneh. Aku mulai risau, khawatir jika perhatian tersebut membuat situasi menjadi semakin rumit. Tapi, aku tidak ingin menunjukkan rasa cemas itu pada setiap orang."Kiara ..." Aku terkesiap ketika mendengar ada yang memanggil namaku. Dengan sigap, kuamati sekeliling untuk mencari siapa yang memanggilku."Anggun ..." Aku tersenyum senang ketika melihat Anggun yang berjalan mendekatiku. Dia adalah sahabatku sewaktu kami masih duduk di SMA, kebetulan orang tuanya adalah sahabat dari Tante Hana. Mungkin … dia juga ikut datang bersama keluarganya."Aku tidak menyangka kau kembali. Bagaimana kabarmu?" Anggun memelukku erat."Aku baik, bagaimana denganmu?"Anggun melepaskan pelukannya, lalu mengamatiku dengan teliti."Sama, aku juga baik. Kamu Kiara, kan?""Memangnya kau kira aku siapa? Apa kau lupa denganku?" Aku menggodanya.Anggun terkikik. "Maaf, aku begitu pangling melihatmu. Kau sangat cantik sekarang. Tubuhmu indah seperti gitar Spanyol, kulitmu mulus dan glowing. Ceritakan dong rahasianya!"Aku terkekeh mendengar penuturannya. "Kau bisa saja." Kutepuk lembut bahunya. "Ingin tahu rahasia kulit glowingku?"Anggun mengangguk."Rahasianya ... air wudhu, hehe ..."Anggun mencubit pinggangku pelan. "Kamu bisa saja."Setelah lama kami berbincang, aku memutuskan untuk pergi mencari Tante Hana. Namun, tak disangka-sangka, aku malah beradu pandang dengan lelaki yang selama ini selalu menjadi bayang-bayang di benakku.Keenan - sosok yang selama ini kerap menghantui pikiranku - kini tengah memandangku dengan tatapan yang sulit untuk kuartikan.Tiba-tiba, seluruh tubuhku terasa tegang, merasa seperti pohon yang tertiup angin ribut. Jantungku berdetak lebih keras, mencoba menyuarakan seribu satu keraguan yang selama ini mengintai pelan-pelan. Wajahku mungkin tampak tenang, namun di dalam sanubari, aku merasa bak tengah berada dalam mimpi yang sulit diprediksi akhirnya.Mataku yang terbelalak untuk beberapa detik akhirnya menyadarkanku, bahwa Keenan telah di depanku, waktu terasa seolah menyusut seiring arus cerita yang kian lama luput dari ingatanku. Serentak, napas kami seakan tersengal-sengal mengarungi gelombang bertemunya dua hati yang menjadi satu.Hatiku seperti tertusuk duri sembilu, saat Marissa tiba-tiba datang dan menggandeng lengan Keenan. Seakan ia menyadarkanku bahwa Keenan kini adalah miliknya.Hatiku seperti tertusuk duri sembilu saat Marissa tiba-tiba muncul dan menggandeng lengan Keenan. Seolah ia ingin menyadarkanku bahwa kini Keenan adalah miliknya. "Hai, Kiara, ternyata kamu sudah kembali," sapa Marissa dengan begitu ramah. "Bagaimana kabarmu? Sejak kamu pergi ke luar negeri, kami tidak pernah mendengar kabar darimu."Aku mencoba tersenyum, sambil menjawab, "Aku baik-baik saja, Marissa. Terima kasih sudah menanyakan kabarku."Rahasia telah aku jalani sejak pergi ke luar negeri. Aku tidak ingin semua orang mengenaliku atau melacak keberadaanku. Untuk itu, aku melepaskan semua kartu identitasku, mengganti ponsel dan kartu SIM, serta berhenti memainkan media sosial yang pernah kukenal.Sesungguhnya, hati yang terluka menjadi alasan utama aku melakukan semua perubahan tersebut. Kepergianku ke luar negeri mengharuskanku jauh dari Keenan, dan ia kini semakin dekat dengan Marissa. Bahkan aku menghindari mengabadikan momen-momen kehidupanku di sana, berusaha menjauh dari duni
"Syukurlah, aku harap apa yang kamu katakan benar," ucap Fina dengan senyum smirk-nya. Aku mencoba untuk tersenyum, tetapi hatiku masih terasa sakit.Anggun, sahabatku, mencoba mengalihkan perhatian. "Sudahlah, kita makan saja, tidak perlu membahas yang lain," ujar Anggun sambil menatapku penuh perhatian. Meski Fina merasa kesal, namun aku berusaha untuk tidak terpengaruh olehnya.Fina melanjutkan perkataannya, "Memangnya kenapa kalau membahas yang lain? Tidak ada orang yang kebakaran jenggot, kan?" Sentakanku menjadi semakin nyata. Aku benar-benar kalah menghadapi Fina. Dia terus saja memojokkan aku.Aku tidak mengerti mengapa Fina seolah tidak menyukai kehadiranku. Sejak tadi, dia terus saja mencoba untuk membuatku merasa tidak nyaman. Apakah dia mengira aku kembali ke Indonesia hanya untuk menggagalkan pertunangan Marissa dan Keenan? Sejujurnya, aku sama sekali tidak mengetahui bahwa mereka berdua akan bertunangan. Dan jika memang itu terjadi, aku akan merasa bahagia jika kebahagiaa
Pov Keenan.Setelah menyapa beberapa rekan kerja, rasa gundah muncul begitu saja. Tempat ini, yang kuharap bisa membantuku melupakan masa lalu, kini menjadi saksi kembalinya sosok menyakitkan itu. Wanita yang menghancurkan hidupku hingga hancur berkeping-keping.Aku mengepalkan tanganku, merasakan amarah yang berkobar di dada. Berbagai pertanyaan muncul di benakku. Apakah dia kembali hanya untuk menyakiti perasaanku saja? Mengapa di saat aku mulai melupakannya, dia kembali dengan membawa luka lama? Apakah dia kembali hanya untuk menambah derita? Kenapa dia harus kembali lagi, di saat hatiku sudah membaik?Luka lama mulai terasa membakar kembali. Betapa dulu, aku begitu mencintainya dan ingin menjadikannya pelabuhan terakhirku. Tapi, dia dengan tega menghancurkan semuanya. Kini, dia kembali hadir dan membawa luka-luka itu bersamanya.Kepalaku terasa sakit, seperti akan meledak karenanya. Aku menapakkan kaki keluar, meninggalkan tempat keramaian untuk mencari ketenangan. Meski berulang
"Aku bilang pergi! Apa kau tidak mendengarku?!" bentakku, tak bisa menahan emosi yang memuncak.Prang …!Tak sengaja, kuhempaskan botol minum yang ada di atas meja. Botol itu jatuh dan terpecah belah di lantai, menggambarkan perasaanku yang sudah hancur lebur karena ulah Kiara. Meskipun dia mencoba untuk memperbaikinya, tetap saja tidak akan pernah utuh seperti sedia kala.Aku menahan air mata yang akan mengalir seiring dengan jatuhnya botol minum tersebut. Wajahku bermuram, mencerminkan rasa sakit yang tak mampu terungkapkan. Kiara mulai menangis, tangisnya terdengar pelan dan perlahan menyayat hati. Namun, aku tidak bisa melupakan pengkhianatan yang dia lakukan padaku. Semua kenangan bersama bagai terkoyak oleh pilihan yang dia ambil, membuat cinta yang selama ini kami jalin tak lagi bermakna."Maafkan aku, aku tahu aku salah karena telah meninggalkanmu begitu saja. Mungkin maafku tak bisa menyembuhkan perasaanmu, tapi kuharap kau bahagia bersama Marissa," ucap Kiara.Cebikan sinis
Sambil tersenyum, aku menegaskan pada mamaku. "Mama tidak salah dengar, aku ingin bertunangan dengan Marissa. Aku percaya pilihan Mama yang terbaik untukku." Ucapan itu keluar dari mulutku dengan penuh ketulusan, karena aku tahu betapa mama ingin aku bahagia bersama Marissa.Mama menatapku dengan kasih sayang, kemudian mengelus wajahku lembut. "Terima kasih, Sayang. Kamu memang anak yang baik. Mama sangat beruntung memilikimu," kata Mama dengan nada lembut.Meski begitu, di dalam hati, aku merasa terpaksa menerima keputusan untuk bertunangan dengan Marissa. Sejak dulu, Mama selalu mendorongku untuk segera menikahi Marissa. Namun, entah mengapa, perasaanku masih bimbang. Kami memang sudah menjalin hubungan, tapi ada sesuatu yang mengganjal pikiranku.Aku mencoba menyembunyikan keraguan itu dan menuruti keinginan Mama agar ia bahagia. Aku ingin melihat Mama bahagia melihatku sebagai calon suami Marissa. Namun, pertanyaannya adalah, apakah aku juga akan bahagia dengan keputusan ini?Seba
Pov KiaraSejak pagi tadi, aku terus mencari Kenzie di seluruh penjuru apartemen dan ke mana-mana, namun tak kunjung menemukan keberadaan putraku itu. Aku mulai merasa cemas, dan memutuskan untuk bertanya ke area resepsionis yang ada di area apartemen, mungkin saja mereka dapat membantuku. Sebelumnya, sudah kucoba menghubungi Kenzie lewat telepon, namun yang kulihat hanya dering ponselnya yang ada di dalam kamar. Ternyata, Kenzie meninggalkan ponselnya di apartemen.Dengan napas tersengal, aku mendekati resepsionis dan menunjukkan foto Kenzie sambil berkata, "Maaf, Mbak, saya sedang mencari anak saya, apa ada yang melihatnya?"Mereka lalu memperhatikan foto Kenzie dengan seksama, lalu kembali menatapku.Salah satu resepsionis mengangguk dan menjawab, "Mm … dia ada di belakang Bu Kiara."Aku terperanjat mendengar jawaban tersebut. "Hah? Belakang?" Tanpa berpikir panjang, aku langsung menoleh ke arah belakang dan benar saja, ternyata di sana ada Kenzie. Putraku yang kucari itu sedang te
Ternyata yang berdiri di balik pintu bukanlah Keenan. Kelegaan menyapu seluruh tubuhku seketika. Namun, siapa sebenarnya sosok yang berdiri di hadapanku ini? Apa yang ingin dia lakukan? Pertanyaan-pertanyaan ini mulai bergelora dalam pikiranku. Kubuat jarak agar lebih aman sambil mencoba membaca niat orang yang ada di depanku.Dengan sopan, ia menyapaku, "Permisi, apa benar dengan Bu Kiara Dewi Anggraeni?" tanyanya.Aku menghapus keringat di dahi sambil tersenyum ramah. "Benar, saya sendiri. Ada apa, ya?"Dia menyerahkan sebuah buket bunga mawar berwarna merah kepadaku. "Ini ada kiriman untuk Ibu," katanya.Seketika aku mengerutkan keningku. Aku berpikir keras siapa yang mungkin mengirim bunga untukku. Aku bertanya pada kurir itu, "Maaf, Mas, dari siapa, ya?"Lelaki itu menggeleng. "Pengirimnya tidak ingin memberitahu namanya, Bu." Mataku membulat, kening terangkat, aku semakin kebingungan dengan semua ini."Tapi … ini beneran untuk saya?" Aku memastikan agar orang itu tidak salah kir
"KIARA!" teriak Keenan yang entah sejak kapan ada di dekat kami. Suara bariton-nya mengagetkanku, aku menoleh ke arah belakang, dan mataku membulat tak percaya melihat Keenan ada di belakangku."K-Keenan," gumamku lirih. Aku melihat mata coklatnya menatapku begitu tajam, sepertinya dia mendengar apa yang telah aku katakan sebelumnya.Aku terkesiap ketika dia menarik tanganku, menjauh beberapa meter dari Marissa, lalu setelah itu, ia menghempaskan tubuhku ke dinding yang membuat punggungku terasa sakit."Aduh!" rintihku kesakitan."Apa yang kamu katakan kepada Marissa, hah?" Dia bertanya dengan emosi, bisa kulihat rahang tegasnya sudah mengeras."Aku tidak mengatakan apa-apa," gumamku.Dia menyela, "Memangnya kamu pikir aku tidak mendengar perkataanmu?!"Aku menatap matanya yang sudah begitu sangat marah. "Memangnya apa yang salah dengan perkataanku?""Dasar wanita tidak tahu malu!" bentaknya. "Seharusnya aku membuka pikiranku dari dulu, mengapa aku bisa jatuh cinta kepada wanita seper