Dalam sekejap, aku segera berbalik badan, mengenakan kacamata hitam dan masker untuk menyamarkan wajahku. Tak lupa, aku mengambil topi Kenzie yang tersimpan di tas, meski kecil, namun cukup untuk melindungi identitasku.
Dengan hati berdebar, kuamati sekitar sebelum beranjak meninggalkan lokasi itu, berusaha menjauhkan diri dari pandangan Keenan. Aku berdoa ia tidak sempat melihatku.Namun, takdir belum berpihak. Tiba-tiba, langkahku terhenti ketika mendengar suara bariton yang telah lama kurindukan rintihannya."Tunggu!"Jantungku beradu di dada, ketakutan mulai menggerogoti seluruh jiwaku. Keenan akhirnya berada di dekatku, menghentikan langkahku yang sempoyongan. Kubangun dinding mental untuk mengendalikan tubuhku yang terasa beku dan tak berkutik.Suasana di sekitar terasa kelam dan suram, seakan waktu berhenti dan segalanya berpihak pada Keenan.Kini hatiku dipenuhi kebimbangan, haruskah aku melangkah maju atau menghindar dari sisi Keenan? Aku tahu bahwa keputusan ini akan mengubah semua yang ada di jalan kehidupanku dan juga dalam hati Keenan."Dompetmu terjatuh."Sejenak, rasa cemas itu memudar. Keenan menyerahkan sebuah dompet berwarna coklat kepadaku. Terbayang di benakku, dompet itu pasti terjatuh ketika aku mengambil topi Kenzie tadi. Betapa cerobohnya aku.Dengan menundukkan kepala dan menghindari pandangannya, kuputuskan untuk hanya mengangguk dan menerima dompet tersebut."Terima kasih," gumamku pelan, berharap Keenan tak mengenali suaraku.Aku segera meninggalkan Keenan, kuputuskan untuk mencari tempat persembunyian.Bagai es yang bergulir di tenggorokan, rasa kengerian yang muncul seakan memberitahu bahwa dalam benakku, hidup ini sarat dengan misteri yang tak pernah terduga. Perasaan cinta dan luka terpendam masih begitu kuat, menghantui setiap langkahku.Seiring dengan langkahku menjauh, pikiran terus bergulat dengan pertanyaan tentang apa yang terjadi jika aku bertahan dan menghadapi perasaan ini. Namun, apa artinya mengejar kebahagiaan yang mungkin tak pernah ada? Bukankah lebih baik merasakan getirnya sepi daripada terus terjebak dalam lingkaran kesakitan yang sama?"Sial!"Seruan Keenan terdengar jelas, hingga membuatku mengintip dari balik tiang yang menjulang tinggi.Mataku terbelalak ketika melihat Kenzie, anakku, berada tepat di depan Keenan. Aku menepuk jidatku, tersadar betapa cerobohnya aku membiarkan Kenzie berkeliaran sendiri."Dasar anak ceroboh! Harusnya kamu berjalan dengan benar, lihat celanaku jadi kotor karenamu!"Keenan terlihat jelas kesal karena es krim yang dipegang Kenzie tumpah ke celana dan sepatunya.Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan? Aku tidak mungkin keluar dari persembunyian ini."Hey, Paman! Kenapa memarahiku? Harusnya Paman yang berjalan dengan benar!" sahut Kenzie, menyuarakan pendapatnya.Wajah pasrah kedua lelaki itu tergambar jelas di hadapanku. Mereka berdua terlihat begitu kesal satu sama lain. Aku berharap semoga saja Keenan tak menyadari bahwa Kenzie begitu mirip dengannya.Sementara itu, bayang-bayang masa lalu menggangguku. Keenan, mantan kasihku yang selalu terpaut dalam sanubari, dan Kenzie, anakku yang menjadi pelipur lara akan kelukaan hati. Bisikan kenangan lama kembali mengusik, mempertanyakan segala sesuatu yang telah diperjuangkan."Sudah salah, bukannya minta maaf, malah menyalahkan orang lain," tegur Keenan dengan nada kesal."Paman, aku tidak akan meminta maaf karena aku tidak salah," sela Kenzie, mencoba mempertahankan pendapatnya."Celanaku kotor karena ulahmu, dan kamu bilang masih tidak salah, huh?" tanya Keenan, semakin kesal dengan setiap kata yang dilontarkan Kenzie."Paman, jangan salahkan aku. Kau sendiri yang tidak bisa berjalan dengan benar," bela Kenzie dengan keras kepala.Keenan mengerutkan keningnya dengan kesal. Dia tidak bisa menyembunyikan kemarahan yang sedang memuncak dalam dirinya. "Jangan panggil aku paman terus, memangnya sejak kapan aku menikah dengan bibimu?" lanjutnya, semakin keras.Kenzie hanya bisa bersedekap dada, ia mengamati lelaki yang ada di hadapannya. Tiba-tiba, dia mengajukan pertanyaan yang membuatku kaget. "Paman, mengapa wajah kita begitu mirip? Apakah kamu adalah aku dari masa depan?" tanyanya, dengan tatapan serius.Keenan yang sedang sibuk membersihkan es krim di celananya seketika menoleh ke arah Kenzie. Sorot mata dan raut wajahnya yang terkejut tak henti menatap Kenzie. Aku juga terkejut dengan pertanyaan tersebut. Mengapa anakku bisa berkata seperti itu?Keenan terdiam sejenak sebelum akhirnya memandang Kenzie dengan tatapan bingung. "Benarkah? Tentu saja, aku bukan kau dari masa depan," ujarnya, masih terlihat begitu bingung.Kenzie menatap tajam Keenan dengan wajah yang menggambarkan kebingungan dan ketidak percayaannya. "Tapi wajah kita begitu mirip. Kenapa begitu?" tanyanya perlahan, meningkatkan intensitas tatapannya pada Keenan."Di mana orang tuamu? Kenapa kamu berkeliaran sendirian?" tanya Keenan kepada Kenzie, dengan suara sedikit kebingungan."Aku ke sini bersama Oma dan Mommy," jawab Kenzie."Lalu, di mana mereka sekarang?" tanya Keenan lagi dengan nada yang sama.Mendengar pertanyaan tersebut, Kenzie menunjuk ke arah tempat duduk di mana ibu duduk sendirian. Aku merasa cemas dan khawatir jika Keenan melihat ibu yang sedang duduk di kursinya.Namun, perasaan tersebut hilang seluruhnya ketika Sissi datang dan langsung berlari ke arah Kenzie. "Ken, kamu ada di sini?" tanya Sissi dengan suara ramah."Siapa kamu?" tanya Kenzie dan Keenan serentak, mereka tampak heran dan penasaran pada Sissi.Sissi membungkukkan tubuhnya ke arah Keenan. "Maaf, saya adalah tantenya Kenzie," kata Sissi, mencoba menjelaskan.Kenzie tampak berpikir. "Tante? Sejak kapan aku memiliki tante?" tanyanya bingung.Sissi hanya tersenyum. "Ken, ini adalah tantemu, Sissi. Apa kamu lupa?" tanyanya sambil menunjuk ke arah dirinya."Tante Sissi? Bukannya Tante Sissi memiliki tubuh yang seksi? Mengapa sekarang menjadi seperti karung beras?" tanya Ken dengan polos.Aku hanya bisa menepuk jidatku sendiri. Bahkan Keenan ikut terkekeh mendengar perkataan Kenzie. Kedua lelaki itu benar-benar keterlaluan."Ken, pasti kamu cuma melihat di foto profil saja, kan? Itu adalah tubuhku tiga tahun yang lalu," jawab Sissi sambil mencoba menjelaskan."Oh, begitu ya?" ucap Ken dengan ekspresi mengerti."Iya, ayo kita pergi sekarang!" ajak Sissi, lalu meraih tangan mungil Kenzie dan berjalan pergi dari hadapan Keenan.Namun, Keenan mengejar mereka dan memanggil Sissi. "Tunggu!"Keduanya berhenti dan menoleh ke arah Keenan. "Ada apa?" tanya Sissi."Aku tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Dia harus minta maaf karena telah menumpahkan es krim di celana dan sepatuku," kata Keenan, memperlihatkan celananya yang kotor.Sissi melirik Kenzie dan berkata, "Ken, ayo minta maaf!"Ken menolak dan menggelengkan kepala. "Tidak mau, kata Mommy, aku tidak perlu minta maaf bila aku tidak salah," jawab Ken dengan polos."Hai, anak nakal, apa salahnya bila kamu minta maaf?" tanya Keenan kesal."Tidak mau, Paman galak, ble!" Rupanya, Ken tidak ingin meminta maaf dan langsung berlari pergi dari hadapan Keenan sambil menjulurkan lidahnya.Sissi membungkukkan tubuhnya. "Maaf, Ken memang selalu seperti itu, tolong dimaklumi karena dia masih anak kecil.""Apa? Anak kecil? Sudah seharusnya dia diajari sopan santun sejak kecil, biar tidak melawan terus saat besar nanti," ujar Keenan kesal."Baik, saya minta maaf sekali lagi." Sissi meminta maaf sekali lagi sebelum akhirnya pergi dari hadapan Keenan.***Aku merenung sejenak, mengagumi pemandangan yang indah dari apartemenku. Udara begitu sejuk dan menyegarkan, seolah membelai wajahku dengan lembut. Aku memilih apartemen ini karena pemandangannya yang menakjubkan, terutama dengan view langsung menuju persawahan yang terbentang luas. Namun, lamunanku terhenti setelah ada yang mengetuk pintu kamar."Masuk!" seruku dari tempatku duduk.Sissi membuka pintu dan berjalan mendekatiku. "Besok adalah ulang tahun tante Hana, apa kamu akan menghadiri ulang tahunnya?"Tante Hana adalah tante dari Keenan, adik dari almarhum ayahnya. Meskipun aku sudah lama tidak bertemu dengan Keenan, aku pasti akan datang untuk memberikan ucapan selamat kepada tante Hana. Aku menghela napas sebelum menjawab, "Aku sudah diundang, aku pasti akan datang.""Tapi, kamu pasti akan bertemu Keenan di sana."Aku tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa aku akan bertemu dengan Keenan di sana. Jantungku berdegup kencang dan otakku mulai bingung. Aku sudah lama berpisah dengannya, dan ada banyak hal yang mengganggu pikiranku."Cepat atau lambat, aku pasti akan bertemu dengan dia," jawabku masih dalam kebingungan."Ara, Marissa dan Keenan …."Sementara itu, Sissi menggantung perkataannya, membuatku semakin penasaran."Kenapa dengan mereka?"Akhirnya dia melanjutkan ucapannya, "Marissa dan Keenan … mereka sudah berhubungan."Tiba-tiba, jantungku berdetak lebih kencang. Perasaan cemburu dan sedih mendera diriku. Bagaimana aku bisa melupakan Keenan? Aku merasa tidak rela kehilangan satu-satunya orang yang pernah aku cintai."Kenapa dengan mereka?"Akhirnya dia melanjutkan ucapannya, "Kabarnya, Marissa dan Keenan telah menjalin hubungan."Jantungku berdebar kencang, perasaan cemburu dan kesedihan menyelimuti diri ini. Hatiku berkecamuk, bagaimana mungkin aku melupakan Keenan? Aku merasa tak rela kehilangan orang yang satu-satunya pernah kucintai.Namun, aku berupaya keras untuk mengendalikan emosi. Marissa dan Keenan berhak untuk mencari dan mendapatkan kebahagiaan mereka, meskipun kebahagiaan itu bukan bersamaku."Sissi, terima kasih sudah memberitahuku." Aku berusaha tersenyum. "Aku harap mereka bisa bahagia."Sambil menguatkan hati, aku berusaha berbicara dengan nada suara yang lebih ceria dan penuh semangat. Perlahan, aku menyadari bahwa kehilangan Keenan bukanlah akhir dari segalanya. Aku belajar untuk lebih menghargai diri sendiri. Aku mencintai apa yang kumiliki dan menjalani kehidupan yang aku pilih. Suatu hari nanti, aku akan menemukan orang yang tepat untuk menyempurnakan hidupku. Dan pada saat
Ken tampak kesal saat menceritakan kejadian tidak menyenangkan itu. "Dia menabrakku, Mom, hingga es krim yang aku pegang terjatuh ke celana dan sepatunya. Namun, bukannya minta maaf, dia malah menyalahkan aku dan memintaku untuk meminta maaf padanya. Aneh sekali!"Aku menghela napas mendengar cerita Ken dan berpikir. Apakah yang dimaksud Ken itu adalah Keenan?Lamunanku tiba-tiba terhenti ketika Ibu memanggilku."Ara ... Ken ... ayo sarapan dulu, Nak," ucap Ibu yang sudah berada di ambang pintu."Iya, Bu," sahutku, menoleh ke arahnya, lalu aku melirik ke arah putraku yang masih asyik dengan tabletnya."Ken, ayo kita sarapan dulu." Ajakku, berusaha menarik perhatiannya dari perangkat yang ia pegang erat.Mendengar perkataanku, Ken langsung mengangguk dan mengiyakan. "Baik, Mom."Kami berdua lantas berjalan menuju dapur untuk menyantap hidangan yang sudah disiapkan.Ketika tiba di dapur, kami dihadapkan dengan berbagai macam lauk pauk yang menarik selera. Terasa aroma sedap dari masakan
Hatiku seperti tertusuk duri sembilu saat Marissa tiba-tiba muncul dan menggandeng lengan Keenan. Seolah ia ingin menyadarkanku bahwa kini Keenan adalah miliknya. "Hai, Kiara, ternyata kamu sudah kembali," sapa Marissa dengan begitu ramah. "Bagaimana kabarmu? Sejak kamu pergi ke luar negeri, kami tidak pernah mendengar kabar darimu."Aku mencoba tersenyum, sambil menjawab, "Aku baik-baik saja, Marissa. Terima kasih sudah menanyakan kabarku."Rahasia telah aku jalani sejak pergi ke luar negeri. Aku tidak ingin semua orang mengenaliku atau melacak keberadaanku. Untuk itu, aku melepaskan semua kartu identitasku, mengganti ponsel dan kartu SIM, serta berhenti memainkan media sosial yang pernah kukenal.Sesungguhnya, hati yang terluka menjadi alasan utama aku melakukan semua perubahan tersebut. Kepergianku ke luar negeri mengharuskanku jauh dari Keenan, dan ia kini semakin dekat dengan Marissa. Bahkan aku menghindari mengabadikan momen-momen kehidupanku di sana, berusaha menjauh dari duni
"Syukurlah, aku harap apa yang kamu katakan benar," ucap Fina dengan senyum smirk-nya. Aku mencoba untuk tersenyum, tetapi hatiku masih terasa sakit.Anggun, sahabatku, mencoba mengalihkan perhatian. "Sudahlah, kita makan saja, tidak perlu membahas yang lain," ujar Anggun sambil menatapku penuh perhatian. Meski Fina merasa kesal, namun aku berusaha untuk tidak terpengaruh olehnya.Fina melanjutkan perkataannya, "Memangnya kenapa kalau membahas yang lain? Tidak ada orang yang kebakaran jenggot, kan?" Sentakanku menjadi semakin nyata. Aku benar-benar kalah menghadapi Fina. Dia terus saja memojokkan aku.Aku tidak mengerti mengapa Fina seolah tidak menyukai kehadiranku. Sejak tadi, dia terus saja mencoba untuk membuatku merasa tidak nyaman. Apakah dia mengira aku kembali ke Indonesia hanya untuk menggagalkan pertunangan Marissa dan Keenan? Sejujurnya, aku sama sekali tidak mengetahui bahwa mereka berdua akan bertunangan. Dan jika memang itu terjadi, aku akan merasa bahagia jika kebahagiaa
Pov Keenan.Setelah menyapa beberapa rekan kerja, rasa gundah muncul begitu saja. Tempat ini, yang kuharap bisa membantuku melupakan masa lalu, kini menjadi saksi kembalinya sosok menyakitkan itu. Wanita yang menghancurkan hidupku hingga hancur berkeping-keping.Aku mengepalkan tanganku, merasakan amarah yang berkobar di dada. Berbagai pertanyaan muncul di benakku. Apakah dia kembali hanya untuk menyakiti perasaanku saja? Mengapa di saat aku mulai melupakannya, dia kembali dengan membawa luka lama? Apakah dia kembali hanya untuk menambah derita? Kenapa dia harus kembali lagi, di saat hatiku sudah membaik?Luka lama mulai terasa membakar kembali. Betapa dulu, aku begitu mencintainya dan ingin menjadikannya pelabuhan terakhirku. Tapi, dia dengan tega menghancurkan semuanya. Kini, dia kembali hadir dan membawa luka-luka itu bersamanya.Kepalaku terasa sakit, seperti akan meledak karenanya. Aku menapakkan kaki keluar, meninggalkan tempat keramaian untuk mencari ketenangan. Meski berulang
"Aku bilang pergi! Apa kau tidak mendengarku?!" bentakku, tak bisa menahan emosi yang memuncak.Prang …!Tak sengaja, kuhempaskan botol minum yang ada di atas meja. Botol itu jatuh dan terpecah belah di lantai, menggambarkan perasaanku yang sudah hancur lebur karena ulah Kiara. Meskipun dia mencoba untuk memperbaikinya, tetap saja tidak akan pernah utuh seperti sedia kala.Aku menahan air mata yang akan mengalir seiring dengan jatuhnya botol minum tersebut. Wajahku bermuram, mencerminkan rasa sakit yang tak mampu terungkapkan. Kiara mulai menangis, tangisnya terdengar pelan dan perlahan menyayat hati. Namun, aku tidak bisa melupakan pengkhianatan yang dia lakukan padaku. Semua kenangan bersama bagai terkoyak oleh pilihan yang dia ambil, membuat cinta yang selama ini kami jalin tak lagi bermakna."Maafkan aku, aku tahu aku salah karena telah meninggalkanmu begitu saja. Mungkin maafku tak bisa menyembuhkan perasaanmu, tapi kuharap kau bahagia bersama Marissa," ucap Kiara.Cebikan sinis
Sambil tersenyum, aku menegaskan pada mamaku. "Mama tidak salah dengar, aku ingin bertunangan dengan Marissa. Aku percaya pilihan Mama yang terbaik untukku." Ucapan itu keluar dari mulutku dengan penuh ketulusan, karena aku tahu betapa mama ingin aku bahagia bersama Marissa.Mama menatapku dengan kasih sayang, kemudian mengelus wajahku lembut. "Terima kasih, Sayang. Kamu memang anak yang baik. Mama sangat beruntung memilikimu," kata Mama dengan nada lembut.Meski begitu, di dalam hati, aku merasa terpaksa menerima keputusan untuk bertunangan dengan Marissa. Sejak dulu, Mama selalu mendorongku untuk segera menikahi Marissa. Namun, entah mengapa, perasaanku masih bimbang. Kami memang sudah menjalin hubungan, tapi ada sesuatu yang mengganjal pikiranku.Aku mencoba menyembunyikan keraguan itu dan menuruti keinginan Mama agar ia bahagia. Aku ingin melihat Mama bahagia melihatku sebagai calon suami Marissa. Namun, pertanyaannya adalah, apakah aku juga akan bahagia dengan keputusan ini?Seba
Pov KiaraSejak pagi tadi, aku terus mencari Kenzie di seluruh penjuru apartemen dan ke mana-mana, namun tak kunjung menemukan keberadaan putraku itu. Aku mulai merasa cemas, dan memutuskan untuk bertanya ke area resepsionis yang ada di area apartemen, mungkin saja mereka dapat membantuku. Sebelumnya, sudah kucoba menghubungi Kenzie lewat telepon, namun yang kulihat hanya dering ponselnya yang ada di dalam kamar. Ternyata, Kenzie meninggalkan ponselnya di apartemen.Dengan napas tersengal, aku mendekati resepsionis dan menunjukkan foto Kenzie sambil berkata, "Maaf, Mbak, saya sedang mencari anak saya, apa ada yang melihatnya?"Mereka lalu memperhatikan foto Kenzie dengan seksama, lalu kembali menatapku.Salah satu resepsionis mengangguk dan menjawab, "Mm … dia ada di belakang Bu Kiara."Aku terperanjat mendengar jawaban tersebut. "Hah? Belakang?" Tanpa berpikir panjang, aku langsung menoleh ke arah belakang dan benar saja, ternyata di sana ada Kenzie. Putraku yang kucari itu sedang te