Share

Bab 5. Perdebatan Keen & Ken

Dalam sekejap, aku segera berbalik badan, mengenakan kacamata hitam dan masker untuk menyamarkan wajahku. Tak lupa, aku mengambil topi Kenzie yang tersimpan di tas, meski kecil, namun cukup untuk melindungi identitasku.

Dengan hati berdebar, kuamati sekitar sebelum beranjak meninggalkan lokasi itu, berusaha menjauhkan diri dari pandangan Keenan. Aku berdoa ia tidak sempat melihatku.

Namun, takdir belum berpihak. Tiba-tiba, langkahku terhenti ketika mendengar suara bariton yang telah lama kurindukan rintihannya.

"Tunggu!"

Jantungku beradu di dada, ketakutan mulai menggerogoti seluruh jiwaku. Keenan akhirnya berada di dekatku, menghentikan langkahku yang sempoyongan. Kubangun dinding mental untuk mengendalikan tubuhku yang terasa beku dan tak berkutik.

Suasana di sekitar terasa kelam dan suram, seakan waktu berhenti dan segalanya berpihak pada Keenan.

Kini hatiku dipenuhi kebimbangan, haruskah aku melangkah maju atau menghindar dari sisi Keenan? Aku tahu bahwa keputusan ini akan mengubah semua yang ada di jalan kehidupanku dan juga dalam hati Keenan.

"Dompetmu terjatuh."

Sejenak, rasa cemas itu memudar. Keenan menyerahkan sebuah dompet berwarna coklat kepadaku. Terbayang di benakku, dompet itu pasti terjatuh ketika aku mengambil topi Kenzie tadi. Betapa cerobohnya aku.

Dengan menundukkan kepala dan menghindari pandangannya, kuputuskan untuk hanya mengangguk dan menerima dompet tersebut.

"Terima kasih," gumamku pelan, berharap Keenan tak mengenali suaraku.

Aku segera meninggalkan Keenan, kuputuskan untuk mencari tempat persembunyian.

Bagai es yang bergulir di tenggorokan, rasa kengerian yang muncul seakan memberitahu bahwa dalam benakku, hidup ini sarat dengan misteri yang tak pernah terduga. Perasaan cinta dan luka terpendam masih begitu kuat, menghantui setiap langkahku.

Seiring dengan langkahku menjauh, pikiran terus bergulat dengan pertanyaan tentang apa yang terjadi jika aku bertahan dan menghadapi perasaan ini. Namun, apa artinya mengejar kebahagiaan yang mungkin tak pernah ada? Bukankah lebih baik merasakan getirnya sepi daripada terus terjebak dalam lingkaran kesakitan yang sama?

"Sial!"

Seruan Keenan terdengar jelas, hingga membuatku mengintip dari balik tiang yang menjulang tinggi.

Mataku terbelalak ketika melihat Kenzie, anakku, berada tepat di depan Keenan. Aku menepuk jidatku, tersadar betapa cerobohnya aku membiarkan Kenzie berkeliaran sendiri.

"Dasar anak ceroboh! Harusnya kamu berjalan dengan benar, lihat celanaku jadi kotor karenamu!"

Keenan terlihat jelas kesal karena es krim yang dipegang Kenzie tumpah ke celana dan sepatunya.

Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan? Aku tidak mungkin keluar dari persembunyian ini.

"Hey, Paman! Kenapa memarahiku? Harusnya Paman yang berjalan dengan benar!" sahut Kenzie, menyuarakan pendapatnya.

Wajah pasrah kedua lelaki itu tergambar jelas di hadapanku. Mereka berdua terlihat begitu kesal satu sama lain. Aku berharap semoga saja Keenan tak menyadari bahwa Kenzie begitu mirip dengannya.

Sementara itu, bayang-bayang masa lalu menggangguku. Keenan, mantan kasihku yang selalu terpaut dalam sanubari, dan Kenzie, anakku yang menjadi pelipur lara akan kelukaan hati. Bisikan kenangan lama kembali mengusik, mempertanyakan segala sesuatu yang telah diperjuangkan.

"Sudah salah, bukannya minta maaf, malah menyalahkan orang lain," tegur Keenan dengan nada kesal.

"Paman, aku tidak akan meminta maaf karena aku tidak salah," sela Kenzie, mencoba mempertahankan pendapatnya.

"Celanaku kotor karena ulahmu, dan kamu bilang masih tidak salah, huh?" tanya Keenan, semakin kesal dengan setiap kata yang dilontarkan Kenzie.

"Paman, jangan salahkan aku. Kau sendiri yang tidak bisa berjalan dengan benar," bela Kenzie dengan keras kepala.

Keenan mengerutkan keningnya dengan kesal. Dia tidak bisa menyembunyikan kemarahan yang sedang memuncak dalam dirinya. "Jangan panggil aku paman terus, memangnya sejak kapan aku menikah dengan bibimu?" lanjutnya, semakin keras.

Kenzie hanya bisa bersedekap dada, ia mengamati lelaki yang ada di hadapannya. Tiba-tiba, dia mengajukan pertanyaan yang membuatku kaget. "Paman, mengapa wajah kita begitu mirip? Apakah kamu adalah aku dari masa depan?" tanyanya, dengan tatapan serius.

Keenan yang sedang sibuk membersihkan es krim di celananya seketika menoleh ke arah Kenzie. Sorot mata dan raut wajahnya yang terkejut tak henti menatap Kenzie. Aku juga terkejut dengan pertanyaan tersebut. Mengapa anakku bisa berkata seperti itu?

Keenan terdiam sejenak sebelum akhirnya memandang Kenzie dengan tatapan bingung. "Benarkah? Tentu saja, aku bukan kau dari masa depan," ujarnya, masih terlihat begitu bingung.

Kenzie menatap tajam Keenan dengan wajah yang menggambarkan kebingungan dan ketidak percayaannya. "Tapi wajah kita begitu mirip. Kenapa begitu?" tanyanya perlahan, meningkatkan intensitas tatapannya pada Keenan.

"Di mana orang tuamu? Kenapa kamu berkeliaran sendirian?" tanya Keenan kepada Kenzie, dengan suara sedikit kebingungan.

"Aku ke sini bersama Oma dan Mommy," jawab Kenzie.

"Lalu, di mana mereka sekarang?" tanya Keenan lagi dengan nada yang sama.

Mendengar pertanyaan tersebut, Kenzie menunjuk ke arah tempat duduk di mana ibu duduk sendirian. Aku merasa cemas dan khawatir jika Keenan melihat ibu yang sedang duduk di kursinya.

Namun, perasaan tersebut hilang seluruhnya ketika Sissi datang dan langsung berlari ke arah Kenzie. "Ken, kamu ada di sini?" tanya Sissi dengan suara ramah.

"Siapa kamu?" tanya Kenzie dan Keenan serentak, mereka tampak heran dan penasaran pada Sissi.

Sissi membungkukkan tubuhnya ke arah Keenan. "Maaf, saya adalah tantenya Kenzie," kata Sissi, mencoba menjelaskan.

Kenzie tampak berpikir. "Tante? Sejak kapan aku memiliki tante?" tanyanya bingung.

Sissi hanya tersenyum. "Ken, ini adalah tantemu, Sissi. Apa kamu lupa?" tanyanya sambil menunjuk ke arah dirinya.

"Tante Sissi? Bukannya Tante Sissi memiliki tubuh yang seksi? Mengapa sekarang menjadi seperti karung beras?" tanya Ken dengan polos.

Aku hanya bisa menepuk jidatku sendiri. Bahkan Keenan ikut terkekeh mendengar perkataan Kenzie. Kedua lelaki itu benar-benar keterlaluan.

"Ken, pasti kamu cuma melihat di foto profil saja, kan? Itu adalah tubuhku tiga tahun yang lalu," jawab Sissi sambil mencoba menjelaskan.

"Oh, begitu ya?" ucap Ken dengan ekspresi mengerti.

"Iya, ayo kita pergi sekarang!" ajak Sissi, lalu meraih tangan mungil Kenzie dan berjalan pergi dari hadapan Keenan.

Namun, Keenan mengejar mereka dan memanggil Sissi. "Tunggu!"

Keduanya berhenti dan menoleh ke arah Keenan. "Ada apa?" tanya Sissi.

"Aku tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Dia harus minta maaf karena telah menumpahkan es krim di celana dan sepatuku," kata Keenan, memperlihatkan celananya yang kotor.

Sissi melirik Kenzie dan berkata, "Ken, ayo minta maaf!"

Ken menolak dan menggelengkan kepala. "Tidak mau, kata Mommy, aku tidak perlu minta maaf bila aku tidak salah," jawab Ken dengan polos.

"Hai, anak nakal, apa salahnya bila kamu minta maaf?" tanya Keenan kesal.

"Tidak mau, Paman galak, ble!" Rupanya, Ken tidak ingin meminta maaf dan langsung berlari pergi dari hadapan Keenan sambil menjulurkan lidahnya.

Sissi membungkukkan tubuhnya. "Maaf, Ken memang selalu seperti itu, tolong dimaklumi karena dia masih anak kecil."

"Apa? Anak kecil? Sudah seharusnya dia diajari sopan santun sejak kecil, biar tidak melawan terus saat besar nanti," ujar Keenan kesal.

"Baik, saya minta maaf sekali lagi." Sissi meminta maaf sekali lagi sebelum akhirnya pergi dari hadapan Keenan.

***

Aku merenung sejenak, mengagumi pemandangan yang indah dari apartemenku. Udara begitu sejuk dan menyegarkan, seolah membelai wajahku dengan lembut. Aku memilih apartemen ini karena pemandangannya yang menakjubkan, terutama dengan view langsung menuju persawahan yang terbentang luas. Namun, lamunanku terhenti setelah ada yang mengetuk pintu kamar.

"Masuk!" seruku dari tempatku duduk.

Sissi membuka pintu dan berjalan mendekatiku. "Besok adalah ulang tahun tante Hana, apa kamu akan menghadiri ulang tahunnya?"

Tante Hana adalah tante dari Keenan, adik dari almarhum ayahnya. Meskipun aku sudah lama tidak bertemu dengan Keenan, aku pasti akan datang untuk memberikan ucapan selamat kepada tante Hana. Aku menghela napas sebelum menjawab, "Aku sudah diundang, aku pasti akan datang."

"Tapi, kamu pasti akan bertemu Keenan di sana."

Aku tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa aku akan bertemu dengan Keenan di sana. Jantungku berdegup kencang dan otakku mulai bingung. Aku sudah lama berpisah dengannya, dan ada banyak hal yang mengganggu pikiranku.

"Cepat atau lambat, aku pasti akan bertemu dengan dia," jawabku masih dalam kebingungan.

"Ara, Marissa dan Keenan …."

Sementara itu, Sissi menggantung perkataannya, membuatku semakin penasaran.

"Kenapa dengan mereka?"

Akhirnya dia melanjutkan ucapannya, "Marissa dan Keenan … mereka sudah berhubungan."

Tiba-tiba, jantungku berdetak lebih kencang. Perasaan cemburu dan sedih mendera diriku. Bagaimana aku bisa melupakan Keenan? Aku merasa tidak rela kehilangan satu-satunya orang yang pernah aku cintai.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status