Share

Bab 4. Kembali Setelah Sekian Lama

Setelah enam tahun berlalu, pesawat Singapore Airlines telah mendarat di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai. Aku keluar dari pesawat tepat pukul 11:05 pagi dan berjalan menuju bandara dengan perasaan gugup. Sambil menunggu bagasi dan arloji di tangan kananku, aku melihat ke sekeliling mencari sosok yang begitu aku rindukan selama bertahun-tahun.

Aku merasa begitu lelah, tapi aku tidak ingin menunjukkan lelahku pada anakku. "Ken, apakah kamu merasa lelah?" tanyaku sambil menatap ke bawah pada anak kecil itu yang berjalan gontai.

Dia menatapku dengan penuh harap sambil mengangguk lemah. "Iya, Mom. Ken sangat lelah," jawabnya.

Aku hanya bisa meraih rambutnya dan mengacak-ngacak dengan lembut. "Sabar, ya! Kita hampir sampai di rumah," ujarku dengan nada bersemangat.

Akhirnya tas kami berhasil kuterima dan kami berjalan ke luar dari bandara dengan harapan yang tak terbatas. Sinar matahari bertiup lega berpadu dengan angin lembut yang berhembus. Sambil menembus keramaian, aku terus mencari sosok yang sudah lama kutinggalkan selama enam tahun ini.

"Ayo Ibu, silakan duduk di sini, mungkin Sissi akan datang sebentar lagi," ujarku pada wanita paruh baya yang tampak kelelahan.

"Baiklah, Nak."

Ibu mengangguk dan menuruti perkataanku. Dia pun duduk di kursi kosong yang tersedia untuknya.

"Mom, Ken haus," Terdengar putraku menarik bajuku, menandakan ia ingin meminta sesuatu.

"Iya, sebentar. Mommy akan membelikanmu minum dulu," ujarku dengan ramah pada Ken.

Namun, putraku tiba-tiba menghentikanku. "Tunggu dulu, Mom!" ujarnya.

Aku berbalik untuk melihat apa yang ia inginkan. "Ada apa, Ken?" tanyaku dengan lembut.

"Ken mau es krim saja," jawabnya, memperlihatkan giginya yang ompong satu.

Aku menepuk jidatku sendiri. "Wah, Ken. Kamu tidak boleh makan es krim terus-terusan, nanti gigimu sakit lagi, Sayang," ujarku, menolak permintaannya dengan lembut.

Namun, Ken menunjukkan wajah murungnya dan menghampiri ibu yang sedang duduk. "Oma, Ken ingin makan es krim, tapi tidak boleh sama Mommy," pinta Ken dengan suara merengek.

Ibu hanya bisa menggelengkan kepala melihat sikap Ken yang meminta dengan nada merengek seperti itu. Namun, karena ibu tidak ingin membuatnya kecewa, ibu memberinya sedikit perhatian.

"Ken, kamu tahu, kan? Mommy tidak memperbolehkan kamu makan es krim setiap hari? Kamu harus menjaga pola makanmu supaya tetap sehat," ujar Ibu memberi pengertian pada Ken.

Akan tetapi, Ken masih membantah. "Tapi, Oma, Ken hanya ingin sedikit saja. Tolonglah, Oma."

Setelah cukup lama berpikir, ibu akhirnya memberikan persetujuan padanya. "Baiklah, es krim boleh, tapi kamu hanya boleh memilih satu topping saja, ya?"

Ken tersenyum bahagia dan berlari ke arahku. "Mom, Oma sudah memberikan izin, jadi Mommy juga iya, kan?" tanya Ken sambil menarik-narik bajuku.

Aku hanya bisa menghela napas gusar, tahu betul apa yang terjadi selanjutnya. "Ya sudah, tapi jangan banyak-banyak, ya?" jawabku akhirnya.

Kenzie dengan cepat mengangguk. "Siap, Mom!" tanpa menunggu lagi, dia langsung berlari ke depan untuk membeli es krimnya. Aku mengikutinya dari belakang, memastikan ia benar-benar hanya memilih satu topping saja. Anakku benar-benar tidak pernah berubah, begitu lincah dan ceriwis.

Namun, dibalik itu semua, perasaan yang berbeda mendera diriku. Sudah enam tahun berlalu semenjak ibu menelponku dan menyampaikan kabar ayah yang sering sakit-sakitan. Aku merasa takut bila terjadi sesuatu pada ayah, terlebih lagi setelah dokter memberikan kabar buruk bahwa ayah harus ditangani oleh rumah sakit yang lebih baik. Maka, aku pun membawanya ke Negeri Singa untuk berobat karena mungkin saja di sana ayah mendapatkan perawatan yang lebih baik.

Setelah satu tahun berjuang melawan penyakitnya, ternyata Tuhan memiliki rencana lain. Tuhan lebih sayang kepadanya. Aku hanya bisa merelakan kepergian ayah dari hidupku.

"Mom, Ken sudah mendapatkan es krimnya," ujar Ken dengan mata bersinar.

Namun, lamunanku terhenti ketika aku melihat es krim Ken yang berwarna coklat. Sedari kecil, Ken selalu suka dengan es krim, terutama yang berbau coklat. Kehadirannya selalu mengingatkanku kepada Keenan, lelaki yang pernah kutinggalkan enam tahun yang lalu. Aku tidak tahu bagaimana kabarnya sekarang, apakah dia sudah menikah atau memiliki anak?

Mengingat tentang Keenan membuatku merasa sangat sakit. Aku meninggalkannya dalam keadaan yang masih tertidur lelap, meski aku tahu bahwa jika dia bangun nanti, dia pasti akan mencariku. Kadang aku merasa bersalah, mungkin aku terlalu tega meninggalkannya begitu saja. Atau mungkin dia sudah membenciku sekarang, bahkan mungkin sudah melupakanku sama sekali.

Entahlah, kepalaku begitu pusing bila memikirkan tentangnya. Namun, saat melihat wajah ceria Ken yang sedang menikmati es krimnya, aku merasa menjadi ibu yang bahagia dan bersyukur telah memiliki anak seperti dia di sisiku. Aku merangkul Ken dalam pelukan hangat, sambil mengucapkan doa terbaik untuk kehidupannya. Aku berjanji akan selalu ada untuknya, mengasuh, dan mencintainya, hingga akhir hayatku.

"Mom, apa yang kamu pikirkan?" tanya Ken dengan wajah prihatin. Aku terbangun dari lamunanku dan langsung mengelus rambut Ken yang mungil.

"Tidak apa-apa, Ken. Mommy hanya teringat akan seseorang," ujarku dengan senyum palsu yang terlihat melekat di wajahku. Ken masih belum puas dengan jawabanku dan terus mendesak.

"Seseorang siapa, Mommy? Ken kenal?" tanyanya lagi.

Aku terdiam sejenak dan menggigit bibirku. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku memikirkan tentang Keenan, lelaki yang pernah aku cintai. Wajah Kenzie begitu mirip sekali dengan Keenan, mulai dari hidung, bibir, rambut, hingga makanan kesukaan mereka, semuanya mirip sekali. Bayangan masa lalu itu membuat dadaku terasa sangat sakit.

"Seseorang di masa lalu, Sayang. Tidak penting," jawabku akhirnya sambil memeluk Ken yang merapat ke dadaku.

Aku merasakan hembusan napasnya yang hangat di pipiku dan merasa tenang. Terkadang aku merasa bersalah karena tidak bisa membagikan semuanya dengan Ken, anakku yang sangat aku cintai. Namun, aku berusaha keras untuk menjadi ibu yang terbaik bagi Ken.

"Mommy mau menelpon tante Sissi dulu, ya! Kamu temani Oma dulu," kataku sambil mengelus wajah mungil Kenzie.

Kenzie mengangguk. "Baik, Mom."

Dia lalu pergi sambil menjilati es krimnya, berjalan menuju ibu yang masih terduduk di kursi. Aku menyaksikan Kenzie pergi dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, aku merasa sedih karena harus merahasiakan tentang ayahnya, tapi di sisi lain, aku juga merasa lega karena tidak harus menunjukkan wajah sedihku pada Ken.

Aku kemudian merogoh ponselku yang ada di dalam tas untuk segera menghubungi Sissi, temanku dari kecil, dan kini dia sudah menjadi asistenku untuk membantu mengurus butik yang ada di Tuban.

Saat sedang berusaha menghubungi Sissi, mataku membeliak sempurna ketika melihat sosok yang selama ini aku rindukan. Aku tak pernah menyangka akan bertemu dengannya di tempat ini.

"Keenan," gumamku lirih, sulit mempercayai bahwa aku melihatnya di sini, di tempat yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tri Novi Setio Wibowo
halo .....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status