Share

Bab 2. Mari Kita Berpisah

"Tidak apa-apa, Keen." Sudah kulihat tante Belinda mulai menarik kedua ujung bibirnya, wanita paruh baya itu tersenyum begitu manis, seakan tidak ada yang terjadi di antara kami.

Keenan berjalan dengan langkah percaya diri dan tatapan matanya melihat ke arah kami. Kulitnya yang warm undertone, wajah yang segar dan rapi, serta rambut hitam alami yang sehat, membuatnya makin terlihat menawan. Aku tak bisa menyangkal, bahwa menatap Keenan itu seperti memandang matahari terbenam di ufuk barat, seakan membuatku lupa dengan segala sesuatu.

Tak hanya tampan, Keenan juga memiliki kharisma yang menawan. Keturunan Wardhana memancarkan aura kebangsawanan yang membuat setiap orang yang berada di sekitarnya terpikat. Dia memiliki daya tarik yang kuat, dan membuat setiap wanita yang dekat dengannya terpikat akan kemampuannya dalam menarik perhatian.

Keenan adalah lelaki yang lengkap. Selain tampan dan kaya, ia juga baik dan santun. Bagaimana bisa aku tidak larut dalam pesona kesempurnaannya? Aku merasa seperti terbang dalam mimpi, sebuah mimpi yang tidak ingin kusudahi.

Namun, aku menyadari bahwa menjadi dekat dengan Keenan bisa menjadi bumerang bagi diriku. Aku tak ingin terlalu berharap hingga terluka dan kecewa. Tapi, aku tahu rasa terpesonaku tak bisa dihindari, bagaimanapun juga, Keenan membuatku merasa spesial dan bahagia.

"Tadi aku mendengar ada keributan, Apakah semuanya baik-baik saja?" tanyanya penuh selidik ketika dia sudah berada di dekat kami.

Aku melihat tante Belinda menyimpan cek yang ada di tangannya dan memasukkannya ke saku roknya. Dia kemudian mendekat ke arah Keenan dan mengelus bahunya.

"Iya, Sayang, di sini memang ada sedikit keributan, tapi jangan khawatir. Tadi Kiara ingin mama membantunya mencari kado untuk ulang tahun peringatan hari jadi kalian. Mama sudah bilang, Kiara tidak perlu memberi hadiah untuk kamu, tapi Kiara tetap bersikeras," alibi wanita tersebut.

Keenan menatapku, aku bisa melihat senyum manis di bibirnya. "Sayangku, aku sudah bilang padamu, kamu tidak perlu memberikan hadiah apa pun untuk ulang tahun hari jadi kita," ujarnya dengan lembut.

Tante Belinda menyela, "Itu yang sudah mama katakan padanya, tapi kamu bisa lihat sendiri, Kiara sangat keras kepala."

Aku merasa sedikit gugup, tapi aku tidak ingin membuat Keenan kecewa padaku. "Aku minta maaf, aku hanya tidak ingin kamu kecewa," kataku sambil menahan gejolak di dada.

Keenan mendekatiku, lalu dia memegang kedua bahuku. "Tidak masalah, Sayang. Kamu tidak perlu memberikan hadiah apa pun untukku. Biar sekarang, aku yang akan memberikan hadiah untukmu," ujarnya dengan penuh kasih sayang.

"Baiklah, apa kalian mau makan malam di sini? Biar nanti mama yang akan memasakkan sesuatu buat kalian," ucap Tante Belinda.

Keenan melepaskan tangannya dari bahuku dan menoleh ke arah ibunya. "Aku rasa, akan lebih baik jika kami makan di luar saja, Mam," kata Keenan dengan lembut.

Tante Belinda mengangguk dan tersenyum. "Baiklah, kalau begitu, semoga kalian berdua dapat menikmati malam kalian."

Keenan memandangku dengan senyum manis di wajahnya dan aku bisa merasakan getar dalam hatiku. Aku merasa senang karena dia memilih untuk menghabiskan waktu denganku di luar, meskipun aku tidak yakin di mana kami akan pergi.

Setelah berpamitan dan memberikan salam, kami keluar dari rumah dan menuju ke sebuah mobil mewah yang terparkir di tepi jalan. Keenan membukakan pintu untukku dan dengan sopan membantu aku naik ke dalam mobil.

"Terima kasih," ucapku.

Keenan hanya mengangguk, kemudian ia berjalan ke arah kemudi.

Keenan mengemudikan mobil dengan mahir, dan aku tak henti-hentinya terpana melihat pemandangan yang terlintas di sepanjang jalan. Gedung-gedung tinggi yang menjulang dengan berbagai cahaya lampu yang berjatuhan menambah keindahan malam yang mempesona.

Namun, pikiranku segera teralih ke dalam ketidaktentuan diriku sendiri. Aku teringat dengan perkataan tante Belinda yang terus menginginkan aku menjauh dari Keenan. Alangkah berat perasaanku mendengar itu.

Ya Tuhan, aku tidak sanggup jika segalanya harus berakhir begitu saja.

Sudah lima tahun kami menjalin hubungan, dan meski terkadang ada masalah dan pertengkaran, kami tetap saling mencintai dan menyayangi satu sama lain. Aku tak ingin pernah kehilangannya dari hidupku, karena Keenan adalah segalanya bagiku.

"Sayang, ada apa? Kenapa dari tadi kamu hanya melamun?"

Lamunanku terhenti ketika Keenan berkata seperti itu dan menepuk tanganku.

"Oh, tidak apa-apa." Aku berkata sambil menoleh ke arahnya.

"Benarkah?"

Aku mengangguk.

Apa yang akan terjadi dengan hidupku jika perjalanan kami harus kandas? Sudah banyak hal yang kami lewati bersama selama lima tahun dan aku masih sangat mencintai Keenan. Aku merasa cemas ketika memikirkan tentang kehilangan orang yang begitu berarti dalam hidupku.

Entah apa yang harus kulakukan, aku merasa bingung dan tidak tahu harus menghadapi hal ini. Aku merasa takut dan tidak ingin kehilangan Keenan.

Kami akhirnya tiba di sebuah restoran yang menyuguhkan pemandangan yang sangat indah. Kami makan malam dengan santai dan menikmati hidangan yang lezat dan bersahaja. Kami berbicara tentang segala hal, berbagi cerita dan menertawakan hal-hal yang konyol di antara kami.

"Kamu suka makanan di sini, kan?" tanya Keenan sambil meraih tisu, lalu mengelap bibirku yang mungkin sudah kotor karena makanan.

"Suka sekali, Keen! Kamu memang selalu tahu tempat makan yang terbaik!" pujiku dengan senyum ramah.

Ya, kuakui, Keenan memiliki selera yang luar biasa dan selalu bisa menemukan tempat makan yang enak ketika kami makan bersama. Aku tidak pernah kecewa dengan pilihan makanannya, bahkan sering kali aku terkesan dengan rekomendasinya.

Keenan hanya terkekeh pelan, dan aku tidak bisa menahan senyum ketika melihat raut wajahnya yang manis.

Ketika makan malam selesai, Keenan mengajakku untuk berjalan-jalan di sepanjang pantai yang berdekatan. Aku merasa sangat bahagia bisa di samping Keenan, kami menjalani malam yang tak akan terlupakan di atas pasir dipadu oleh pemandangan malam yang sangat indah dan romantis.

"Sayang," ujar Keenan dengan tatapan serius yang membuatku merasa penasaran. "Ada hal yang harus aku katakan padamu."

Keningku mengernyit memperlihatkan keingintahuan padanya. "Apa?" tanyaku yang sudah penasaran.

Aku melihat Keenan merogoh saku celananya, sepertinya, ia akan mengambil sesuatu dari sana, setelah tangannya sudah keluar dari saku tersebut. Aku melihat kotak beludru yang berwarna merah menyala berbentuk hati ada di tangannya.

Keenan berjongkok di hadapanku, lututnya mencium pasir berwarna putih. Meski kebingungan, detak jantungku semakin kencang, seakan-akan aku sudah tahu apa yang akan terjadi. Keenan membuka kotak itu dan di dalamnya ada sebuah cincin perak yang indah.

"Sayang, selamat ulang tahun yang kelima tahun hubungan kita. Semoga di tahun ini, hubungan kita terus terjaga dan terus bersama selamanya. Terima kasih karena kamu selalu ada di sampingku dan menjadi pendampingku selama ini. Maaf jika ada banyak kekurangan dan kesalahanku dalam memperlakukanmu. Kiara Dewi Anggraeni, maukah kamu menjadi istriku? Menjalani setiap harinya bersamaku, hingga menua dan bahkan selamanya?" ujarnya, sambil menatapku dengan tatapan memohon. Bisa kulihat kedua bola matanya yang berkaca-kaca.

Tak terasa air mataku jatuh membasahi pipi ini. Aku menangis dan tidak dapat berkata-kata atas tindakan yang dilakukan oleh Keenan. Saat ini, semuanya tampak berbeda, langit semakin gelap, pasir putih bertambah mulus, semilir angin pantai terasa semakin dingin, dan semua terlihat begitu indah.

Tiba-tiba saja, hari yang selama ini ditunggu-tunggu tiba dan Keenan akhirnya melamarku. Telah lama kami menyimpan perasaan satu sama lain dan akhirnya saat itulah semuanya terwujud. Namun, segalanya harus kandas ketika tante Belinda menyuruhku untuk pergi meninggalkan Keenan.

Aku terdiam tak percaya, bagaikan tombak yang menghujam hingga ke ulu hati, hatiku sakit dan hancur berkeping-keping. Seakan semuanya tiba-tiba saja lenyap dan pergi entah ke mana.

Sambil terisak, aku berkata, "Maafkan aku."

Keenan menarik pangkal alisnya, sepertinya tak mengerti dengan yang telah aku ucapkan. "Kenapa?" tanyanya.

"Aku tidak bisa menerimanya," jawabku. "Mari kita berpisah."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status