Terlahir sebagai anak konglomerat tidak sepenuhnya bahagia. Justru banyak problema yang harus dihadapi, bahkan sering terjebak dalam situasi yang tidak mengenakkan. Sebagai penerus kerajaan bisnis Wijaya Pratama, aku pun tidak hanya diberi limpahan warisan. Melainkan juga limpahan tanggungjawab mengurus perusahaan, mempertahankan agar tetap eksis dan terus berkembang menjadi lebih besar. Selain itu, aku juga dituntut untuk menjaga sikap di depan umum. Tak ada cela di mata semua orang agar mendapatkan kepercayaan dari berbagai pihak. Itu sebabnya, ayahku mengajarkan semua tata cara dari bersikap, berbicara, dan bagaimana cara menjalankan bisnis yang baik. Semua itu ditanamkan sejak kecil, agar saat dewasa aku sudah bisa menerapkan semua ilmu.Aku akui, eksistensi perusahaan Wijaya Pratama sudah mendapatkan tempat spesial. Hal tersebut membuat aku sebagai penerusnya lebih mudah memenangkan setiap projek.Namun, di balik kesuksesanku sebagai penerus bisnis Wijaya Pratama, ada banyak ma
Tidak berapa lama aku duduk, muncullah Nara dan Flora. Terlihat dari sirat wajah mereka, menandakan ada masalah serius yang sedang terjadi. Entah drama apa yang sedang mereka mainkan, yang pasti keluargaku adalah targetnya.Aku tak akan pernah membiarkan orang-orang serakah seperti Nara, Flora, ataupun Om Robby mempunyai kesempatan menguasai hartaku. Akan aku pastikan mereka enyah dari kehidupanku.Nara, dia akan tersingkir setelah melahirkan bayi itu. Sedangkan Flora dan Om Robby beserta istrinya, mereka akan aku buat selamanya tak lagi menginjakkan rumah ini.Acara makan malam usai dan dilanjutkan obrolan hangat antar keluarga sekaligus membicarakan perjodohan. Ya, perjodohan antara aku dengan anak palsu dari Om Robby.Perdebatan antara Mama dan aku sempat terjadi, pasalnya Mama terus saja memojokkan Elina. Sulit sekali bagi Mama menyadari bahwa sikap dialah yang telah membuat Elina menjadi pembohong besar. Aku tahu, Elina melakukan semua sandiwara demi keutuhan rumahtangga. Jika sa
POV NaraLima bulan telah berlalu semenjak peristiwa di rumah orang tua Azlan. Aku menjauh dari hiruk pikuk masalah, memilih fokus pada janin yang akan kulahirkan.Tak lagi aku merengek akan cintanya Azlan, tak ada lagi drama bermanja meminta perhatian. Semua kujalani seorang diri, bahkan ketika Azlan datang pun aku memilih mengurung diri.Entah apa maunya lelaki itu, menyuruhku untuk sadar diri, tetapi dia masih saja menghendaki tubuhku. Dengan dalih aku masih sah sebagai istri, membuat dia menuntut untuk dilayani.Bodo amat dengan dalihnya itu. Sengaja kutunjukkan sikap tak acuh, menghindari bertemu, bahkan untuk kontrol ke dokter pun aku lakukan sendiri. Hasil pemeriksaan selalu aku letakkan di atas buffet, Lastri--asisten rumah tangga yang akan memberikan pada Azlan.Nama yang tercantum sudah berganti menjadi nama Elina Ayu Pratiwi, bukan lagi Nara Paramitha. Sehingga setiap aku check up, nama itulah yang terdengar.Lagi-lagi tuntutan pekerjaan, aku harus merelakan apa yang akan m
Aku terduduk dan masih dalam sedu sedan tangis yang menyesakkan. Kupeluk lutut dan membenamkan wajah ke dalamnya.Gerakan bayi dalam perut menyadarkan, bahwa ia tak nyaman dengan posisiku. Kembali kuelus perut. "Maafkan Ibu, Nak. Jika kelak kamu besar, Ibu harap kamu akan tetap menghargaiku sebagai wanita yang melahirkanmu. Jangan pernah jijik dengan masa lalu ibu, ya?"Derai air mata kembali membasahi pipi. Dadaku semakin sesak, seperti ada bongkahan batu besar yang menghimpit. Melepas anak ini ke tangan Elina dan Azlan adalah keputusan yang tepat. Ia tak akan malu menjadi anak orang terhormat, ia akan terjamin kehidupannya. Mungkin, dengan melihat anak ini sukses kelak, itu akan menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri bagiku.Entahlah, orientasiku saat ini bukan lagi harta seperti awal yang dijanjikan. Bayi ini semakin hari semakin mengubah cara berpikirku. Aku sendiri kurang menyadari, bagaimana setiap perubahan terjadi pada diri ini.Saat bayi menendang atau menggeliat, ada desir
"Kenapa kamu diam, Ra?""Boleh aku habiskan makan malamku?" Sengaja kualihkan pembicaraan.Rasanya tak perlu membahas sesuatu yang akan menyakitkan hati.Azlan meletakkan mangkuk berisi sup ikan itu, kemudian berdiri dan menatap langit.Perlahan aku mulai menyendok sup hangat, menikmatinya dengan perasaan yang campur aduk. "Dulu aku memang merasa sebatas nyaman saja saat bersamamu, Ra. Namun saat kamu menghukumku, aku merasa sangat tersiksa. Ada yang sakit di dalam sini," tutur Azlan seraya memukul dadanya.Aku yang mendengar dan melihatnya seperti itu, seketika mengurungkan suapan ke mulut. Kuletakkan kembali mangkuk ke atas meja.Pandanganku kembali ke Azlan. Dia masih bicara tanpa melihatku, entah ekspresi apa yang ingin dia sembunyikan dariku."Aku memang bodoh, Ra. Terlambat menyadari perasaan ini, tapi aku juga takut akan menyakiti hati lain. Aku bingung, apa yang harus kulakukan?"Azlan berbalik dan menatapku, lalu berjalan mendekat dan kembali jongkok di hadapanku."Apa aku s
Pagi ini kusambut hari dengan wajah penuh keceriaan. Sibuk di dapur menyiapkan sarapan, layaknya seorang istri melayani suami. Nasi goreng cornet telah tersedia di meja, aromanya menguar menggugah selera. Dua gelas jus jeruk juga telah tersedia, menemani lezatnya nasi goreng kesukaan Azlan.Sesaat ingatanku kembali saat Azlan empat hari bersamaku. Hampir tiap pagi minta dibuatkan nasi goreng yang sama. Kebersamaan yang kuanggap penuh cinta, meskipun pada kenyataannya hanyalah palsu belaka.Kutarik kursi, lalu duduk dan menghela napas. Masih terngiang permintaan Azlan semalam. Meskipun aku hanya diam tak menjawab, tetapi otakku berpikir keras. Apakah aku mampu hidup sebagai istri yang disembunyikan?Azlan mencintaiku, bahkan tidak ingin melepasku walaupun bayi ini telah lahir. Namun, apa aku tidak akan tersiksa saat melihat anak yang kulahirkan harus memanggil 'Mama' pada wanita lain?Mungkin saja aku terlalu overthinking akan masa depan. Hanya saja, kurasa ini wajar bagi seorang ibu.
Waktu sudah menunjukkan pukul 23.17, tetapi kabar dari Azlan tak juga ada. Kontak Flora hanya centang satu saat kukirim pesan, nomor seluler pun tak bisa dihubungi. Kekhawatiranku semakin bertambah saat kontak Azlan juga tidak aktif. Beberapa kali mencoba menghubungi, tapi tidak terhubung sejak sore tadi.Kaki ini mulai lelah karena sejak tadi bolak balik mengecek ke halaman depan, berharap mobil Azlan muncul dari balik pagar besi. Nyatanya, penantian yang sangat lama malah membuatku semakin tidak karuan rasanya."Non Nara menunggu Den Azlan?" tanya Bik Lastri yang melihatku sejak tadi mondar-mandir."Iya," sahutku singkat."Mungkin Den Azlan nggak datang, Non.""Dia dah janji mau datang," jawabku tanpa melepas pandangan dari pagar."Non Nara istirahat saja dulu, nanti biar saya yang membukakan pintu Den Azlan."Aku abaikan saran dari Bik Lastri. Pikiranku masih terlampau sibuk menduga. Apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka? Cemas melanda akibat kekhawatiran yang berlebih.Kembal
Bulan ini kehamilanku dinyatakan genap 28 minggu atau tepat tujuh bulan. Perut semakin membulat besar, kaki juga semakin bengkak. Ditambah pinggang rasanya sering panas, membuat tidurku juga gelisah setiap malam.Biasanya Azlan seminggu dua atau tiga kali datang untuk menjenguk keadaanku. Dia terkadang menyempatkan waktu saat jam makan siang atau sepulang dari kantor. Perhatian Azlan semakin bertambah, dia dengan telaten mengompres kakiku yang bengkak.Kedatangan Azlan membuktikan bahwa perasaannya kepadaku benar-benar tulus, bukan sandiwara lagi. Bahkan ketika dia bersamaku, ponsel akan selalu dimatikan. Bayi dalam kandungan juga seolah turut bahagia, apalagi ketika Azlan mengelus dan mengajaknya bicara.Aku pun sudah tidak merasa cemburu dengan Elina lagi. Bagiku, perhatian Azlan selama masa kehamilan itu sudah lebih dari cukup. Yaach ... walaupun pernah hampir lima bulan menjauh dari Azlan, tetapi nyatanya hubungan kami malah jauh lebih baik.Baru saja Azlan memberi kabar, dia akan