*Happy Reading*Raid membasuh wajahnya berkali-kali sampai rambut dan kemeja bagian depannya ikutan basah. Berharap dengan begitu, bisa sedikit meredakan gundah yang tengah ia rasakan. Nihil! Hatinya masih saja tak nyaman. Gundah terus saja menyelimuti. Raid Kemudian menatap wajahnya sendiri di cermin dengan lekat. "Tolong bunuh aku, Bang.""Bukannya abang pernah bilang ingin menyingkirkanku? Silahkan lakukan, Bang. Aku sudah siap.""Aku tak ingin hidup lagi, Bang. Aku jijik pada diriku sendiri.""Ayo, Bang. Bunuh aku. Aku mohon!"Kedua tangan Raid mengepal di sisi wastafel yang menopangnya kala teringat lagi ucapan Nissa. Ia seakan baru saja menerima balasan dari perbuatannya dulu. Ucapannya di masa lalu menjadi bomerang untuk dirinya di masa lalu. Menyingkirkan, Nissa? Sesungguhnya ucapannya saat itu hanya gertakan semata agar Nissa menghentikan perasaannya dan bersedia menjauh darinya. Sungguh! Raid tak benar-benar serius dengan ucapannya kala itu. Bagaimana mungkin dia membunu
*Happy Reading*Nissa hilang! Lagi!Sialan! Rasanya Raid ingin sekali mematahkan semua leher anak buah, yang ia tugaskan untuk menjaga Nissa di rumah yang Raid peruntukan untuk pengobatan Nissa. Sebuah Villa di kaki bukit. Pemandangan yang asri dan suasana yang tenang diharapkan bisa membuat perasaan Nissa nyaman hingga kesehatan mentalnya pun segera pulih. Naira sempat kesal karena Villa itu berjarak tempuh hampir dua jam dari ibu kota. Namun, wanita itu pun akhirnya pasrah ketika melihat sendiri kondisi Villa dan saran dari dokter psikiater yang menangani Nissa. Semua semata-mata demi kesembuhan sahabatnya itu. Lagipula, bukankah Nissa memang masih harus di sembunyikan mengingat beberapa orang di luar sana yang mengincarnya.Okeh, back to masalah saat ini. "Cari dia! Atau kalian semua kubunuh! Pokoknya jangan kembali jika belum menemukan Nissa!" titah Raid menggelegar. Membuat anak buahnya di Villa kocar-kacir, gegas melaksanakan titah. Sementara itu, Raid kembali menekuri CCTV y
*Enjoy, it!*"Saya kenalan, Nissa. Katakanlah temannya dan rekan kerja. Selain Nissa masih ada dua wanita lainnya. Naira dan Navisha. Jika Pak Ustad tidak bisa mempercayai saya, saya bisa kok memanggil dua wanita tadi serta perawat dan dokter yang menangani Nissa." Raid meyakinkan Ustad Abdul seraya menyerahkan photo ketika pembukaan cafe pertama kali. Serta laporan kondisi Nissa dari rumah sakit. Tidak sepenuhnya, hanya bagian-bagian penting saja yang Raid tunjukan. Bagaimana pun, Raid harus tetap menjaga kehormatan Nissa, kan? Dia tidak ingin Nissa sampai di pandang rendah jika mereka tahu apa yang sudah menimpa Nissa sebenarnya."Begitu, ya?" Pak Ustad mengangguk mengerti. Lalu memeriksa sekilas apa yang Raid tunjukan. "Tapi tidak apa-apa. Tidak perlu dibawa orang-orang tadi. Saya percaya kok sama Mister. Bukankah kita harus selalu berbaik sangka pada siapapun." Ternyata Pak Ustad memilih tak terlalu kepo dengan urusan orang lain. Cukup sekedarnya saja. Sikap yang memang sudah se
*Happy reading*Raid [Pap]Tring!Tak sampai satu menit, sebuah photo pun akhirnya muncul dalam balon chat di ponsel Raid. Namun, bukannya senang, Raid malah mendengkus kasar menerima photo tersebut.Raid [Bukan kamu, Kim. Tapi dia!]Kim [Kali-kali aku aja kenapa, Bang? Nggak bosen apa tiap hari minta photo Mbak Nissa. Padahal aku juga nggak kalah cantik, loh]Bukannya segera melaksanakan titah, Kim malah berulah. Membuat Raid semakin kesal. Kalau saja dekat, sudah Raid jitak itu jidat jenong si Kimberly. Raid [Sudah tidak sayang pada ibumu nampaknya ya, Kim. Katakan! Mau ku kirim tangan atau langsung kepala ibumu ke sana besok?]Raid menyeringai di tempatnya. Membayangkan bagaimana Kim blingsatan di seberang sana setelah membaca balasannya barusan. Kim itu meski nakal dan menyebalkan, tapi akan selalu rela melakukan apa pun untuk ibunya. Kim [Becanda doang, elah. Cuma nitip photo buat Abang Frans. Kali dia rindu, tapi malu buat chat aku. Makanya aku titip photo aja sama Abang Raid.
*Happy Reading*"Mohon maaf, Ustad. Tapi ... kalau boleh tahu ... ada keperluan apa ya, Ustad ingin bertemu orang tua saya?" tanya Nissa akhirnya setelah beberapa saat terdiam. Bukan Nissa sok polos atau tidak mengerti maksud Ustad Darul menanyakan orang tuanya. Namun, Nissa hanya tak ingin terlalu percaya diri dengan dugaannya sendiri. Sementara itu, bukannya langsung menjawab Ustad Darul malah mengulas senyum lagi ke arah Nissa. "Sampaikan saja seperti itu pada orang tuamu, Nissa. Dan beritahu saya kapan beliau ada waktunya."Nissa mengerjap pelan. Tak ingin menduga yang tidak-tidak, tapi ucapan Ustad Darul barusan sungguh membuat pikirannya tak bisa mengelak akan praduga yang otomatis muncul dalam benak. Mungkinkah ..."Ya sudah, kalian pergilah. Nanti keburu makin malam. Jangan tidur larut ya, agar subuhnya nggak kesiangan.""Baik, Ustad. Kalau begitu kami permisi. Assalamualaikum." Nissa gegas mengamit lengan Kim dan menyeretnya segera pergi dari sana. "Waalaikumsalam. Jangan
*Happy Reading*"Sialan kau, Raid! Kenapa tak kau bunuh aku saja?! Aku tidak terima kau perlakukan seperti ini!" teriak seorang wanita dengan amarah yang tampak jelas di matanya.Raid menyeringai iblis, "Padahal aku baik loh, Anjani. Ingin mengobati lukamu," ucapnya tanpa dosa. Padahal, 'mengobati' yang dia maksud adalah menyiramkan alkohol ke wajah Anjani yang terbakar tanpa belas kasih."Mengobati? Tidak! Yang kurasakan justru kau sedang membunuhku pelan-pelan!" Anjani tidak terima dengan pernyataan polos Raid."Ck, ya sudahlah kalau kau menganggapnya begitu. Aku bisa apa? Aku cukup mengerti Kadang, niat baik seseorang memang tak selamanya disambut baik," balas Raid pura-pura sedih. Anjani makin menatap Raid dengan nyalang. "Apa maumu sebenarnya, Raid? Kenapa kau menyiksaku begini? Kenapa kau tak langsung membunuhku saja?!" kejar Anjani lagi. Tak terima dengan perlakuan Raid padanya. "Kau sudah membunuh semua anggota kelompokku! Kau juga sudah menghancurkan bar dan tempat usahaku!
*Happy Reading*Menanggapi ucapan Ustad Abdul, Raid tetap mencoba tenang. Meski tentu saja berbanding terbalik dengan kondisi hatinya. Ada gemuruh tak suka hadir tanpa bisa ia cegah. Bagaimana tidak? Pujaannya sendiri dilamar orang di depan hidungnya! Apa mungkin hatinya akan baik-baik saja? Jelas tidak! Walau begitu, entah kenapa ada sisi hatinya yang lain justru menyuruhnya ikhlas. "Bagaimana, Mister? Apa Mister bisa menolong saya agar bisa menemui orang tua Nissa?" Ustad Abdul bertanya lagi.Hembusan panjang lolos dari Raid. Pria itu mencoba menekan kuat sesak dalam dada dan berpikir cepat untuk memberikan jawaban. Raid menegakan tubuh dan menautkan jari jemarinya di depan wajah."Saya akan usahakan, Ustad. Tapi ketahuilah jika orang tua Nissa bukanlah orang sembarangan. Jadi yang bisa menemui beliau juga tidak bisa sembarangan. Uhm ... maaf, bukan maksud saya meremehkan Ustad. Saya hanya ...." Raid yang biasanya lihai dalam mengolah kata untuk bernegosiasi dengan lawan, mendada
*Happy Reading*"Mbak Nissa mau ke mana?" Kim bertanya saat melihat Nissa hendak beranjak keluar."Ke tempat Ummi. Tadi katanya beliau memanggil." Nissa menjawab seadanya."Loh, kapan? Kok, aku nggak tahu?" Kim masih belum mau melepaskan Nissa. "Tadi pas kamu di kamar mandi. Aliyah datang dan menyampaikan pesan Ummi. Tuh, orangnya juga masih di depan nungguin." Nissa menunjuk depan pondok, di mana memang terlihat Aliyah, salah satu santri di sana, masih berada."Oh ..." Kim bergumam mengerti. "Kalau gitu tungguin. Aku ikut." Kim gegas menyambar hijab instan yang tergeletak di atas tempat tidurnya. "Nggak usah. Kamu di sini aja.""Loh, kenapa? Aku kan mau ikut." "Tapi kamu kan lagi diare. Dari tadi juga bolak balik kamar mandi. Nanti repot loh kalau ikut."Iya juga sih. Kim menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Gimana ini? Dia kan harus nemplokin Nissa ke mana pun sesuai titah Raid. Apalagi setelah menerima chat Raid waktu itu, yang bernada marah tentang lamaran ustad Daru