S3 Bab 3 Alea tidak berhenti mengulum senyum. Pun hatinya mengembang. Begitu lama ia memendam rasa untuk pertama kalinya pada laki-laki yang merupakan kakak tingkatnya. "Ada apa, Mbak? Kok senyum-senyum sendiri? Aneh banget," tegur Rendra. "Mbak! Mbak Alea?!" "Ren. Mbak udah nemuin laki-laki idaman." "What?!! Siapa? Yang mana orangnya, Mbak?" "Udah, nanti aja di rumah, Mbak cerita. Yuk, buruan nanti Om Irsyad ngomelin kita." Rendra hanya meringis, lalu menstater motornya menuju ke rumah. Dua puluh menit akhirnya Alea dan Rendra sampai di rumah. Beruntung hanya ada Bi Sumi dan Pak Satpam. Artinya Irsyad masih bertugas di klinik rumah Syifa yang lama. "Bi, Om Irsyad sudah ke sini kah tadi?" "Belum, Mbak. Mas Irsyad mau nginep sini, ya?" "Iya, Bi." "Mau dimasakin apa, Mbak?" Bi Sumi, wanita paruh baya yang sudah menemani sejak bersama Ema, lalu Syifa dan Alea. Usianya sudah hampir kepala tujuh, tetapi masih sehat dan bugar. "Nggak usah repot, Bi. Biarkan Al yang masak," ucap
S3 Bab 4 "Astaghfirullah. Kacau, nih. Sepertinya aku salah memberi intruksi pada Alea." Karena terburu-buru, bibir Alea justru menyentuh telapak tangan Irsyad. Laki-laki dewasa itu berdiri mematung. Jantungnya tiba-tiba berdesir. Napas tidak beraturan. Pandangannya tidak lepas dari wajah Alea yang begitu dekat. Gadis kecilnya yang dulu menggemaskan, kini menjelma menjadi perempuan yang mampu menebar sejuta pesona. "Om. Om Irsyad!" Ucapan Alea membuyarkan lamunan Irsyad. "Eh, gimana, Al? Enak?" kata Irsyad dengan pandangan beralih ke wajan berisi nasgor. Keduanya mendadak berada dalam kecanggungan. "Ah, iya. Enak banget, Om." Alea pun berusaha bersikap biasa setelah tadi sempat merasakan tubuhnya meremang. Melihat tatapan Irsyad, entah kenapa ia turut larut dalam pesona laki-laki dewasa itu. "Ishh, ini salah kalau aku terpesona sama Om Irsyad. Kalau aku terpesona pada Mas Damar barulah benar," batin Alea. Ia berusaha meralat pikirannya yang ngelantur. "Wah, wah, Om sama Mbak Al
S3 Bab 5ASuasana kampus di pagi hari cukup tenang. Sebab jam pertama telah lewat 30 menit yang lalu. Alea tidak perlu khawatir dengan banyak mahasiswa yang menyaksikan dirinya berjalan bersama Damar. "Gimana kabarmu, Al? Sudah semester berapa sekarang?" Damar mencoba mengingat. "Semester 4, Mas." Keduanya berjalan beriringan dari halaman kampus lalu melewati koridor yang sepi. Hanya ada mahasiswa dengan hitungan jari di sekitarnya. "Oh, iya. Kayaknya semester 4 lagi padat kuliahnya, ya?" Damar menoleh sekilas ke samping. Adik tingkatnya yang saat ini mengenakan pakaian kasual dipadu pasmina floral memang cantik dan menarik. "Iya, lagi banyak praktikum, nih. Jadi, tiada hari tanpa bikin laporan," jawab Alea disertai candaan. Keduanya mula mengobrol dengan cair. Tadinya Alea merasa sedikit canggung, meski dalam hati perasaannya membuncah. Senang bisa mengobrol berdua dengan Damar. Jarang-jarang ada kesempatan dekat begini saat dulu masih menjadi kakak tingkatnya. Alhasil, Alea han
S3 Bab 5BSore hari, Alea pulang kuliah bareng Rendra yang juga pulang sore karena ada les tambahan. Mereka berdua berencana menonton pertandingan badminton di televisi bareng dengan Irsyad di rumah yang dipakai unruk klinik. Kebetulan jadwal shift klinik malam ini asalah dokter Helan. "Mbak mandi dulu, Ren. Habis itu kita ke tempat Om Irsyad." "Ya, Mbak. Rendra juga mau rebahan dulu, nanti menyusul." "Pusing ngerjain tugas?" "Iya, nih. Panas kepalanya," canda Rendra pada kakaknya. "Okelah, Mbak ke kamar dulu." Alea melangkah masuk ke kamarnya meninggalkan Rendra yang menyandarkan punggung di sofa ruang tamu. "Mas Rendra kecapekan ya?" tanya Bi Sumi. "Iya, nih, Bi." "Tadi Pak Zein sama Bu Syifa pesan pada Bibi buat masakin gurameh untuk Mas Rendra sama Mbak Alea. Bibi susah siapkan di meja makan." "Wah makasih banyak, Bi. Nanti Rendra habiskan. Bibi tenang saja." "Iya, Mas. Bibi ke belakang dulu ya, kalau ada perlu panggil Bibi." "Iya, Bi. Tapi nanti sebelum Maghrib, saya s
S3 Bab 6"Om, itu Om Irsyad pakai bajunya," ucap Alea terbata. Irsyad hanya bergeming. Menatap Alea yang bersikap gugup di depannya justru membuatnya terhibur. Ditambah aroma parfum milik Alea begitu mengusik suasana hatinya. Jantungnya pun berdetak melebihi normal. Jarak yang begitu dekat membuat kewarasannya diuji. "Alea Aurora Zein. Kenapa sekarang kamu menjadi sosok yang menarik?" Tangan kanan Irsyad tanpa sadar menangkup pipi Alea yang sudah memerah. Bahkan tubuh gadis kecilnya yang sudah beranjak dewasa seperti tersengat listrik mendapat sentuhan tak terduga itu. Begitu Irsyad melamun, Alea menerobos lewat bawah lengan Irsyad. Setelah lamunan buyar, Irsyad menoleh dan mendapati Alea menyerahkan kaos ke tangannya dengan kilat. "Al! Mau kemana?!" seru Irsyad. "Ishh, Om pakai kaosnya. Al tunggu di depan TV!" teriak Alea sambil lari terbirit keluar kamar. Ia merutuki kelakuannya sendiri yang masuk ke kamar laki-laki dewasa. Denyut jantungnya tidak bisa diajak kompromi. Pun napa
S3 Bab 7 "Siapa, Om? Pasien, ya?" celetuk Rendra. "Kalian nonton aja, Om lihat dulu." Rendra dan Alea mengangguk. Irsyad melangkahkan kaki menuju klinik. Ia dibuat terkejut saat membuka pintu ruangan. Ada sosok perempuan berjilbab yang familiar baginya. Perempuan itu masih cantik di usianya yang lima tahun lebih muda. "Ustadzah Silvi. Siapa yang sakit?" tanya Irsyad dengan wajah sedikit khawatir. Kecanggungan pun terlihat di wajah perempuan bernama Silvi---ustadzah dari Alea saat di sekolah dasar. "Oh, Mas Irsyad. Abi yang sakit, Mas. Bukankah ini jadwal Dokter Helan?" Silvi menjawab dengan sedikit terbata. Ia tidak menyangka hari ini merupakan momen bertemu dengan Irsyad. Sepuluh tahun yang lalu, Irsyad berniat melamarnya. Setelah melepaskan May yang telah dinikahi Dokter Helan, Irsyad menemukan tambatan hatinya yang tak lain ustadzah dari Alea. Keduanya bertemu intens karena Irsyad beberapa kali mengantar jemput sekolah. Kala itu "Kamu mau melamar putriku?" "Iya, Pak. Saya
S3 Bab 8A"Al, kamu mau Us Silvi jadi istri Om?" tanya Irsyad dengan penuh penekanan. Wajahnya serius disertai tatapan mengunci manik mata Alea. Perempuan muda itu terkesiap. Entah kenapa ucapan tanya Irsyad membuat lidahnya kelu. Ia hanya bisa menelan saliva susah payah. "Hmm, itu Om, Al..." Alea menjeda ucapannya. "Astaghfirullah, kenapa susah ngomongnya." Ucapan Alea hanya tersangkut di tenggorokan. "Gimana, Mbak Al?" celetuk Rendra menimpali. "Eh iya, tentu saja Al senang kalau Om bisa menikah. Apalagi dengan Us Silvi. Sudah cantik, baik hati, pintar masak. Pasti dia sayang sama kita juga, Ren. Iya kan, Om?" Secepat kilat Alea mengucapkan kalimat yang mampu membuatnya lega. Irsyad hanya termenung sambil mengangguk. Setengah jam kemudian, sepasang suami istri telah datang meramaikan acara nonton di depan televisi. "Wah ada tante, May. Sini ponakan kecilku yang ganteng." Alea merasa bersyukur bisa mengalihkan perasaannya yang campur aduk ke hal lain. May datang bersama Dokter
S3 Bab 8B"Astaghfirullah, ingat Al, show must go on. Tahan dulu pesonanya. Nanti kalau selesai acara lanjutkan," guman Al menyemangati diri. "Sudah siap, Al?" "Eh, Mas Damar. Harusnya aku yang nanya. Mas Damar sudah siap? Tapi Mas Damar memang selalu siap sih, ya?" Alea terkikik geli dengan pertanyaan konyolnya. Damar hanya mengulum senyum sembari mengacungkan jempol. Satu setengah jam kegiatan sharing di dunia kerja berjalan interaktif. Peean moderator sangat kentara menjembatani acara khususnya tanya jawab audiens kepada narasumber. Pun Damar terlihat berwibawa dalam menyampaikan materinya tidak terkesan menggurui. Alhasil banyak mahasiswa yang antusias bertanya. "Menghadapi dunia kerja, kita tidak hanya mempersiapkan hard skill saja. Ternyata, dunia kerja membutuhkan soft skill, penguasaan mental yang matang. Untuk melatih soft skill, mahasiswa dapat mengikuti lingkungan sosial dari ranah yang kecil, misalnya organisasi di sekolah atau komunitas, mengembangkan kepekaan sosialn