Gimana nih opening Season 3? komen di kolom yuk. semoga menarik ya. ikuti ceritanya ya. makasih kepada pembaca setia yang mengikuti cerita saya. salam sehat selalu. 🥰
S3 Bab 2AAlea keluar dari ruang kerja berpapasan dengan Syifa yang sudah bersiap membawa koper. "Maaf, Ma. Al belum nemuin dompetnya." "Sudah, Alhamdulillah Mama nemuin di kamar." Syifa berucap sambil menahan geli. "Astaghfirullah. Tuh kan, Mama jahil sama Al dan Rendra," gerutu Alea sambul menghentakkan kakinya. "Maklum, Al. Mamamu sudah pelupa," ledek Irsyad membuat Syifa tidak terima. "Bukan lupa karena pikun, Syad. Tapi lagi banyak yang dipikirkan. Gimana ninggalin Alea dan Rendra sendiri sama Bi Sumi." "Ishh, Mama. Kami berdua sudah besar. Nggak usah khawatir. Lagian ada Om Irsyad. Tinggal minta Om ke sini nanti ada temannya," usul Rendra. "Iya-iya. Gimana Syad, bisa minta tolong bantu jaga anak-anak ya." Syifa seperti biasa merepotkan adik angkatnya. Jelas saja Irsyad tidak bisa menolak. "Beres. Nanti aku kurung mereka di rumah biar nggak pergi kemana-mana," canda Irsyad. Alea dan Rendra pun dengan kompak berteriak protes. "Hati-hati ya, Ma. Bilangin Papa jangan lupa te
"Al, Ren. Kalian bantu latihan dulu adik-adik sabuk putih, ya. Senpai mau melatih sabuk kuning dan hijau dulu." "Siap, senpai." Alea dan Rendra sudah memegang sabuk coklat. Kalau lulus ujian, mereka akan memegang sabuk merah lalu sabuk hitam. Sabuk yang tertinggi di ilmu beladiri karate. Sabuk coklat merupakan sabuk yang tergolong pada kategori senior. Warna coklatnya melambangkan warna tanah yang bersifat stabil. Maka dari itu, para karateka dengan sabuk coklat diharapkan dapat menguasai seluruh materi atau jurus yang telah diajarkan sebelumnya dan mempertahankannya dengan stabil. Para karateka bersabuk coklat sering kali dijadikan sebagai asisten pelatih, yang mana sikap dan perilakunya menjadi panutan untuk para karateka junior. Menjelang Maghrib, Alea dan Remdra pamit dengan senpainya. Keduanya memang sudah akrab menganggap senpainya seperti keluarga. "Sen, kami cabut dulu ya," ucap Rendra, diikuti Alea yang merapikan tegi atau baju karatenya. "Sip, salam buat papa, mama, ya
S3 Bab 3 Alea tidak berhenti mengulum senyum. Pun hatinya mengembang. Begitu lama ia memendam rasa untuk pertama kalinya pada laki-laki yang merupakan kakak tingkatnya. "Ada apa, Mbak? Kok senyum-senyum sendiri? Aneh banget," tegur Rendra. "Mbak! Mbak Alea?!" "Ren. Mbak udah nemuin laki-laki idaman." "What?!! Siapa? Yang mana orangnya, Mbak?" "Udah, nanti aja di rumah, Mbak cerita. Yuk, buruan nanti Om Irsyad ngomelin kita." Rendra hanya meringis, lalu menstater motornya menuju ke rumah. Dua puluh menit akhirnya Alea dan Rendra sampai di rumah. Beruntung hanya ada Bi Sumi dan Pak Satpam. Artinya Irsyad masih bertugas di klinik rumah Syifa yang lama. "Bi, Om Irsyad sudah ke sini kah tadi?" "Belum, Mbak. Mas Irsyad mau nginep sini, ya?" "Iya, Bi." "Mau dimasakin apa, Mbak?" Bi Sumi, wanita paruh baya yang sudah menemani sejak bersama Ema, lalu Syifa dan Alea. Usianya sudah hampir kepala tujuh, tetapi masih sehat dan bugar. "Nggak usah repot, Bi. Biarkan Al yang masak," ucap
S3 Bab 4 "Astaghfirullah. Kacau, nih. Sepertinya aku salah memberi intruksi pada Alea." Karena terburu-buru, bibir Alea justru menyentuh telapak tangan Irsyad. Laki-laki dewasa itu berdiri mematung. Jantungnya tiba-tiba berdesir. Napas tidak beraturan. Pandangannya tidak lepas dari wajah Alea yang begitu dekat. Gadis kecilnya yang dulu menggemaskan, kini menjelma menjadi perempuan yang mampu menebar sejuta pesona. "Om. Om Irsyad!" Ucapan Alea membuyarkan lamunan Irsyad. "Eh, gimana, Al? Enak?" kata Irsyad dengan pandangan beralih ke wajan berisi nasgor. Keduanya mendadak berada dalam kecanggungan. "Ah, iya. Enak banget, Om." Alea pun berusaha bersikap biasa setelah tadi sempat merasakan tubuhnya meremang. Melihat tatapan Irsyad, entah kenapa ia turut larut dalam pesona laki-laki dewasa itu. "Ishh, ini salah kalau aku terpesona sama Om Irsyad. Kalau aku terpesona pada Mas Damar barulah benar," batin Alea. Ia berusaha meralat pikirannya yang ngelantur. "Wah, wah, Om sama Mbak Al
S3 Bab 5ASuasana kampus di pagi hari cukup tenang. Sebab jam pertama telah lewat 30 menit yang lalu. Alea tidak perlu khawatir dengan banyak mahasiswa yang menyaksikan dirinya berjalan bersama Damar. "Gimana kabarmu, Al? Sudah semester berapa sekarang?" Damar mencoba mengingat. "Semester 4, Mas." Keduanya berjalan beriringan dari halaman kampus lalu melewati koridor yang sepi. Hanya ada mahasiswa dengan hitungan jari di sekitarnya. "Oh, iya. Kayaknya semester 4 lagi padat kuliahnya, ya?" Damar menoleh sekilas ke samping. Adik tingkatnya yang saat ini mengenakan pakaian kasual dipadu pasmina floral memang cantik dan menarik. "Iya, lagi banyak praktikum, nih. Jadi, tiada hari tanpa bikin laporan," jawab Alea disertai candaan. Keduanya mula mengobrol dengan cair. Tadinya Alea merasa sedikit canggung, meski dalam hati perasaannya membuncah. Senang bisa mengobrol berdua dengan Damar. Jarang-jarang ada kesempatan dekat begini saat dulu masih menjadi kakak tingkatnya. Alhasil, Alea han
S3 Bab 5BSore hari, Alea pulang kuliah bareng Rendra yang juga pulang sore karena ada les tambahan. Mereka berdua berencana menonton pertandingan badminton di televisi bareng dengan Irsyad di rumah yang dipakai unruk klinik. Kebetulan jadwal shift klinik malam ini asalah dokter Helan. "Mbak mandi dulu, Ren. Habis itu kita ke tempat Om Irsyad." "Ya, Mbak. Rendra juga mau rebahan dulu, nanti menyusul." "Pusing ngerjain tugas?" "Iya, nih. Panas kepalanya," canda Rendra pada kakaknya. "Okelah, Mbak ke kamar dulu." Alea melangkah masuk ke kamarnya meninggalkan Rendra yang menyandarkan punggung di sofa ruang tamu. "Mas Rendra kecapekan ya?" tanya Bi Sumi. "Iya, nih, Bi." "Tadi Pak Zein sama Bu Syifa pesan pada Bibi buat masakin gurameh untuk Mas Rendra sama Mbak Alea. Bibi susah siapkan di meja makan." "Wah makasih banyak, Bi. Nanti Rendra habiskan. Bibi tenang saja." "Iya, Mas. Bibi ke belakang dulu ya, kalau ada perlu panggil Bibi." "Iya, Bi. Tapi nanti sebelum Maghrib, saya s
S3 Bab 6"Om, itu Om Irsyad pakai bajunya," ucap Alea terbata. Irsyad hanya bergeming. Menatap Alea yang bersikap gugup di depannya justru membuatnya terhibur. Ditambah aroma parfum milik Alea begitu mengusik suasana hatinya. Jantungnya pun berdetak melebihi normal. Jarak yang begitu dekat membuat kewarasannya diuji. "Alea Aurora Zein. Kenapa sekarang kamu menjadi sosok yang menarik?" Tangan kanan Irsyad tanpa sadar menangkup pipi Alea yang sudah memerah. Bahkan tubuh gadis kecilnya yang sudah beranjak dewasa seperti tersengat listrik mendapat sentuhan tak terduga itu. Begitu Irsyad melamun, Alea menerobos lewat bawah lengan Irsyad. Setelah lamunan buyar, Irsyad menoleh dan mendapati Alea menyerahkan kaos ke tangannya dengan kilat. "Al! Mau kemana?!" seru Irsyad. "Ishh, Om pakai kaosnya. Al tunggu di depan TV!" teriak Alea sambil lari terbirit keluar kamar. Ia merutuki kelakuannya sendiri yang masuk ke kamar laki-laki dewasa. Denyut jantungnya tidak bisa diajak kompromi. Pun napa
S3 Bab 7 "Siapa, Om? Pasien, ya?" celetuk Rendra. "Kalian nonton aja, Om lihat dulu." Rendra dan Alea mengangguk. Irsyad melangkahkan kaki menuju klinik. Ia dibuat terkejut saat membuka pintu ruangan. Ada sosok perempuan berjilbab yang familiar baginya. Perempuan itu masih cantik di usianya yang lima tahun lebih muda. "Ustadzah Silvi. Siapa yang sakit?" tanya Irsyad dengan wajah sedikit khawatir. Kecanggungan pun terlihat di wajah perempuan bernama Silvi---ustadzah dari Alea saat di sekolah dasar. "Oh, Mas Irsyad. Abi yang sakit, Mas. Bukankah ini jadwal Dokter Helan?" Silvi menjawab dengan sedikit terbata. Ia tidak menyangka hari ini merupakan momen bertemu dengan Irsyad. Sepuluh tahun yang lalu, Irsyad berniat melamarnya. Setelah melepaskan May yang telah dinikahi Dokter Helan, Irsyad menemukan tambatan hatinya yang tak lain ustadzah dari Alea. Keduanya bertemu intens karena Irsyad beberapa kali mengantar jemput sekolah. Kala itu "Kamu mau melamar putriku?" "Iya, Pak. Saya