“Guys… Hari ini kita jadi ke acara Grand Opening coffee shop Diego, kan?” Tanya April memastikan kepada aku, Aurora, dan Dina. Ya, Diego yang seringkali menjadi pengisi acara di salah satu coffee shop favorit kami pada akhirnya sedikit demi sedikit dapat mewujudkan mimpinya untuk membuka coffee shop. Pada akhirnya semesta memberikan hadiah yang sangat dia nanti-nantikan berkat kegigihan serta kerja keras dia sampai saat ini. Jujur, aku ingin sekali mengunjungi grand opening coffee shop milik Diego yang berlangsung pada hari ini. Tetapi aku masih sangat lemah untuk sekedar melangkahkan kaki untuk keluar dari apartemen. Perandai-andaian akan Rafael yang menemaniku untuk mengunjungi grand opening pun seketika bermunculan untuk mengganggu pikiranku. Sampai kapan aku harus mengingat dia di setiap hari-hari yang aku jalani? “Kalian pergi aja, ya. Gue lagi pengen sendiri.” Ucapku mencoba meyakinkan teman-temanku.
Aku berusaha semaksimal mungkin untuk tetap bertahan di restaurant sushi sampai aku melihat Rafael dan Mbak Tika melewati meja kami seolah-olah kami tak saling kenal. Melihat hal itu teman-temanku yang sudah pernah bertemu dengan Rafael benar-benar kecewa atas sikap dia saat ini. “Oh jadi ini pacar Rafael? Laila lo harus percaya kalo lo bener-bener lebih cantik dan lebih menarik dari perempuan ini!” Celetuk April kesal saat melihat Mbak Tika melewatinya. Aku memelototi April untuk tidak membahas hal itu di depan Mbak Tika karena aku tahu dan kita semua pun tahu sesuatu yang menyinggung masalah perbandingan fisik pasti akan sangat menyakitkan. Mbak Tika seketika menghentikan langkahnya tepat di hadapan April. Sementara aku melihat Rafael seakan memberikan kode kepada Mbak Tika. Rafael pun terlihat meninggalkan Mbak Tika seorang diri di hadapan kami. Entahlah sepertinya Mbak Tika memang ingin menyampaikan sesuatu atas perkataan April sementara Rafael tidak ingin terlibat dan langsung p
Aku berlari kecil menuju ke parkiran kampus. Hari itu ada tugas presentasi yang harus aku presentasikan bersama teman-temanku. Namun sialnya, aku dan temanku lupa membawa file untuk kami presentasikan nanti pada pukul setengah sebelas tepat. Aku pun melirik arloji yang sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh lewat beberapa menit. Itu artinya aku masih memiliki waktu lebih kurang satu jam. Brak! Tanpa sadar dan tanpa memerhatikan sekelilingku, aku pun menabrak Michellea, salah satu teman kelasku di dekat parkiran mobil. “Ehhh… Laila? Ya ampun sorry banget gue tadi buru-buru.” Ucap Michellea sembari merapikan buku-bukunya yang sudah bertebaran sembari sesekali menatapku yang ikut membantunya untuk merapikan buku-bukunya. “It’s okay. Gue juga minta maaf karena buru-buru juga.” Ucapku menjelaskan. Kami berdua pun bergegas berdiri dan aku memberikan beberapa kertas yang sudah aku rapikan kepada Michellea. “Cieee buru-buru kemana lo? Pasti lo mau pacaran kan sama pacar lo yang kaya Bu
(WazzApp Notification - Mbak Tika) “Pagi, Laila. Maaf ganggu. Aku mau nanya nih ke kamu. Kamu masih berhubungan dengan Rafael gak? Dan tau Rafael ada dimana sekarang?” "Wah, sorry. Semenjak aku tau kebenaran itu. Aku gak berhubungan lagi dengan dia. Jadi, aku sama sekali gak tau apa-apa lagi tentang dia dan gak tau keberadaan dia sekarang ada dimana. -Laila Aku tiba-tiba meneteskan air mata. Bisa-bisanya Mbak Tika dengan gampangnya bertanya akan Rafael kepadaku. Padahal sudah hampir tiga bulan, aku benar-benar terpuruk dan berusaha keras untuk melupakan Rafael. “Lo kenapa tiba-tiba nangis?” Tanya April dan langsung merebut ponselku. Dia melihat balasan pesan yang aku lakukan bersama Mbak Tika. “Sampah! Dia pikir lo cewe apaan! Udah di sakitin tapi tetep mikir lo masih mau berhubungan dengan Rafael.” Ucap April ketus. Aurora dan Dina pun spontan melihat balasan pesan yang ada di ponselku. Aurora, April, dan Dina memang tengah berada di apartemenku. Terlebih lagi sejak aku di tingg
"Laila... Lo masih belum siap buat cerita ya?" Tanya April sembari berjalan mendekatiku yang tengah duduk di sofa dengan tatapan kosong. Aku menoleh kehadapan April dan melihat tatapan April yang seakan ragu untuk bertanya kepadaku. Aku memang meminta mereka untuk mengantarkanku ke apartemen saat aku keluar dari ruangan praktek Mbak Regina dengan tergesa-gesa dan cemas. Saat itu mereka tampak bertanya-tanya dengan apa yang terjadi di ruangan Mbak Regina. Akan tetapi aku masih belum bisa menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari mulut mereka detik itu juga. "Iya. Gue gak siap sama sekali. Kalo gue cerita gue gak sanggup. Rasanya kepala gue kaya mau pecah kalo inget lagi tentang kejadian itu." Ucapku datar sembari menghela napas kasar. Aku merasa pada saat itu aku sudah berada di titik terlelah dalam hidupku. Jiwa dan fisikku sudah tak mampu dan tak bisa lagi memikul semua rasa pahit yang aku rasakan ketika aku mengingat kembali kenangan yang aku ciptakan bersama Rafael
Beberapa hari kemudian... "Gimana kalau lo membuka hati dengan orang baru?" Ucap April memberikan saran sembari duduk di sofa apartemenku. "Gak gampang." Ucapku tertawa sinis. Lagipula, bagaimana bisa aku membuka hati kembali dengan orang lain? Yang aku pikirkan pada saat itu aku tidak akan pernah jatuh cinta kembali atas apa yang sudah terjadi. Aku sadar bahwa aku adalah seseorang yang 'terlalu mencintai' jika aku berada dalam suatu hubungan. Aku takut jika aku jatuh cinta lagi aku akan mencintai orang yang salah sehingga aku akan terjebak dengan keadaan depresi itu. "Alternatif lain, La. Mungkin orang baru ini bisa ngebuat lo lupa dengan Rafael." Sambung Aurora menyetujui saran April. "Siapa? Gue gak kenal dengan siapa-siapa saat ini. Paling yang gue kenal Diego. Yakali gue pacaran sama Diego." Ucapku tertawa sinis sembari menggelengkan kepala. Lagipula aku pun bukan tipe orang yang bisa menjalin hubungan asmara dengan teman atau sahabat sendiri. "Gue punya temen. Actually dia
Awal bertegur sapa dengan Aditya selama beberapa minggu pada akhirnya membuat kami mulai saling terbuka satu sama lain. Waktu itu yang aku harapkan dari hadirnya Aditya dalam hidupku cuma satu... Ya, pastinya ingin melupakan Rafael dan tidak berada dalam penyesalan yang selalu menghantuiku. Waktu itu aku dan Aditya baru saja selesai menonton film horror di salah satu bioskop yang berada di dekat kampusku memutuskan untuk langsung kembali pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat beberapa menit. Aku bisa menyimpulkan Aditya sepertinya seorang pria yang memiliki selera humor yang tinggi. Jika menonton film horror bersama Aditya, dia selalu saja menciptakan lelucon dari adegan film horror yang ditayangkan sehingga membuatku selalu tertawa. Tetapi aku senang dengan sikap Aditya, baru kali itu aku tertawa kembali setelah Rafael mencampakkanku. "Lain kali kalau sama kamu jangan nonton horror lagi deh. Nonton komedi aja sekalian." Ucapku memberi candaan kepada Aditya semb
"Oh God!!! I have no idea, La. Gue gak tau kenapa Aditya bisa kaya gini." Ucap Aurora frustrasi saat mendengar penjelasanku mengenai keinginan Aditya. "It's okay." Jawabku santai dan kembali fokus menyantap sushi. "So-sorry, La. Gue kirain Aditya bukan cowo brengsek. Bingung juga gue dengan tu orang. Berubah banget semenjak tinggal di Aussie." Ucap Aurora dengan raut wajah yang tampak kesal dengan tindakan Aditya. "No. Dia gak salah. Lagian lebih baik terus terang diawal dia maunya apa, kan? Daripada memberi harapan dan pura-pura baik tapi ternyata palsu." Ucapku sembari tertawa sinis. "Hahaha. Nyindir Rafael lo?" Ucap April sembari memberikan senyuman sinis kepadaku. "Iyalah siapa lagi?" Ucapku dengan sangat yakin dan tertawa kecil. "Sebenarnya Aditya bisa aja ngerayu gue dan buat gue cinta mati sama dia. Nah saat gue udah masuk perangkapnya dia, gue pasti nurutin apa kata dia karna udah dibuat cinta mati. we never know, right? So, lebih baik dia terus terang di awal. And it's a