Setiap kali aku menulis novel ini, ada beberapa halaman tentang penyesalan yang sering membuatku menangis. Aku pun pernah menghentikan tulisan ini untuk sementara waktu karena jiwaku masih belum kuat untuk mereka ulang kejadian dan kenangan yang pernah aku ukir bersama masalaluku dulu. Bukan, aku menangis bukan karena aku merindukannya. Bukan pula merindukan kenangan yang pernah kami ukir bersama. Aku menangis karena kesal terhadap diriku sendiri dengan setiap penyesalan yang terus menghantuiku. Saat aku berada di dunia yang gelap. Aku menyalahkan diriku atas keputusan yang aku pilih. Aku merasa aku adalah orang yang paling tidak bisa memilih keputusan yang tepat. Beberapa bulan, aku harus bertanya mengenai keputusan yang harus aku ambil kepada orang terdekatku. Aku merasa takut untuk bertanggung jawab atas konsekuensi keputusan yang akan aku ambil. Aku masih tak menyangka dengan diriku, aku bisa melewati setiap harinya dengan perlahan bisa bangkit dan melupakannya dengan ikhlas.
Enam bulan kemudian… Hari ini aku, April, Aurora, dan Dina tengah berada di Jakarta Convention Center untuk menghadiri upacara wisuda setelah empat tahun berjuang untuk mendapatkan gelar sarjana. Aku tidak pernah menyangka pada akhirnya aku bisa lulus tepat waktu setelah apa yang sudah menimpaku waktu itu. Tidak pernah kuliah dan meratapi nasib hanya karena aku pernah dicampakkan. Namun hari ini aku benar-benar bahagia dan bangga dengan diriku. Dihari special ini, aku dan teman-temanku benar-benar tampil maksimal. Kami semua memakai kebaya dengan model yang berbeda-beda pastinya. Aku dan teman-temanku memilih kain motif jawa untuk rok-nya seperti baju wisudawan pada umumnya. Aku mengenakan kebaya berwarna biru dongker, April mengenakan kebaya berwarna pink muda, Aurora berwarna merah, dan Dina berwarna cream. Rambut kami pun disanggul oleh penata rambut seperti wisudawan-wisudawan yang lainnya. Hanya Dina saja yang memilih rambutnya digerai dengan diberikan model ikal pada ujungnya.
“Aahhhh!!! Baliiiii!!! Here we come!!!” Ucapku penuh semangat sembari menuju ke tempat pengambilan bagasi bersama teman-temanku. Aku, Aurora, Dina, dan juga April, Mas Dirga, dan Jonathan pada akhirnya sampai di Bandara Ngurah Rai Bali. Perjalanan kami ke Bali pun ditempuh dalam waktu dua jam. Aurora seperti biasa membawa Jonathan dan Dina pun membawa Mas Dirga. Hanya aku dan April saja yang tidak membawa pasangan karena mereka harus bekerja. Sementara Mas Dirga dan Jonathan, mereka berdua hanya bisa menikmati liburan di Bali selama tiga hari karena mereka tidak bisa cuti berlama-lama. Seperti yang aku katakan sebelumnya, semenjak kebangkrutan orangtua Jonathan dia pun harus kuliah dan bekerja disaat bersamaan. Sementara Aku, Dina, April, dan Aurora memang berencana menghabiskan waktu liburan kami di Bali sampai dua minggu lamanya. “Guys kita buat story dulu. Kita udah di Bali.” Ucap Dina sembari membuka aplikasi Anstagram miliknya. “Din, kita masih di Bandara. Masih nunggu baggage.
Aku mencari-cari wujud Mas Daffin diseluruh ruangan villa namun aku belum juga menemukannya. Aku bergegas keluar dari ruang santai dan memutuskan untuk mencari Mas Daffin di coffee shop dan ruangan gym. Berharap dia ada disana. Aku menuruni anak tangga dan merogoh saku untuk mengambil ponselku dan langsung menghubungi Mas Daffin. Seketika aku sangat familiar dengan nada dering yang samar-samar ku dengar. Ya, nada dering itu adalah nada dering ponsel Mas Daffin. Perlahan aku pun mulai mengikuti arah suara itu sembari menunggu Mas Daffin menjawab teleponku. “Mas Daffin kamu kenapa jahat banget sih gak ngomong ke aku kalo kamu ke Bali.” Ucapku kesal kepada Mas Daffin yang akhirnya menemukannya di ruangan gym “Astaga, La. Ngagetin aja. Aku cuma mau ngasi surprise.” Jawab Mas Daffin sembari meletakkan dumbbell yang berurukan 30kg di atas lantai. Lalu, Mas Daffin pun duduk dan mendongakkan wajahnya kehadapanku. “Terus tadi kenapa pas di pantai tiba-tiba pergi?” Tanyaku menatap Mas Daffin
Tanggal 17 Juni 2018, tanggal itu adalah hari pertama aku memutuskan untuk menjalin hubungan dengan Rafael. Ya, sebuah keputusan yang berat hingga pada akhirnya aku di yakinkan oleh Rafael untuk memperjuangkan perbedaan yang ada di antara aku dan dia. Alasannya... karena kami sama-sama saling mencintai dan punya pemikiran yang sama.Aku memutuskan untuk menulis kisah cinta yang pernah aku jalin bersama Rafael. Sebuah kisah cinta yang bahkan membuat aku menjadi mati rasa sekaligus mendapatkan pelajaran berharga di saat yang bersamaan. Bahkan untuk menulis ini pun aku seringkali merasa bahwa aku adalah wanita bodoh yang terlalu mencintai dia yang tidak pernah menganggapku ada.Memang sebuah keputusan yang pernah kita pilih harus di pertanggungjawabkan apapun itu resikonya. Dan, mempertanggungjawabkan keputusan yang salah tidaklah mudah. Ya, keputusan untuk memilih dia yang dengan mudahnya meninggalkanku.Rasanya otakku tidak ingin untuk mengulang lagi&
Café adalah sebuah tempat untuk bersantai dan berbincang-bincang dengan teman, pasangan, bahkan keluarga. Aku duduk disebuahrooftopcafé memandangi indahnya senja yang menyinari wajahku. Orang-orang seringkali menyebut rooftop di tempat itu dengan sebutan ‘Lovely Rooftop’Tidak butuh waktu lama untuk duduk, aku beranjak dari tempat duduk sembari membawa secangkirlattelalu berjalan kesudutrooftopuntuk melihat suasana keramaian kota Jakarta dari atas rooftop serta ingin menikmati senja dari jarak dekat. Akumelihat pemandangan langit yang sangat indah dan memandangi padatnya kendaraan dibawah serta orang-orang berlalu lalang di tepi jalan raya.Seketika aku memandang orang-orang disekelilingku. Aku melihat pasangan yang sedang duduk didekat sudutrooftopyang jaraknya agak dekat denganku, mereka menikmati senja berdua ditemani dengan
Rafael tidak berhenti menatapku sejak dia datang untuk menemaniku mengerjakan tugas di salah satucoffee shopyang berada didekat kampus. Sementara aku asik sibuk mengerjakan tugas karenadeadlineyang terus menghantui.Dengan sabarnya, Rafael masih menemaniku setelah dua jam mengerjakan tugas tanpa diganggu olehnya. Sesekali dia pun mengerjakan somasi yang harus dia selesaikan. Namun, dia bukan orang yang bisa fokus mengerjakan pekerjaan di tempat yang ramai. Hal yang dia lakukan hanya menatapku tanpa mengganggu sama sekali.“Finally!!!!Selesai jugahuffttt!!”Ucapku menghela napas sembari melepaskan kacamataku dan memejamkan mata sejenak"Jangan dilepas kacamatanya. Kamu pake kacamata keliatan sensual banget tau, La." Ucap Rafael dan sontak membuatku terkejut saat aku tengah sibuk menggerai dan merapikan rambutku."Dih! Suka-suka gue, ya, Rafael!!" Seruku"Emang k
"Pake dulu jaketnya, La. Astagaaa!!!" Rafael menarikku dan langsung memakaikan jaket ke tubuhkuSore itu, tiba-tiba derasnya hujan mengguyur kota Jakarta saat aku dan Rafael tengah berada di food court dengan suasana outdoor. Aku dan Rafael memang sering mengunjungi food court itu jika ingin mencicipi makanan yang berbeda-beda."Aduuuhhhh!! ribet banget. Udah di bilangin gapapa dan aku tahan dingin tetep aja maksa." Jawabku kesal.Rafael mendengus napas "Gak dingin tapi dari tadi bersin terus." Ucapnya dengan menatap mataku tajam "Ya udah sekarang kamu mau apa lagi?" Tanya Rafael yang tengah berdiri di hadapanku saat kami selesai mencicipi Es Kopi Susu yang memang terkenal di food court itu."Aku laper, Rafael. Mau pizza." Aku memberikan senyuman lebar kepada Rafael."Ya udah ayooo." Rafael langsung berjalan dan meninggalkanku menuju tempat pizza yang jaraknya hanya beberapa langkah dari tempat Es Kopi Susu itu.