Aku seringkali menunjukkan tingkah konyol kepada Eithan seperti melewati zebra cross yang hanya menginjak garis-garis putihnya saja dan berteriak saat ada pesawat yang lewat. Dan ya, Eithan terlihat sangat bahagia dengan kekonyolan yang ku ciptakan. Namun tanpa aku sadari, kekonyolan itu adalah kekonyolan yang pernah aku ciptakan bersama Rafael. "Kamu serius ngelakuin hal kaya gini tiap hari? La, itu pilotnya gak akan denger kalau kamu say Hi." Ucap Eithan sembari tertawa lepas "Of course. Aku selalu ngelakuin hal ini juga dengan Rafael waktu itu kalau pesawat lagi lewat. Dan kita berdua gak bisa lihat zebra cross, kalau kita lihat, fix harus taruhan." Ucapku bersemangat dan tak sengaja menyebut nama Rafael. Seketika raut wajah Eithan berubah drastis saat aku mengucap nama pria itu. "Oh--- Okay." Ucap Eithan datar "So-sorry, Eithan. Aku--" "It's okay, La. Anyway, habis ini kita langsung balik, yuk. Ada yang harus aku kerjain buat besok." "Kamu marah ya?" Tanyaku dengan susah pa
Satu minggu kemudian… Aku duduk di hadapan Mbak Regina. Mencoba untuk menceritakan semua hal mengenai Rafael. Waktu itu, aku siap untuk menceritakan segalanya setelah aku mulai membuka hatiku untuk Eithan yang tanpa sadar aku malah menyia-nyiakan kesempatan itu dengan masih terpaku kepada Rafael. Aku sadar, saat itu aku butuh pertolongan dari orang yang profesional seperti Mbak Regina. "Mbak memang benar, aku pernah gagal sebelum menjalin hubungan dengan Rafael. Justru aku bingung, aku pernah gagal sebelum kenal dia. Tapi saat ini aku kenapa gak bisa melupakannya dan menyembuhkan diri sendiri?" Tanyaku kesal. Sudah hampir satu tahun, aku kembali membuka luka itu dan akhirnya siap untuk menceritakan hal yang pernah aku tunda sebelumnya. Ya, sesuatu yang seharusnya aku ceritakan saat pertama kali mengunjungi tempat praktek Mbak Regina. “Yeah I know. Karna dia terlalu menjanjikan dan ngasi harapan terus ke kamu. Kamu udah ngejawab itu sendiri, Laila.” Jelas Mbak Regina "That’s it! M
WazzApp Group Notification "Laila, kita jalan-jalan yuk!" Aku terbangun dan melihat layar ponselku yang berisikan ajakan oleh Aurora, April, dan Dina. Aku melirik jam yang masih menunjukkan pukul delapan pagi. Biasanya ketika weekend seperti ini, aku lebih memilih untuk bangun lebih siang dari biasanya "Kemana?" Balasku dengan mata yang masih melekat "Dufan aja." -April Aku rasa aku ingin menikmati suasana dufan dan memacu sedikit adrenalineku. Semenjak di tinggal oleh Rafael, setengah jiwaku sudah tak merasakan hidup. Dan saat itu Eithan pun sudah pergi meninggalkan Indonesia. Aku pun akhirnya menyetujui ajakan mereka. Aku membereskan apartemenku dan bersiap-siap merapikan diri sebelum teman-temanku datang. Biasanya jika aku dan teman-temanku pergi, mereka selalu berkumpul di apartemen ini. Tok… tok… tok… Tak di ragukan lagi, pasti itu teman-temanku. Aku pun bergegas membuka pintu "Hei, La. Gue numpang make up disini ya. Takut telat tadi." Ucap Dina yang langsung bergegas masu
Izinkan akuUntuk terakhir kalinyaSemalam saja bersamamuMengenang asmara kitaDan aku pun berharapSemoga kita tak berpisahDan kau maafkan kesalahanYang pernah ku buat Suasana café menjadi ramai seketika saat orang-orang yang berada disana mengikuti lirik lagu Berharap Tak Berpisah. "Lirik lagu ini gak kaya lo kan, La?" April mengolok sembari bernyanyi "Ya nggak lah. Males banget. Duh andai aja ya gue terlepas dari dia dari jauh-jauh hari, pasti hidup gue gak sengsara." Teriakku "Udah ah gak usah bahas lagi. Kita kesini mah mau seneng-seneng!” Seru Dina "Alright. Jadi setelah lagu Berharap Tak Berpisah, gimana kalo kita bawain lagu Glenn Fredly - Akhir Cerita Cinta." Ucap Diego sekaligus penyanyi yang berada di café itu. Ya, Diego masih sering menjadi bintang tamu di café yang memiliki live music karena coffee shop yang dia miliki masih belum memberikan fasilitas itu. Bagi Diego musik itu adalah passion bagi dirinya. "Wew, bagus juga tuh." Teriak April bersemangat "Well. Ada
(WazzApp Notification - Mas Daffin) "La, udah di apartemen kamu? Aku baru sampe nih." -Mas Daffin "Udah, Mas." -Laila "Jadi gak? Yuk." – Mas Daffin "Oke boleh-boleh. Aku siap-siap dulu, ya, Mas. Langsung ketemu di tempat aja?" -Laila "Bareng aja, ya, La. Aku juga mau mandi dulu. Lagian aku gak tau tempatnya juga." -Mas Daffin "Oh iya. Okedeh." -Laila Aku dan Mas Daffin akhirnya menuju coffee shop apartemen dan berbincang mengenai hal-hal pada umumnya. Seperti kegiatan kami sehari-hari dan juga asal-usul aku dan Mas Daffin. Sebagai seseorang yang memang baru dikenal, aku memang selalu menanyakan asal-usul lawan bicaraku untuk sekedar memastikan bahwa mereka benar-benar orang baik. Ditambah lagi dengan zaman yang sangat maju seperti saat ini, kita pun bisa langsung memastikan dari social media mengenai kehidupan lawan bicara kita. Ya, sebelum memutuskan untuk pergi dengan Mas Daffin, aku pun langsung melihat social media miliknya dan beberapa foto yang dia unggah, sama halnya sep
Sudah hampir satu bulan, aku seringkali menjalani hari-hariku bersama Mas Daffin. Selama satu bulan itu aku merasa bahagia dengan Mas Daffin yang masuk ke dalam kehidupanku. (WazzApp Notification - Mas Daffin) "La, kamu pulang jam berapa? Aku jemput ya." "Aku pulang jam tiga, Mas. Emang kamu udah pulang?" -Laila "Hmm. Belum sih. Rencananya aku mau ngajak kamu ke rooftop buat nongkrong. Tapi kayanya kelamaan ya?" -Mas Daffin "Iya sih. Lagian aku juga bawa mobil, Mas. Kalo gitu kita ketemu di Rooftop aja." -Laila "Yakin gapapa?" -Mas Daffin "Iya gapapa." -Laila Aku mengikuti Aurora menuju ke apartemennya sembari menunggu Mas Daffin selesai bekerja. Setelah itu, aku dan Mas Daffin pun langsung bergegas ke rooftop tempat kami mengobrol seperti biasa. *** Mas Daffin sudah beberapa kali tertangkap basah memperhatikan aku sedari tadi sehingga membuatku menjadi tidak nyaman. Tak biasanya dia memperhatikanku seperti itu. Akan tetapi dari tatapannya aku bisa mengerti maksud dari tatapa
Berjalan memasuki salah satu tempat club dengan Mas Daffin waktu itu aku merasa agak canggung. Aku baru tahu ternyata Mas Daffin pernah juga pergi ke tempat seperti ini. Ya, aku memang tidak pernah membayangkan sama sekali jika Mas Daffin menyukai tempat yang menyuguhkan dentuman musik yang lumayan keras. Selama ini aku mengira Mas Daffin hanya pria kaku yang sangat berwibawa. Tidak... Aku tidak mengatakan orang-orang yang menghabiskan waktu di sebuah club bukanlah orang yang berwibawa, akan tetapi Mas Daffin orangnya sangat berbeda. Dari raut wajahnya dia bukan tipe pria yang menyukai dentuman musik yang terlalu keras. Atau jangan-jangan memang aku saja yang salah menilai Mas Daffin? Hmmm… sepertinya aku memang selalu saja salah memberikan penilaian kepada orang lain. Saat aku dan Mas Daffin masuk ke dalam club, seketika aku melihat teman-temanku berada disana. Aku bingung, mengapa teman-temanku ada di tempat ini dan mengapa mereka tidak mengabariku? “Guys? Kalian ngapain disini?”
Mas Daffin… Entahlah, semenjak kejadian memalukan yang aku ciptakan di bar beberapa hari yang lalu dia selalu saja semakin memperhatikanku. Terkadang aku selalu tertawa dan senyum-senyum sendiri saat mengingat kenangan aku ciptakan dengan Mas Daffin. Ditambah lagi saat Mas Daffin mengajakku menonton di salah satu bioskop. Aku benar-benar merasa bahwa Mas Daffin tidak pernah menutup nutupi aku dari wanita lain. Namun lagi-lagi hatiku masih saja selalu meragukan Mas Daffin. “Lo udah sadar?” Tanya April menginterogasiku bersama dengan Dina dan Aurora. Bisa-bisanya mereka datang ke apartemenku tanpa basa basi sedikitpun dan masuk ke dalam apartemenku tanpa mengetuk sama sekali. “Ya udah dong. Lo pikir gue mabok sampe berhari-hari apa?” Ucapku cetus sembari menggeleng-gelengkan kepala. “Lo gak pernah sampe mabok gini, La. Kenapa, sih?” Tanya April sembari duduk di hadapanku. “Gue juga bingung. Udah deh gue gak mau bahas. Intinya sih beberapa hari yang lalu itu gue lost control karna ke