Lewat makam malam, Adimas dan Lukman menuju pabrik dengan berjalan kaki. Suasana malam cukup hening. Suara jangkrik yang saling bersahut-sahutan melatari perjalanan mereka. Lukman menyalakan senter yang dibawanya. Sementara Adimas, berjalan di belakang sambil menjinjing dua buah kotak makan sekali buang.
Tak ada penerang tambahan. Hanya senter Lukman satu-satunya yang menerangi jalan di depan mereka. Sepanjang mata memandang, jalan setapak itu sangat gelap. Sesekali, tangan Adimas menepis gulma yang menyentuh tubuhnya. Hal itu juga dilakukan oleh Lukman.
Baik Lukman maupun Adimas, keduanya bisa mendengar suara langkah mereka sendiri. Jalan setapak ini adalah akses cepat untuk tiba di pabrik, kedua sisinya berderet gulma setinggi tubuh manusia.
Sesekali kaki mereka menginjak kerikil atau ranting pohon yang telah kering. Suara ranting yang patah atau kerikil yang diinjak, menghalau sunyi berkuasa untuk beberapa saat.
“Bang, kenapa kita tidak memakai m
Samuel memutuskan untuk menerima niat baik Adimas. Ia memilih tinggal bersama mereka. Dengan berada di rumah yang sama, ia berharap kalau rasa sayang sebagai sahabat yang dirasakan Andini perlahan akan berubah menjadi cinta terhadap lawan jenis.Pilihan Samuel disambut dengan baik oleh Andini. Ia merasa mempunyai teman yang bisa menemaninya kapan pun, dan bisa menghilangkan rasa kesepian yang kerapkali hampir menelannya.Pagi-pagi sekali, sebelum matahari muncul dari Timur, Samuel keluar dari kamarnya yang berada di lantai dasar, lalu meniti anak tangga untuk membangunkan Andini. Raut bangun tidur dengan mata bengkak tak ada di wajah Samuel, ia justru senang karena sebelum dan sesudah terjaga, tak perlu waktu lama untuk menemui pujaan hatinya.Samuel mengetuk pintu kamar Andini. Ia menanti dengan sabar berharap sang pujaan hati mau berolahraga bersama.Setelah mengetuk pintu beberapa kali, akhirnya Andini beranjak dari kasurnya.“Ada apaaa?&r
Pukul empat pagi, alarm berbunyi. Liam mengusap layar di ponselnya dan mematikan suara alarm itu. Ia bersiap-siap untuk melakukan olahraga. Untuk memulihkan kesadarannya dan menghilangkan kantuk, ia mencuci mukanya dan menegak dua gelas air. Setelah itu, ia melakukan peregangan selama kurang lebih sepuluh menit. Setelah tubuhnya mulai terasa panas, ia pun memulainya. Selama hampir satu jam, dengan napas yang tersengal-sengal ia mengkombinasikan intensif training, melakukan push up sebanyak seratus kali, sit up seratus kali, dan squat lima puluh kali. Suara napasnya terdengar memenuhi kamar berluas dua belas meter persegi itu. Keringatnya mengucur baik dari rambut hingga ke ujung kaki. Bajunya basah kuyup serta wajahnya memerah. Setelah melakukan olahraga, ia meminum whey protein isolate agar pembentukan otot pada tubuhnya akan diproses lebih cepat. Ia mengkombinasikan satu scoop protein isolate dengan bubuk creatine. Sepuluh menit kemudi
Lukman bersiap pada pasukannya. Pengawal yang dibawanya untuk menyerang Benny berjumlah tiga puluh orang. Masing-masing dari mereka membawa senjata berupa tongkat pemukul, alat setrum dan pedang bermata tumpul. Lukman mempercayakan pasukannya kepada Sardi, sang kepala pengawal.Tiga puluh orang itu berpencar mengelilingi salah satu gedung tua yang sudah tidak terpakai. Di daerah itu, terdapat beberapa gedung tua bekas pabrik yang telah dikosongkan selama kurang lebih sepuluh tahun. Gedung-gedung merupakan bekas pengoperasian dari pabrik sepeda yang pernah jaya di masanya.Rubicon hitam berhenti di satu kilometer dari gedung yang akan diserang mereka. Di sana, lelaki berpakaian serba hitam sedang menunggu di motornya.“Kamu yakin ini tempatnya, Li?” tanya Adimas sekeluarnya ia dari Rubicon itu.“Saya yakin, Pak Adimas.” Sekelebat ingatan di kepala Ali muncul saat ia melihat Rubicon hitam di depannya. Beberapa waktu yang lalu, ia per
Daerah pelabuhan ini tidak pernah sepi. Tidak ada aturan. Tidak ada ketakutan. Yang ada hanyalah kesenangan dan kesenangan. Pelabuhan Pajang dikelilingi beberapa lokalisasi dengan bebek-bebek terbaik di kelasnya.Selain itu, kepadatan penduduk di wilayah tersebut membuat kegiatan ekonomi seolah tidak pernah mati. Pedagang makanan berjual hingga pagi karena ramai pembeli.Lukman dan rombongannya tiba di Pajang dini hari tadi. Mereka memutuskan untuk beristirahat di salah satu penginapan sambil menyusun sebuah rencana.“Kita bagi tim menjadi 2 kelompok. Sardi, kamu bisa memilih beberapa pengawal untuk menemanimu bertugas,” kata Lukman.Sardi memilih Liam dan lima pengawal lain untuk menjadi timnya. Pengawal yang berjumlah empat belas orang, terbagi menjadi dua tim. Tim Lukman berjumlah delapan orang termasuk dirinya, tim Sardi berjumlah tujuh orang.“Pertama-tama,” Lukman mulai menjelaskan strateginya. Ia membuat sebuah denah
Portal berhasil terbuka setelah perkelahian yang cukup panjang Bertarung sengit di dunia nyata bukanlah seperti film yang memperlihatkan bagaimana tokoh utama berhasil mengalahkan musuhnya yang berjumlah puluhan dalam waktu sekian menit. Ini dunia nyata. Untuk sampai ke titik itu, seseorang mesti ditempa setiap hari bahkan tahunan. Mereka berhasil melarikan diri sebelum musuh yang berada di kapal tunda itu mendarat. “Kamu tidak apa-apa, Liam?” tanya Sardi sambil matanya menatap fokus ke depan. Di wajah Sardi, terdapat beberapa lebam sebagai kenang-kenangan perkelahian tadi. “Tidak apa-apa, Pak.” “Jangan panggil saya Pak. Panggil saja Abang. Usia kita sepertinya tidak terpaut jauh. Saya 35 tahun. Usiamu berapa?” “27 tahun, Pak. Eh, Bang,” Liam meralat ucapannya. “Rencana kita berantakan. Kita pulang tanpa bisa menangkap Bara dan membunuhnya. Di antara kita, pasti ada yang membocorkan rencana ini, atau–– terdapat pengkhianat yang berusah
Lukman dan rombongannya tiba di kediaman Adimas hampir mendekati tengah malam. Perjalanan yang dilakukan tadi siang cukup melelahkan bagi mereka. Untung saja, tidak terjadi kemacetan yang berarti.Lukman turun dari mobilnya. Liam dan Sardi juga turun dari mobil yang berada tepat di belakang Lukman. Pandangan mereka saling bertemu, Sardi memberikan kode kepada Lukman untuk mengatakan sesuatu pada Liam.Lukman mengedipkan matanya sekali kepada Sardi. Ia berjalan menghampiri Liam yang masih berdiri di samping mobil yang ditumpanginya tadi. Sardi melarang Liam untuk mengangkut barang karena ia tahu kalau Liam sedang terluka.“Liam, kamu bisa tidur di kamar yang berada di samping garasi. Samuel kebetulan tidak datang karena ada beberapa urusan keluarga yang mesti diselesaikan.” Lukman menawarkan sebagai tanda terima kasihnya karena telah menyelamatkan Sardi.Tanpa sepengetahuannya, Sardi sempat memberitahukan Lukman kalau Liam mendapatkan luka leba
Liam memarkirkan mobilnya di halaman depan sebuah ruko kecil yang letaknya tak jauh dari pemakaman tadi. Ruko tersebut merupakan kedai kopi pertama yang mereka jumpai saat perjalanan pulang.Saat ia hendak membuka pintu mobilnya untuk memesan kopi di dalam, Andini menghalanginya. “Biar aku saja. Kamu boleh duduk di sini. Kamu mau apa, Liam?”“Kopi hitam.”“Espresso atau americano?”“Apa saja.”Andini turun dari mobil. Seorang barista laki-laki terlihat sedang meracik kopi pesanan pelanggan yang sudah berada di dalam lebih dulu. Ia mendorong pintu kaca yang selalu dilap dan dibersihkan, terbukti tak ada bercak atau bekas yang menempel di sana.Saat Andini melangkahkan kaki kanannya di dalam, sebuah lonceng kecil yang berada tepat di atas kepalanya berbunyi. Sang barista pun akhirnya mengangkat kepalanya dan memberikan salam serta menunjukkan wajah yang sangat ramah.“Selamat pagi, K
Liam memarkirkan mobilnya di halaman depan sebuah ruko kecil yang letaknya tak jauh dari pemakaman tadi. Ruko tersebut merupakan kedai kopi pertama yang mereka jumpai saat perjalanan pulang.Saat ia hendak membuka pintu mobilnya untuk memesan kopi di dalam, Andini menghalanginya. “Biar aku saja. Kamu boleh duduk di sini. Kamu mau apa, Liam?”“Kopi hitam.”“Espresso atau americano?”“Apa saja.”Andini turun dari mobil. Seorang barista laki-laki terlihat sedang meracik kopi pesanan pelanggan yang sudah berada di dalam lebih dulu. Ia mendorong pintu kaca yang selalu dilap dan dibersihkan, terbukti tak ada bercak atau bekas yang menempel di sana.Saat Andini melangkahkan kaki kanannya di dalam, sebuah lonceng kecil yang berada tepat di atas kepalanya berbunyi. Sang barista pun akhirnya mengangkat kepalanya dan memberikan salam serta menunjukkan wajah yang sangat ramah.“Selamat pagi, K