"Alvin, Rifki! Apa yang kalian lakukan, hentikan, kalian membuat kami malu," ucap Ibu yang tergopoh-gopoh mendekat dan melerai mereka." ... kenapa ini bisa terjadi?" ibu masih bertanya, sementara kedua anak dan keponakannya masih saling memandang dengan sengit."Ini salah saya Tante, maafkan saya, saya akan pergi sekarang," ucap Mona sambil menangkupkan tangan dan membalikkan badan."Kamu ya, kenapa harus memukul sodara kamu? Memangnya dia salah apa?" tanya Tante Hani pada ponakannya, suamiku."Saya lagi ngobrol Tante, dan dia tiba tiba dia menunjukkan kecemburuan dan tidak suka. Kalau memang tidak setuju orang lain dekat dengan temannya, kenapa dia harus mengajaknya kemari?""Apa hubunganmu dengan wanita cantik itu, Alvin?" tanya Ibunya Rifki dengan tatapan selidik pada ponakannya. "Kenapa kamu sampai harus memukul Rifki? Apakah wanita itu adalah milikmu?""Tidak juga!""Iya," selaku, wanita itu adalah pacarnya Mas Alvin. Aku menjawab seperti itu dan melipat tanganku di dada samb
Setelah Om Rasyid membalikkan badan kini dia mengedarkan pandangannya pada kami semua. Pria garang berwajah angker itu langsung kembali melotot dan menuding kami semua."Apalagi yang kalian tunggu berdiri di situ? Kenapa tidak masuk dan bantu para asisten untuk membereskan kekacauan yang ada di dalam rumah. Kenapa kalian tidak turut serta menjamu tamu dan malah membuat keributan? dasar tidak berguna!"Aku yang tidak menjawab apa-apa lantas kembalikan badan dan masuk ke dalam sementara ibu mertua hanya diam saja sambil memberi isyarat kepada putranya untuk ikut masuk."Alvin, tunggu kamu, aku ingin bicara!" Ucap om Rasyid."Iya Om, ada apa?""Temui aku di ruang belakang, aku akan bicara padamu!""Iya, om."Seusai memastikan para tamu sudah pulang, sembari minta maaf pada mereka jika telah merasa tidak nyaman, aku segera mengantarkan mereka ke gerbang lalu masuk lagi dan mencari suamiku yang ternyata sedang bertemu di teras belakang dengan omnya."Hah, ini Indira, kebetulan aku sedan
Melihat betapa tegasnya Om Rasyid, aku seakan diberi angin segar dengan hadirnya salah seorang anggota keluarga yang mendukung diri ini. Om Rasyid tampaknya bersikap tegas demi martabat dan kehormatan keluarga."Ba-baik, Om, saya akan telpon.""Sekarang juga!" ujar Paman suamiku dengan mata sangar. Bagaimana dia tidak ditakuti kalau dia adalah seorang pensiunan polisi, tubuhnya tinggi tegap dengan warna kulit sawo matang, ada kumis di atas bibirnya yang sedikit tebal serta tatapan matanya yang nanar."Kenapa lama sekali diangkat?!""Saya tidak tahu Om?""Haruskah aku menelponnya dari nomorku?""Tidak usah oM."Karena tidak kunjung menjawab juga akhirnya suamiku mulai menyerah menghubungi kekasihnya."Di mana wanita itu bekerja?""Dia menjadi bartender di sebuah club' yang cukup terkenal," jawab Mas Alvin."Pantas saja kelakuannya jalang, jika jam kerja dan dunianya adalah dunia malam.""Tapi Tidak semua seperti itu om ....""Kebanyakan begitu!" bentak Om Rasyid dengan tegas, suamiku k
"Baiklah aku akan diam, aku akan diam sampai kau merasa puas dan bertaubat dengan sendirinya." Aku membuang muka sambil melipat tangan di dada. Sesampainya di rumah, mobil kami masuk laku dengan kasarnya Mas Alvin menghentikan mobilnya di garasi. Aku dan anak anak hampir terbentur namun untung saja bisa menahan diri. "Mas, apa yang kau lakukan?!""Tidak sengaja," jawabnya datar. Tanpa banyak bicara lagi, lelaki itu turun dari Pajero lalu menutup pintu mobilnya dengan keras. Aku dan anak anak sampai menutup mata, karena merasa ngeri dengan begitu kencangnya suara pintu.Kuikuti langkah suami yang masuk ke dalam rumah, ia lepaskan sepatu lalu langsung masuk ke kamar utama.Ketika aku masuk kamar juga, dia nampak sedang mengambil selimut dari atas tempat tidur dan sebuah bantal."Kau mau kemana?""Aku akan tidur di ruang TV."Ya ampun, apakah itu bentuk protesnya pada diriku? kenapa? mengapa sikapnya seperti anak kecil kehilangan mainan."Terserah kau saja," jawabku pelan."Kita akan t
Tak punya pilihan, meski malu dan canggung, pria itu tetap mengangkat panggilan Gundiknya. "Halo," ucapnya lirih, dia tau, dia khawatir bahwa aku akan marah sehingga ia pelankan suaranya dengan sangat pelan."Ya ... aku sudah bilang, jangan telpon ketika aku sedang di rumah," lanjutnya sambil menjauh dan tetap waspada dari pandanganku."... Kita harus bicara, kita ketemu nanti," ujarnya sambil mengakhiri panggilan. Aku yang hanya berdiri sambil melipat tangan di dada hanya bisa menggelengkan kepala sambil berdecak kecil dan menggeleng. Kulanjutkan merapikan dapur lalu mencuci piring sementara suamiku berangkat kerja. Perdebatan kami tadi sudah cukup menguras emosi jadi aku tak mau menambah beban hatiku.*Daripada sibuk memikirkan hati yang merana kuputuskan untuk pergi ke gym dan bertemu teman temanku di sana. Mungkin olahraga bisa menyegarkan badan dan membuat pikiranku lebih tenang, jadi, kuganti pakaian lalu mengeluarkan mobil dari garasi dan meluncur pergi.Sesampainya di gym, a
Mungkin begitulah sifat orang yang tidak terlalu memikirkan dosa dan hanya mengejar kemewahan dunia serta bersenang-senang. Mungkin merasa karena belum ada yang mengetahui perbuatan bejat mereka, jadi mereka seolah berada di atas angin dan bebas berbuat apa saja. Tentang lelaki yang kini bersama Mona itu, aku yakin dia punya istri dan anak-anak yang menunggunya di rumah. Juga tentang si jalang Mona, tidak bisakah ia hanya menjalin hubungan dengan seorang pria saja, harusnya ia lakukan ini tanpa harga diri. Ah, Jika sudah memutuskan jadi penggoda suami orang, kurasa wanita itu sudah putus urat malu dan taubatnya. Tapi, aku tinggal betul tentang percakapannya semalam dengan om Rasyid, dia bilang dia sangat mencintai Mas Alvin dan tidak ada satu penghalang pun yang akan memisahkan hubungan mereka. Katanya dia mau menikah dengan suamiku, tapi, apa kenyataannya. Manis di bibirnya tidak sesuai dengan realitas. Kini dia terlihat mesra dengan om om."Sayang, ke kamar yuk," ucap pria yang
"Aku tidak menyangka bahwa kaulah yang telah mengirimkan semua pesan-pesan itu, aku pikir kau mendapatkannya dari informasi orang lain.""Apa bedanya, faktanya, Mona yang kau banggakan, tak rela kau lepaskan adalah pelacur yang mengobral dirinya," jawabku."Hei, jangan mencela diriku, kau pikir kau suci? Membuntuti orang apakah perbuatan yang baik?""Aku tidak membuntutimu secara kebetulan aku berada di sini dan melihat kau dengan pria tua itu, apa salahnya jika, aku istri yang penuh kepedulian pada suamiku memberi tahu apa yang sebenarnya, memangnya itu dosa?" ujarku sambil tertawa sinis."Sebaiknya saya pergi," ucap pria tambun yang sudah berpakaian dan meraih jasnya. Dia mungkin merasa gerah serta sudah tak tahan berada di situasi pertengkaran yang panas."Mas... tunggu!" Mona mencoba menahan pria itu dengan memegang lengannya dan memelas dengan wajah sedih."Saya tidak menyangka, ya, kamu murahan juga. Saya pikir kamu hanya setia untuk saya, rupanya, kau wanita rubah," desis pr
Di mobil yang dikendarai oleh Mas ALvin kami duduk bersisian dalam posisi diam saja, rasanya tidak ada seorangpun yang mau mengurai kebisuan dengan untaian aksara atau ucapan kata maaf atas kesilapan yang terjadi. Telah terjadi pertengkaran saling memukul dan aksi membuka topeng kekasihnya yang sebenarnya namun pria itu masih setia membisu.Ingin kumulai percakapan tapi tidak tahu harus memulai percakapan apa, saling menyinggung juga bukan solusi yang baik tapi jika tidak diungkapkan maka rasa sakit itu menggumpal menjadi dendam dan kebencian sepanjang masa."Jadi, Bagaimana perasaanmu mendapati wanita yang selama ini kau cintai ternyata menghianati cintamu. Dia bermain dengan perasaan dan kesetiaan yang kau miliki hanya untuknya.""Aku tidak punya komentar," desah suamiku dengan matanya nyalang seakan-akan pikirannya sedang tertuju pada satu tempat dan dia sangat fokus sekali.,"Orang yang kau anggap sebagai calon istri masa depan ternyata adalah pelacur murahan?""Cukup, jangan teru