Sudah satu minggu sejak Ilham kerja denganku. Aku tak pernah bertemu dengan Putra. Kami hanya berkirim pesan saja. Dia juga tak pernah menelfon."Ham, Putra baik-baik aja, kan?" tanyaku."Mbak Kinan kangen ya sama Mas Putra?" tanya Ilham balik."Gak gitu, biasanya dia gak pernah telat ke rumah. Ini udah seminggu gak ke rumah. Udah gitu gak pernah nelfon hanya berkirim pesan saja," jawabku."Bilang aja kangen, Mbak. Setahu aku dia sibuk, Mbak. Dia sedang buka cabang resto baru," kata Ilham."Ya udah kalau emang dia sibuk," kataku.Aku memaklumi jika Putra sibuk dia kan pengusaha dengan banyak usaha yang dia geluti. Bukan seperti aku yang hanya karyawan biasa. Ku lihat Pak Wilii juga jarang masuk ke kantor. Semua urusan sering dilimpahkan pada asistennya dan Mbak Indah."Mbak, Pak Willi gak datang lagi?" tanyaku."Ngapain sih kamu tanya Pak Willi melulu. Dia kan bos jadi suka-suka dia," jawab Mbak Indah."Iya kamu kaya pacarnya Pak Willi aja sih, Nan," tegur Erina.Aku mengirim pesan pa
Sampai di rumah aku segera mandi. Ku tutup pintu kamar rapat-rapat agar tak ada yang mengganggu.Ku buka halaman awal, menceritakan waktu dia pertama kali bertemu dan Kiara di taman.Halaman ke dua sampai sepuluh masih seputar hubungan dia dan dan Kiara. Ternyata dia mulai menyukaiku sejak Mas Arfan menuduhku selingkuh dengan Putra.Ku baca sampai halaman terakhir. Air mata ini seketika menetes begitu saja. Bagaimana tidak ternyata Putra mengidap penyakit kanker. Selama ini dia juga sudah menaruh hati padaku namun lebih memilih diam. Apalagi saat proses perceraianku dengan Mas Arfan.Ada hal yang tidak aku kira dari Putra. Dia meminta Ilham untuk menjagaku. Pantas dia mencarikan akh bodyguard. Ternyata Ilham tidak hanya diamanahkan untuk menjagaku saja tapi mendampingiku.Dalam buku itu, tertulis jika Ilham menolak tapi Putra terus mendesaknya karena umurnya tak bertahan lama hingga akhirnya Ilham menyetujui permintaan Putra.Ku simpan buku itu lalu keluar kamar karena sudah waktunya
Aku sampai di rumah sakit langsung berlari menuju ruangan Putra. Di sana sudah ad Pak Willi dan istrinya."Putra, aku di sini. Kamu harus sembuh," ucapku. Air mataku tak terbendung lagi, Putra sudah kejang-kejang tak karuan.Sesaat dia tak kejang,"Kinan, aku mencintaimu," ucap Putra."Aku juga mencintaimu," ucapku.Dokter mengambil tindakan, Putra sudah tak dapat berbicara lagi. Aku menunggu di sampingnya. Sementara Kiara aku pasrahkan pada Ilham."Kinan, ini sudah sore. Apa tidak sebaiknya kamu minta jemput Ilham?" tanya Pak Willi."Gak, Pak. Biarkan malam ini aku yang jaga Putra. Kalian pulang saja," jawabku.Aku ingin menemani Putra di saat terakhir hidupnya. Dia sudah banyak menolongku selama ini.Sebelum Pak Willi pulang, Mama dan papa menjeguk Putra. Mereka menguatkan Pak Willi agar tetap sabar."Kinan, kalau kamu di sini. Mama akan ke rumah nemenin Kiara," kata mama."Iya, Ma. Kinan titip Kiara ya," kataku.Mama pulang, begitu juga dengan Pak Willi dan istrinya. Aku mengambil w
Kematian Putra membuatku turut sedih sekali. Bahkan berbeda dengan saat Mas Arfan dinyatakan meninggal. Apa mungkin karena aku dulu sudah tak mencintai Mas Arfan? Bisa jadi."Kinan, kamu tak ikut ke acara tahlilan Putra?" tanya mama."Ikut, Ma. Sebentar lagi aku siap-siap," jawabku.Kami berangkat tahlilan ke rumah Putra selama tujuh hari full. Setelah tujuh hari kematian Putra aku berangkat kerja seperti biasa diantar Ilham.Sore itu aku mampir ke resto untuk membeli makana. Aku melihat seseorang mirip Mas Arfan dia berdiri tidak jauh dari mobil seseorang. Aku ingat mobil itu seperti mobil mama mertua.Aku kembali ke mobil, membuat Ilham heran."Kenapa balik, Mbak?" tanya Ilham."Aku melihat orang mirip mantan suamiku," jawabku.Tidak berapa lama aku melihat mama mertua dan Ana ke luar dari restoran mereka mendekati Mas Arfan."Jadi selama ini mereka tahu Mas Arfan masih hidup?" tanyaku."Wah gak bener, Mbak. Mereka membohongi Mbak Kinan," sahut Ilham.Setelah mobil yang dibawa Mas
Ketika aku terbangun, aku berada di rumah. Ternyata Ilham membawaku pulang. Mama dan papa ada di sana.Ya, aku juga melihat Mas Arfan di sana. Dia tengah dimarahi habis-habisan oleh papa."Mau kamu apa? Ganggu Kinan terus," kata papa."Aku hanya ingin Kinan mengizinkan aku menemui Kiara sebulan sekali, Pa," jawab Mas Arfan tertunduk."Kamu mau melanggar perjanjian yang sudag kamu tanda tangani? Apa kamu juga kurang puas telah membohongi semua orang dengan pura-pura mati?" tanya papa penuh emosi.Aku tak melihat Kiara, sepertinya di sedang bersama Ilham di luar."Kamu sudah merusak ketenangan Kinan. Aku gak akan memanfaatkan kamu. Akan aku laporkan kamu ke kantor polisi," ucap papa."Jangan, Pa! Aku mohon jangan!" pinta Mas Arfan sambil berlutut di kaki papa."Kamu kira aku akan percaya padamu lagi?" tanya papa. "Kalau kamu berani mengganggu Kinan, maka aku juga akan mengganggu Ana. Aku bisa buat kamu kehilangan dia dan anak dalam kandungannya," ancam Papa.Aku tahu papa sudah tidak bi
Kinan sampai di rumah, dia melihat api melalap sebagian rumahnya. Bi Sri sudah memanggil pemadam kebakaran."Bi, bagaimana ceritanya?" tanyaku bingung. Padahal saat aku pergi keadaan rumah baik-baik saja."Sepertinya ada yang sengaja membakar rumah Non Kinan," jawab Bi Sri. "Aku melihat ada orang membawa jerigen. Dia langsung menyulutkan api setelah menyiram sebagian rumah dengan bensin," sambung Bi Sri."Aku yakin ini pasti ulah Arfan," kata papa. "Aku tidak terima Kinan," kata papa marah.Memang tidak semua terbakar, hanya bagian belakang saja. Namun, tetap saja aku harus mengeluarkan biaya lagu untuk memperbaikinya."Pak, lebih baik kita tunggu keterangan dari polisi dulu," kataku.Api sudah padam, kami pun bertanya pada polisi apa penyebab kebakaran di rumah kami."Sepertinya dugaan Bi Sri benar, Bu Kinan. Ada orang yang sengaja membakar rumah ini," kata polisi. "Kami akan mengusut kasus ini," sambung polisi.Rumahku masih bisa ditempat namun bagian belakang harus di perbaiki. Kam
Aku pusing memikirkan semua ini. Apa mungkin papa selamat? Tapi kenapa dia tak menghubungiku? Lalu mama dimana dia? Pikiranku tak karuan."Ma, jangan sedih ya! Oma dan Opa pasti baik-baik saja," kata Kiara."Benar, Mbak. Kita doakan mereka saja agar tetap lindungan Allah," ucap Ilham.Rumahku sudah selesai di renovasi, namun aku belum berani kembali mengingat rumah mama pasti akan sepi."Bagaimana mungkin Kiara bisa melihat papa di resto, Ham? Apa papa memang sengaja membuat rencana ini?" tanyaku."Jika seperti itu, apa tujuannya?" tanya Ilham."Entahlah aku tak tahu. Jika memang benar aku sangat kecewa padanya," jawabku.Malam itu aku tak bisa tidur. Aku melihat ada orang masuk ke rumah mama. Aku melihat dia masuk ke kamar mama."Siapa kamu?" tanyaku setengah berteriak.Orang itu langsung saja pergi melalui jendela. Aku kehilangan jejaknya."Ada apa, Mbak?" tanya Ilham baru datang."Ada orang masuk kamar mama," jawabku."Coba kita cek apa yang hilang," kata Ilham.Kami mengecek kamar
Sampai saat ini belum juga ada perkembangan perihal hilangnya orang tuaku. Aku semakin pusing, jika polisi saja tidak bisa menemukan papa apalagi aku dan Ilham.Saat aku tengah melamun sore itu, Mas Arfan datang. Dia menawarkan bantuan untuk mencari orang tuaku."Kinan, bagaimana kalau aku bantu kamu?" tanya Mas Arfan."Bantu aja kalau kamu mau. Siapa tahu kamu bisa temukan orang tuaku," jawabku.Mas Arfan lalu pulang, entah apa yang dia lakukan untuk membantuku."Tadi Mas Arfan ke sini, dia bilang akan membantu," kataku.Seketika raut wajah Ilham berubah, dia diam saja."Kamu kenapa?" tanyaku."Oh tidak, Mbak," jawab Ilham.Aku merasa Ilham tak suka Mas Arfan menemuiku. Apa dia cemburu? Entah hanya dia yang tahu.***Dua hari berlalu, tiba-tiba saja Mas Arfan datang. Yang membuat aku terkejut, dia membawa mama dan papa. Hanya saja keadaan mereka babak belur."Mama...papa...," teriakku.Ilham langsung membantu Mas Arfan membawa Mama dan papa ke kamar. Aku segera memanggil Dokter ke