Tidak berapa lama mama juga sampai di rumah Mas Arfan. Mata mama terlihat sembab karena habis menangis."Di mana Kiara? Dimana dia, Ana?" tanya Mama mengguncang tubuh Ana.Ana hanya diam, mana mungkin dia berani dengan mama."Kiara sama Mas Arfan, Ma," kataku."Di mana Arfan sekarang?" tanya Mama."Kami tidak tahu, dia tidak bisa dihubungi," jawabku.Sampai magrib aku di rumah Mas Arfan tapi tak ada kabar dari Mas Arfan. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang bersama mama.Sampai rumah aku mandi karena tubuhku sudah lengket. Tidak berapa lama Putra datang. Dia tampak khawatir tahu Kiara di bawa Mas Arfan.Sore tadi dia menanyakan keberadaan Kiara jadi aku cerita saja yang sebenarnya."Bagaimana, Kinan? Apa Kiara sudah pulang?" tanya Putra."Belum, Mas Arfan tidak bisa dihubungi," jawabku."Aku curiga Arfan menggunakan Kiara untuk senjata agar kamu mau rujuk dengannya," kata Putra."Benar, mama juga menduga seperti itu," kata mama. "Lalu bagaimana kalau memang itu alasan Arfan membawa Ki
Kami semua keluar dari rumah itu dan melihat siapa yang tertembak. Kami terkejut melihat siapa yang tergeletak di rerumputan.Dua polisi mengejar Mas Arfan, yang satu menelfon seseorang. Ternyata yang tertembak adalah salah satu polisi yang berusaha menangkap Mas Arfan."Apa yang terjadi, Pak?" tanya Papa."Arfan berhasil merebut pistol teman kami, saat rebutan teman kami tertembak," jawab polisi.Tidak berapa lama ambulan datang, polisi yang tertembak langsung di larihan ke rumah sakit."Kalian harus tetap waspada! Jika Arfan tertangkap nanti saya kabari," kata polisi.Kami pulang namun masih was-was. Mas Arfan masih dalam pengejaran polisi."Kenapa kalian bisa datang?" tanyaku."Putra berhasil mengikuti kamu, jadi papa bawa polisi," jawab papa.Kami pulang, tapi aku melihat Kiara masih tampak trauma.***Esoknya polisi memberi kabar bahwa Mas Arfan berhasil lolos dari kejaran polisi. Dia bahkan masih membawa senjata milik polisi yang tertembak."Pa, bagaimana kalau Mas Arfan datang
Pria tersebut bukan Mas Arfan, yang kami tahu dari pihak petugas kebersihan kemungkinan dia adalah pria bisu cabul yang biasa melakukan pelecehan di sekitar pengadilan."Sepertinya dia pria bisu itu yang suka melakukan pelecehan," kata petugas kebersihan.Kami membawa orang tersebut, namun ternyata dia bisu sehingga tidak bisa diajak komunikasi dengan mudah."Siapa namamu?" tanya petugas."Aku Deni," jawabnya. Dia menulis di kertas yang di sediakan oleh petugas."Kenapa kamu masuk ke toilet perempuan? Apa kamu pria yang diisukan sering melakukan pelecehan?" tanya petugas."Iya, saya pelakunya. Naasnya kali ini aku ketahuan," jawabnya lagi dia tulis dalam kertas."Kamu harus bertanggung jawab atas perbuatan kamu," kata petugas."Maafkan aku. Aku janji tak akan mengulangi lagi," kata pria bisu itu dalam kertas.Kami memilih jalur hukum, kami tidak mau ada korban selanjutnya. Pria itu marah pada kami. Tapi kami tak peduli, yang salah tetap harus dihukum.Pria itu berusaha berteriak walau
Ternyata yang memegang bahuku adalah tangan mama. Aku sampai hampir berteriak."Mama, bikin takut aja," kataku."Ngapain kamu di sini bengong?" tanya mama."Aku tadi lihat orang di dekat pohon sana, Ma," jawabku. "Tapi pas aku lihat lagi udah gak ada, eh malah mama pegang bahuku kan jadi takut," kataku."Belum tidur kamu?" tanya mama."Gak bisa tidur, Ma. Makanya Kinan bikin kopi," jawabku."Kinan, kamu sekarang single parent. Tapi mama yakin kamu kuat dan bisa membesarkan Kiara," kata mama.Aku duduk bersama mama di meja makan. Kami mengobrol sebentar."Jadi single parent memang berat, tapi kamu masih punya mama dan papa yang akan selalu support kamu. Jangan pernah sungkan untuk meminta bantuan sama kami," tutur mama."Iya, Ma. Kinan hanya punya kalian, kalau bukan ke kalian Kinan minta tolong pada siapa lagi," kataku.Aku memeluk mama, aku memang sudah besar. Tapi di saat seperti ini aku juga butuh pelukan dan pundak mama untuk bersandar. Bukan berarti sudah dewasa aku tidak butuh m
Kotak itu berisi fotoku dan Kiara namun sudah dicoret-coret dengan spidop berwarna merah. Bahkan dalam foto tersebut wajah kami dibuat sangat menyeramkan."Siapa yang melakukan ini?" tanyaku.Erina masuk ke ruangan ku, dia terkejut melihat isi kotak yang ada di depanku.Sepulang kerja aku langsung ke kantor polisi. Aku takut jika paket itu ada kaitannya dengan Mas Arfan."Baik, Bu. Kami akan usahakan agar cepat menangkap Pak Arfan," kata polisi.Aku langsung pulang, namun dalam perjalanan aku melihat seorang pria mirip dengan Mas Arfan. Dia tengah menaiki sebuah motor."Apa mungkin dia Mas Arfan?" tanyaku bingung.Aku tak mau terus bengong, aku segera pulang. Sampai di rumah, Kiara memelukku."Mama, tadi aku lihat orang mirip papa berada di sekitar sekolahanku," kata Kiara."Benatkah? Apa yang aku lihat tadi juga sama?" tanyaku."Mama juga melihat orang mirip papa?" tanya Kiara.Aku mengangguk pelan, ku ajak Kiara masuk ke dalam rumah. Situasinya belum aman, aku masih butuh penjaga.*
Kami senang bisa pindah rumah. Kami merasa keadaan sudah aman. Jadi aku tidak perlu khawatir lagi.Siang itu hari minggu, Ana menelfonku."Mbak Kinan apa kabar?" tanya Ana."Alhamdulillah baik," jawabku."Mbak, bisakah hari ini kita bertemu?" tanya Ana. "Bagaimana kalau kita bertemu di luar saja?" tanya Ana. "Aku gak enak kalau ke rumah mama Mbak Kinan," kata Ana."Oh ya, nanti jam dua ya," jawabku. "Soalnya ini Kiara masih tidur siang," kataku."Iya, Mbak," kata Ana.Pukul 13.45 aku mengajak Kiara menemui Ana di restoran milik Putra. Bukan karena aku ingin ketemu Putra. Hanya saja itu tempat terdekat dari rumah ibu mertua.Lagi pula, Putra belum tentu ada di restorannya. Dia pasti sedang di toko baju."Maaf ya, Mbak kalian jadi nunggu aku," kata Ana."Oh ya An, kamu masih tinggal sama mama?" tanyaku."Iya, Mbak," jawab Ana. "Tapi aku sih pengen kala tinggal di rumah Mas Arfan saja, mungkin bulan depan aku pindah," kata Ana."Ya ada baiknya memang begitu," kataku. "Oh ya ada apa kamu
Aku mendadak takut jika orang itu mau mencelakaiku dan Kiara. Nyatanya dia terus mengikutiku.Aku langsung menelfon Putra, aku meminta bantuannya untuk mencarikan bodyguard sekaligus supir untukku."Kenapa kamu berubah pikiran?" tanya Putra."Penelfon misterius itu ternyata sudah tahu rumah baruku, aku takut dia mau celakai aku dan Kiara, Put," jawabku."Ya sudah, aku akan hubungi temanku," kata Putra.Aku berharap Putra segera menemukan penjaga yang tepat untukku. Sebenarnya aku ingin memberitahu papa, tapi pasti papa panik dan memintaku balik ke rumahnya.Ponselku berdering, panggilan dari Mama."Halo Kinan, apa kabar?" tanya mama."Alhamdulillah baik, Ma," jawabku."Oh ya siapa yang jemput Kiara?" tanya Mama."Putra, Ma," jawabku."Oh ya udah berarti aman. Kamu gak kenapa-kenapa, kan?" tanya Mama. "Soalnya beberapa hari ini mama merasa khawatir dengan kalian," kata mama."Sebenarnya Kinan mendapat telfon misterius, Ma. Penelfon itu tahu rumah baru Kinan," ucapku.Aku harus jujur de
Sudah satu minggu sejak Ilham kerja denganku. Aku tak pernah bertemu dengan Putra. Kami hanya berkirim pesan saja. Dia juga tak pernah menelfon."Ham, Putra baik-baik aja, kan?" tanyaku."Mbak Kinan kangen ya sama Mas Putra?" tanya Ilham balik."Gak gitu, biasanya dia gak pernah telat ke rumah. Ini udah seminggu gak ke rumah. Udah gitu gak pernah nelfon hanya berkirim pesan saja," jawabku."Bilang aja kangen, Mbak. Setahu aku dia sibuk, Mbak. Dia sedang buka cabang resto baru," kata Ilham."Ya udah kalau emang dia sibuk," kataku.Aku memaklumi jika Putra sibuk dia kan pengusaha dengan banyak usaha yang dia geluti. Bukan seperti aku yang hanya karyawan biasa. Ku lihat Pak Wilii juga jarang masuk ke kantor. Semua urusan sering dilimpahkan pada asistennya dan Mbak Indah."Mbak, Pak Willi gak datang lagi?" tanyaku."Ngapain sih kamu tanya Pak Willi melulu. Dia kan bos jadi suka-suka dia," jawab Mbak Indah."Iya kamu kaya pacarnya Pak Willi aja sih, Nan," tegur Erina.Aku mengirim pesan pa