Dew berdoa semoga Tara tidak mengatakan keadaannya mengingat tadi ketika sedang menerima panggilan dari Galen, ia mendengarkan percakapan kecil antara Galen dan Tara walaupun tak sampai selesai. Ia tak ingin Galen, Tara ataupun orang-orang sedivisinya mengetahui kondisinya yang sebenarnya.
Tak lama berselang pintu ruang kesehatan terbuka dengan sedikit kasar dan nampaklah Tara yang terlihat terengah-engah seolah habis berlari dengan membawa tas yang berisi obat Dew.
“Are you ok?”
“No, i’m not. Wait, sebelum kamu nanya kenapa biarin aku tarik nafas dulu.” Tara menarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan. “Omg, nafas gue.” Ucap Tara sambil mengusap dadanya dengan nafas yang masih terputus-putus.
“Pelan-pelan aja, Ra.” Dew mengulurkan tangannya untuk meraih tas yang ada di tangan Tara. Tara segera bergegas mengambilkan Dew segelas air putih agar Dew dapat meminum obatnya.
“Hai, Ra.” Sebuah suara yang terdengar ceria berja
Alvis dan Galen hanya diam membisu selama di dalam lift menuju ke lantai letak ruang kesehatan berada. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Galen yang sibuk pikirannya terbagi antara khawatir dengan keadaaan Dew dan bagaimana caranya menjelaskan ini semua pada Alvis. Sedangkan Alvis sibuk menerka-nerka apakah benar yang nama Dew yang tak sengaja ia dengar disebutkan dalam percakapan antara Galen dan Tara adalah Dew yang sama. Sosok yang selama ini membuatnya hampa selama tiga tahun terakhir? Lift berhenti di lantai tujuan mereka. Dengan langkah terburu-buru keduanya segera menuju ruang kesehatan tapi kemudian langkah mereka berdua melambat. Menyadari mereka sama-sama memperlambat langkah. Mereka berdua pun berhenti di koridor tepat di samping ruang kesehatan. “Before I enter that room. Aku ingin mendengarkan penjelasannya dari Lu.” kata Alvis dengan kemarahan dan kekecewaan yang tertahan di dada. Alvis menarik nafas panjang menenangkan se
Dew terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang lebih ringan. Penglihatannya masih kabur menyesuaikan dengan cahaya ruangan. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan dan netranya terbelalak meihat sosok yang ada di hadapannya. Seketika nafasnya terasa sesak dan dadanya sakit seperti tertusuk ribuan jarum. Dew mulai panik keringat dingin mulai mengucur dan kepalanya mulai terasa pening - Ia mual. “Aaaaaaa….!!! Tolong jangan mendekat! Tinggalkan saya. Tolong pergi!! “ teriak Dew yang membuat Alvis dan Dokter cantik terkejut. “Pergi … pergi … pergiiiiii!!! Dew berteriak keras disusul suara tangis tersedu-sedu. Alvis yang masih bingung dengan terpaksa keluar dari ruangan tersebut. Dirinya begitu shock dengan kejadian yang baru saja terjadi. Ia tak menyangka reaksi Dew akan seperti itu ketika melihatnya. Sementara itu, dokter masih terus berusaha untuk menenangkan Dew. Memeluk Dew mencoba mengalihkan perhatiannya. Segera diraihnya tas Dew berusaha mencari
Dengan langkah berat Alvis berjalan perlahan menuju ruangan Galen meninggalkan beberapa dokumen kontrak yang belum selesai ia tinjau ulang. Baru saja beberapa langkah ia ambil pintu ruangan kesehatan menjeblak terbuka dengan suara sedikit gaduh. Seketika ia berbalik dan mendapati raut wajah kaget yang kemudian segera berubah berganti dengan wajah penuh kemarahan serta kebencian yang sangat kentara dari wajah Tari. “Kamu... kamu ngapain ada di sini?” ujar Tari galak. “Wait, jangan bilang ini adalah salah satu perusahaanmu?” Melihat reaksi Alvis yang diam saja telah menjawab pertanyaan Tari. “Omg, i cant believe this. After all the places in this country...” Tari mengusap wajahnya frustrasi masih tak percaya dengan kejadian yang dialaminya. Ia harus bergerak cepat menjauhkan Dew dari sumber utama trauma gadis itu. “Gue mohon sama Lu untuk jangan pernah muncul lagi di hadapan Dew.” Pinta Tari. “Kenapa? Setelah tau apa yang terjadi sama
Jam kerja telah selesai. Satu persatu karyawan meninggalkan ruangan hingga ruangan benar-benar sepi. Matahari telah masuk ke peraduannya sejak lima belas menit yang lalu menyisakan bayangan seseorang yang duduk diam dalam kegelapan. Sejak kembali ruangan kesehatan Alvis kembali ke ruangan Galen dan duduk diam di situ tak melakukan apapun. Pikirannya sibuk dan kalut memikirkan kejadian mengagetkan yang dialaminya hari ini. Ia bersyukur akhirnya dapat bertemu dengan seseorang yang membuatnya mengubek-ubek seluruh Indonesia demi mencari keberadaan gadis itu. Di saat dirinya memutuskan menyerah, alam semesta mempertemukan mereka kembali. Tapi, justru rasa sakit yang ia dapatkan melihat reaksi gadis yang menjadi pemilik hatinya. Alvis marah, sedih, dan kecewa pada dirinya sendiri karena hal itu disebabkan oleh perbuatannya di masa lalu. Desember 2014 Alvis dan Dew baru saja akan masuk ke dalam bioskop ketika langkah ALvis dihentikan oleh getaran yang
Sesuai dengan janji di telefon semalam saat ini mereka berdua telah berada di selasar rumah sakit sedang menuju ruangan dokter Ryan sembari bersenda gurau. “Lu tau kan kalo laki gue itu lawakannya tipe bapak-bapak banget yang lebih banyak garingya?” ucap Tari yang menceritakan tingkah absurd suaminya. Langkah kaki mereka berhenti tepat di depan pintu praktek dokter Ryan. “Aku temenin?” “Gak usah. Aku bisa, kok?” bersamaan dengan itu, Tari mengetuk pintu ruang praktek dokter Ryan. “Hai, Dok. Nih, Dew dah datang.” “Hai, Tar. Apa kabar, nih? Maaf, ya. Gak bisa datang di pernikahan kamu.” Dokter Ryan segera bangkit dari kursinya dan menjabt tangan keduanya satu persatu. “Iya, gak apa-apa, kok. Aku ngerti.” “Hai, Dew? Sapa dokter Ryan ramah. “Halo, dok.” Balas Dew canggung. “Beneran gak mau aku temenin? Tanya Tari memastikan kembali yang dijawab Dew dengan gelengan. “Ya, udah. Aku nunggu kamu di kafe depan yah?”
BAB 20Alvis berjalan memasuki apartemen Galen dengan lesu. Ditariknya dasi yang sudah mengendur dan direbahkan dirinya di sofa ruang tengah. Apartemen masih lengang menandakan sang pemilik masih belum pulang. Alvis berbaring terlentang, pikirannya melayang pada pertemuan tak sengajanya dengan Dew serasa menyedot habis seluruh tenaganya. Semuanya masih kabur dan serasa mengambang baginya. Permintaan maafnya yang tersimpan selama bertahun-tahun akhirnya terucap walaupun tidak membuatnya lega. Pengakuannya masih belum mendapatkan reaksi apapun dari Dew selain air mata yang menggenang di wajah imutnya yang sembab. Satu-satunya kunci untuk mendaptkan informasi apa yang terjadi pada Dew saat dia menghilang adalah Tari dan juga keluarga Tari. Tapi, itu semua tak mudah karena Tari yang begitu defensif dan membencinya sedngkan untuk mengorek informasi dari orang tua Tari pun bukanlah hal yang mudah. Orang tua Tari cukup punya nama dan mereka seperti punya sistem yang
Tidak ada percakapan sepanjang perjalanan pulang menuju rumah Tari. Keduanya terdiam menikmati suasana senja gerimis dari balik kaca mobil. Tari yang menyetir tak henti-hentinya menoleh pada Dew. Mencoba membaca raut wajah sahabatnya itu tapi tak berhasil. Dew sedari tadi menyembunyikan wajahnya dengan menatap aktifitas jalan raya yang semakin ramai dan padat walaupun sedang gerimis. Tari hanya dapat melihat refleksi Dew yang kabur dari pantulan kaca jendel mobil. Yang Tari rasakan saat ini adalah sepertinya beban, kekhawatiran, dan ketakutan Dew sedikit mulai berkurang karena pengakuan Alvis siang tadi. Walaupun ia tidak seratus persen yakin tapi setidaknya itu yang dia rasakan dari reaksi yang ia terima saat memeluk Dew tadi. Dew memang menangis hebat tapi yang dapat ia tangkap itu bukan tangis kesedihan ataupun kecewa. Jadi, ia berharap pertemuan yang tak disengaja tadi sekaligus pengakuan dari Alvis dapat menjadi salah satu obat untuk Dew. Tak terasa mobil yang mereka kendarai t
BAB 22Alvis berjalan dengan terburu-buru. Semalam ia tak dapat memejamkan mata, akibatnya ia tak dapat fokus ke pertemuan penting yang membicarakan kontrak senilai milyaran rupiah. Alvis bersungut dalam hati pada sekretarisnya di kantor pusat karena dengan liciknya menyelipkan jadwal di tengah waktu lengang yang sudah lama ia rancang demi mengistirahatkan hati, otak, dan pikirannya sembari melanjutkan misinya mencari Dew. Mencari Little Ai-nya yang ternyata semesta mempertemukan mereka di sini. Di kota yang tak terpikirkan oleh Alvis. Untung saja ketidakfokusannya bisa diisi oleh Galen yang cepat tanggap membaca situasi dan keadaan. Ia terlambat tiga puluh menit dari waktu janjiannya dengan Tari. Hampir semua meja di restoran terisi penuh karena masih jam makan siang. Segera ia langkahkan kakinya menuju meja yang sudah lebih dulu dipesan oleh Tari.“Hai, maaf. Aku terlambat.” ucap Alvis merasa tidak enak.“Tak apa. Ak