Mobil yang dikendarai Alvis melaju membelah jalanan yang basah diguyur air hujan. Ia merutuki dirinya karena tidak dapat mengendalikan diri hingga terbawa emosi. Seharusnya ia bisa menahan diri. Terpaksa ia harus melewati hari ini dengan sendu. Padahal seharusnya hari ini ia bisa menikmati waktu yang berkualitas dengan Ai-nya. Kesempatan yang hanya bisa ia nikmati dan ia dapatkan di akhir pekan. Memang ada yang mengganggu pikirannya semenjak pertemuan keluarga besar. Tapi, sebisa mungkin ia sembunyikan tak ingin ia tunjukkan pada Dew. Larena pasti Dew akan menyalahkan diri sendiri jika mengetahuinya. Sejak pertemuan keluarga besar Komunikasi dengan ayahnya semakin sengit ditambah lagi keluarga besar ayahnya yang mengetahui apa yang ia lakukan selama hampir dua bulan di kantor cabang. Ayahnya masih bersikeras dengan pemikiran dan tindakannya. Alvis bersumpah kali ini dia tidak akan mengalah. Dulu ia tak bisa berkutik karena tak memiliki kekuatan dan pengaruh. Dia tak akan melepas apa ya
PROLOGSeptember, 2018Basah…basah…telat…telaaattt, Pekik gadis itu dalam hati sambil merutuki hujan yang turun deras sejak subuh memaksanya harus berlarian dari halte bis ke depan lobi kantor. “Maafkan hambamu ini ya Allah mengomel akan rezeki yang kau curahkan di bumi ini,” ucap gadis itu pada diri sendiri. Gadis itu melangkahkan kakinya lebar-lebar memasuki lobi kantor dan melesat masuk ke dalam lift. Lima menit lagi aku akan terlambat, Gak banget kan, terlambat di hari pertama bekerja. Aku menyandarkan badanku di dinding lift menetralkan nafasku yang memburu karena berlari. Ku tatap aliran air hujan di kaca dari dinding lift yang transparan. Mengapa hujan selalu mengingatkan ku tentangnya?
Agustus, 2009 Senyum riang tersungging di bibirnya ketika menapaki tangga di salah salah satu gedung universitas bergengsi di Indonesia ini. Dewintra Asyakina Manyana, seorang gadis dari pulau kecil yang berhasil membuktikan dirinya dapat diterima di salah satu universitas terbaik tanpa harus susah payah mengikuti tes masuk. Sejak SMA dia sangat menyukai dunia periklanan. Bagaimana hanya dengan sebaris kata – kata dapat membuat orang terhipnotis. Dew, begitu biasa ia disapa dengan senyum sumringah berjalan masuk ke gedung tempat penerimaan mahasiswa baru tingkat universitas akan diadakan. Nomor tempat duduknya berada di lantai. Ia menengadahkan pandangan ke sekeliling ruangan. Banyak dari mahasiswa baru yang tampaknya sudah saling mengenal dan saling berbincang akrab. Dew mendengus memikirkan nasibnya yang sampai saat ini belum memiliki teman baru. Ia punya teman SMA yang juga lulus di Universitas ini tetapi mereka berbeda jurusan dan nomor kursi mereka
Alvis Prawira atau Wira panggilan dari sahabatnya Wina tapi orang lain yang diluar lingkaran orang dekatnya memanggilnya Alvis. Seorang ketua BEM Fakultas Ekonomi yang dikenal tak banyak bicara, tapi memiliki kharisma yang membuatnya disegani. Sepak terjangnya dalam organisasi kemahasiswaan membuatnya dikenal sebagai ketua BEM yang tak pernah takut menyuarakan aspirasi banyak orang. Walaupun ia memiliki lingkaran pertemanan yang luas tapi hanya segelintir saja yang benar – benar mengetahui kehidupan pribadinya, salah satunya adalah Wina. Ia dan Wina sudah saling mengenal sejak SMP, SMA, hingga kuliah pun mereka secara kebetulan lulus di Universitas yang sama dan di Jurusan yang sama. “Hai, pak ketua,” sapa salah seorang pengurus BEM saat Alvis menjejakkan kakinya di pelataran dekat ruang BEM. “Hai,” balas Alvis sembari tersenyum “Dicariin Wina tuh dari tadi. Udah mencak-mencak dia dikit lagi kebakar tuh rambut saking panasnya.” Alvis hanya terkekeh me
Dew berjalan dengan lesu menapaki tangga kos menuju kamarnya yang berada di lantai 2. Ia bersyukur karena jarak kos dan kampusnya lumayan dekat. Bisa ditempuh dengan berjalan kaki sehingga ia bisa menghemat uang bulanan untuk hal – hal tak terduga. Kosannya ini terletak dekat dengan kampus dan berada di area yang memang banyak bangunan kos – kosan. Ia tak perlu dipusingkan dengan keperluan perut, mandi, dan kuliah karena hampir semuanya tersedia. Cukup sediakan uang. Ia melangkah masuk ke kamarnya dan langsung merebahkan dirinya di atas kasur busa sederhana. Kamarnya tak terlalu besar tidak juga sempit. Cukup untuk satu orang dengan satu buah lemari pakaian, satu buah rak buku, dispenser, dan penanak nasi. Itu sudah lebih dari cukup. Ingatannya melayang pada kejadian siang tadi di pinggir danau. Dew tersenyum mengingat kejadian tadi. Ia berharap laki – laki itu tidak menyadari perubahan warna pada wajahnya yang terlalu terkejut dan malu saat itu. Cukup Dew, jangan kebany
Alvis berlari kecil menuju gudang pusat kegiatan mahasiswa yang sudah terlihat di depan matanya. Ia semakin mempercepat langkhanya dikarenakan hujan yang semakin deras sambil mendekap erat Notebook yang ia sembunyikan di balik jaketnya. Pekerjaannya sedikit terganggu dikarenakan hujan yang turun saat ia tengah berada di tempat favoritnya di sebuah kursi panjang dekat danau. Tempat biasa ia mencari ide dan inspirasi menulis dan mengerjakan artikel yang akan ia kirimkan ke beberapa koran dan majalah. Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa atau mereka biasa menyebutnya PKM tinggal beberapa langkah lagi saat Alvis secara spontan memicingkan matanya untuk mempertajam indera penglihatannya, tak yakin dengan apa yang dilihatnya. Sejak pertemuan pertama mereka di danau, Alvis sempat beberapa kali sengaja melewati tempat itu berharap mungkin saja ia akan bertemu lagi dengan gadis itu tapi selalu saja berakhir dengan
Alvis berlari kecil menuju gudang pusat kegiatan mahasiswa yang sudah terlihat di depan matanya. Ia semakin mempercepat langkhanya dikarenakan hujan yang semakin deras sambil mendekap erat Notebook yang ia sembunyikan di balik jaketnya. Pekerjaannya sedikit terganggu dikarenakan hujan yang turun saat ia tengah berada di tempat favoritnya di sebuah kursi panjang dekat danau. Tempat biasa ia mencari ide dan inspirasi menulis dan mengerjakan artikel yang akan ia kirimkan ke beberapa koran dan majalah. Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa atau mereka biasa menyebutnya PKM tinggal beberapa langkah lagi saat Alvis secara spontan memicingkan matanya untuk mempertajam indera penglihatannya, tak yakin dengan apa yang dilihatnya. Sejak pertemuan pertama mereka di danau, Alvis sempat beberapa kali sengaja melewati tempat itu berharap mungkin saja ia akan bertemu lagi dengan gadis itu tapi selalu saja berakhir dengan
September 2018 Dew tersadar dari kenangan yang tanpa seiinnya menyeruak masuk. Mengingatkannya kembali pada sosok itu. Sosok yang sampai saat ini terkadang masih ia rindukan. Dew merasa miris pada dirinya sendiri yang hingga detik ini masih belum sepenuhnya move on. Dew mengedarkan pandangan di dalam lift yang isinya tak hanya ia sendiri. Ada seorang laki-laki kira-kira berusia sekitar dua puluh lima tahun dengan postur tubuh tinggi untuk ukuran orang Indonesia, wajah yang bersahabat, dan dilihat dari gerak-geriknya sepertinya dapat dikategorikan playboy, pikir Dew yang sedari tadi matanya sibuk memindai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dew berharap tindakannya tidak terlihat mencolok karena ia tau itu sangat tidak sopan. Mereka sempat saling berbalas senyum ketika sama-sama memasuki lift. Sementara di samping Dew berdiri dua orang yang ia taksir usia mereka sepantaran dengan dirinya. Pakaian yang mereka kenakan terlihat sangat berg