Alvis Prawira atau Wira panggilan dari sahabatnya Wina tapi orang lain yang diluar lingkaran orang dekatnya memanggilnya Alvis. Seorang ketua BEM Fakultas Ekonomi yang dikenal tak banyak bicara, tapi memiliki kharisma yang membuatnya disegani. Sepak terjangnya dalam organisasi kemahasiswaan membuatnya dikenal sebagai ketua BEM yang tak pernah takut menyuarakan aspirasi banyak orang. Walaupun ia memiliki lingkaran pertemanan yang luas tapi hanya segelintir saja yang benar – benar mengetahui kehidupan pribadinya, salah satunya adalah Wina. Ia dan Wina sudah saling mengenal sejak SMP, SMA, hingga kuliah pun mereka secara kebetulan lulus di Universitas yang sama dan di Jurusan yang sama.
“Hai, pak ketua,” sapa salah seorang pengurus BEM saat Alvis menjejakkan kakinya di pelataran dekat ruang BEM.
“Hai,” balas Alvis sembari tersenyum
“Dicariin Wina tuh dari tadi. Udah mencak-mencak dia dikit lagi kebakar tuh rambut saking panasnya.”
Alvis hanya terkekeh menanggapi laporan itu. Ia menghembuskan nafasnya kemudian menarik nafas perlahan bersiap menghadapi amukan dari Wina.
“Nah, ini dia pelaku kejahatannya.” Semprot Wina yang melihatnya baru saja masuk ke ruangan BEM. Alvis menanggapi wajah cemberut Wina dengan cengiran sembari menangkupkan kedua tangannya di depan dadanya mengisyaratkan ia meminta maaf.
“Huh, nyengir aja lo yang dilebarin,” tampang Wina masih bersungut-sungut tapi tampang garangnya sudah tak nampak lagi.
“Jadi, gimana? drama apalagi kali ini?” nada bicara Wina terdengar ketus.
“Gak, Win. Kali ini dia beneran sedih dan patah hati banget sama pacarnya.” terang Alvis.
“Ah, alasan aja. Giliran dia lagi senang emang dia ingat ama lo? Gak ada kabar bahkan ampe berbulan – bulan. Saat lagi sedih gini aja baru keliatan tuh jidatnya yang lebar nongol.”
“Tapi dia emang terpukul banget, Win. Ini bukan yang pertama kali, tapi kali ini lebih parah. “ raut wajah Alvis berubah sendu.
“Justru karena ini bukan pertama kali. Dia tau lo pasti akan selalu ada buat dia. Apalagi lo jomblo jadi dipikirnya lo masih ada rasa sama dia, tambah besar kepala tuh anak. “
“Kenapa lu jadi benci banget sama dia? padahal lu kan yang kenalin aku ke dia. apalagi kalian sahabatan waktu SMA,” Tanya Alvis tak mengerti.
“Emang waktu SMA aku sahabatan sama dia. Tapi aku jadi makin gak ngerti jalan pikirannya. Sifat egois dan selalu ingin menang sendiri bikin aku jaga jarak sama dia.”
“Bukannya kalo kayak gitu kesannya kamu gak bisa nerima dia apa adanya?
“Lu gak tau aja gimana dia makin menjadi – jadi kalo marah atau ada hal yang dia pengen tapi tak terpenuhi. Gue mulai sebel sama dia karena selama ini kalo ada masalah dia selalu playing victim. Pake topeng tau gak, muka dua banget. Dengan kelakuan dia yang kayak gini lu gak merasa dimanfaatin sama dia? gue ngerasa lu cuma jadi tempat pelarian dia doang. “ Wina mengeluarkan uneg – uneg yang selama ini dipendamnya.
Alvis terdiam memikirkan kalimat panjang lebar Wina. Sebenarnya Alvis pun merasakan hal itu dan ia mulai lelah.
Bella Cinta, gadis yang sedang mereka bicarakan saat ini adalah sahabat Wina di SMA. Bella dikenalkan pada Alvis oleh Wina sejak mereka masih MOS waktu itu. Wina saat itu tak sengaja melihat Bella yang hanya sendirian saat pembagian kelompok MOS tak berbaur dengan yang lain. Wina yang memiliki sifat ceria dan blak – blakan merasa terpanggil untuk mengajak Bella ngobrol. Sejak saat itu, sebagian besar cerita SMA mereka habiskan bersama. Kebersamaan yang mereka jalani tanpa sadar membuat Alvis jatuh cinta pada Bella. Rasa itu ia pendam karena tak ingin membuat persahabatan mereka berubah. Rasa cintanya kemudian diketahui oleh Wina yang melihat dan merasakan perubahan wajah Alvis setiap kali Bella menceritakan laki – laki yang ia sukai. Hingga saat tahun terakhir mereka di SMA Bella bertemu dan berkenalan dengan seorang anak laki- laki bernama Kenji yang berbeda sekolah dengan mereka. Bella yang saat itu tengah menunggu Alvis dan Wina di pintu masuk arena konser musik tiba – tiba saja dihampiri oleh Kenji yang juga tengah menungu seorang temannya. Perkenalan itu kemudian berlanjut hingga Bella dan Kenji sering bertukar pesan. Puncaknya ketika Kenji menyatakan perasaan sukanya pada Bella yang kemudian disambut oleh Bella.
Saat itu Bella kemudian lebih sering bersama Kenji daripada Alvis dan Wina. Sepulang sekolah mereka yang biasanya pulang bersama menjadi selalu Alvis dan Wina saja sementara Bella akan selalu dijemput oleh Kenji. Akhir pekan pun Bella selalu pergi berdua dengan Kenji. Persahabatan mereka semakin renggang. Hal itu berlangsung hingga mereka tengah mempersiapkan UN. Wina yang sudah tak tahan akan perubahan Bella memanggil Bella untuk mengeluarkan pendapatnya. Wina merasa Kenji menjauhkan Bella dari mereka. Tapi, Bella mengatakan itu tidak benar dan menganggap bahwa Wina terlalu berlebihan. mereka bertengkar hebat, Wina dengan anggapan bahwa Bella yang terlalu membela Kenji dan terlalu penurut pada kenji sedangkan Bella menganggap Wina terlalu berlebihan dan kekanakan karena merasa porsi waktu untuknya tak lagi seperti dulu. Hubungan Wina dan Bella tak juga kembali normal walaupun Alvis sudah berusaha untuk selalu mengajak mereka hangout bareng untuk bisa kembali menjalin komunikasi, tapi semuanya nihil. Lulus dari SMA hubungan keduanya semakin parah dikarenakan jadwal kuliah yang padat dan universitas mereka yang berbeda. Bella yang tertarik dengan desain lebih memilih mendaftar di universitas yang berbeda kota dengan mereka demi agar bisa bersama Kenji. Saat pesta perpisahan sekolah, Bella tak sengaja mendengar pembicaraan Alvis dan Wina tentang perasaan Alvis pada Bella. Alvis yang tertangkap basah langsung mengakui perasaanya pada Bella. Jawaban Bella atas perasaan Alvis pun sudah dapat ditebak. Bella menyayangi Alvis tapi ia lebih memilih Kenji. Alvis yang sudah bisa menebak jawaban dari Bella hanya bisa tersenyum dan mengelus kepala Bella.
Sudah 2 tahun mereka berjauhan hanya sesekali saja Bella datang mengunjungi kota kelahirannya. Setiap Bella pulang, mereka selalu menyempatkan diri bertemu tanpa Wina tentu saja. Apalagi selala beberapa bulan ini, Bella semakin sering pulang karena ingin bertemu dengan Alvis. Setiap kembali dan bertemu Bella semakin kurus dan wajahnya tak secerah saat mereka masih duduk di bangku SMA.
“Mending lu cari cewek deh, Vis. Coba untuk buka hati lu. Lu gak bakal tau jika tak punya keberanian untuk mencoba.” ujar Wina sembari menepuk bahu Alvis pelan.
“Terima kasih atas konsultasinya hari ini, Bu Wina. Sekarang ayok siap-siap rapat triwulan.” ucap Alvis mencoba mengalihkan topic.
“Siiiipp… Bayarnya pake Pizza Hut, yah? kemarin mereka ada promo menu baru.” Kata Wina dengan mata berbinar-binar.
“Dasar, tetep aja yah, gak mau rugi.” Sungut Alvis
“Iyalah. Helllaaaw… di mana-mana yang namanya konsultasi itu bayar. Gak ada yang gratis di dunia ini anak muda. Dunia itu kejam, Nak.” Ujar Wina dengan nada yang dilebih-lebihkan.
“Iya, Bu. Paham.” jawab Alvis sembari mengusapkan tangannya di wajah Wina yang ditanggapi Wina dengan misuh-misuh.
Dew berjalan dengan lesu menapaki tangga kos menuju kamarnya yang berada di lantai 2. Ia bersyukur karena jarak kos dan kampusnya lumayan dekat. Bisa ditempuh dengan berjalan kaki sehingga ia bisa menghemat uang bulanan untuk hal – hal tak terduga. Kosannya ini terletak dekat dengan kampus dan berada di area yang memang banyak bangunan kos – kosan. Ia tak perlu dipusingkan dengan keperluan perut, mandi, dan kuliah karena hampir semuanya tersedia. Cukup sediakan uang. Ia melangkah masuk ke kamarnya dan langsung merebahkan dirinya di atas kasur busa sederhana. Kamarnya tak terlalu besar tidak juga sempit. Cukup untuk satu orang dengan satu buah lemari pakaian, satu buah rak buku, dispenser, dan penanak nasi. Itu sudah lebih dari cukup. Ingatannya melayang pada kejadian siang tadi di pinggir danau. Dew tersenyum mengingat kejadian tadi. Ia berharap laki – laki itu tidak menyadari perubahan warna pada wajahnya yang terlalu terkejut dan malu saat itu. Cukup Dew, jangan kebany
Alvis berlari kecil menuju gudang pusat kegiatan mahasiswa yang sudah terlihat di depan matanya. Ia semakin mempercepat langkhanya dikarenakan hujan yang semakin deras sambil mendekap erat Notebook yang ia sembunyikan di balik jaketnya. Pekerjaannya sedikit terganggu dikarenakan hujan yang turun saat ia tengah berada di tempat favoritnya di sebuah kursi panjang dekat danau. Tempat biasa ia mencari ide dan inspirasi menulis dan mengerjakan artikel yang akan ia kirimkan ke beberapa koran dan majalah. Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa atau mereka biasa menyebutnya PKM tinggal beberapa langkah lagi saat Alvis secara spontan memicingkan matanya untuk mempertajam indera penglihatannya, tak yakin dengan apa yang dilihatnya. Sejak pertemuan pertama mereka di danau, Alvis sempat beberapa kali sengaja melewati tempat itu berharap mungkin saja ia akan bertemu lagi dengan gadis itu tapi selalu saja berakhir dengan
Alvis berlari kecil menuju gudang pusat kegiatan mahasiswa yang sudah terlihat di depan matanya. Ia semakin mempercepat langkhanya dikarenakan hujan yang semakin deras sambil mendekap erat Notebook yang ia sembunyikan di balik jaketnya. Pekerjaannya sedikit terganggu dikarenakan hujan yang turun saat ia tengah berada di tempat favoritnya di sebuah kursi panjang dekat danau. Tempat biasa ia mencari ide dan inspirasi menulis dan mengerjakan artikel yang akan ia kirimkan ke beberapa koran dan majalah. Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa atau mereka biasa menyebutnya PKM tinggal beberapa langkah lagi saat Alvis secara spontan memicingkan matanya untuk mempertajam indera penglihatannya, tak yakin dengan apa yang dilihatnya. Sejak pertemuan pertama mereka di danau, Alvis sempat beberapa kali sengaja melewati tempat itu berharap mungkin saja ia akan bertemu lagi dengan gadis itu tapi selalu saja berakhir dengan
September 2018 Dew tersadar dari kenangan yang tanpa seiinnya menyeruak masuk. Mengingatkannya kembali pada sosok itu. Sosok yang sampai saat ini terkadang masih ia rindukan. Dew merasa miris pada dirinya sendiri yang hingga detik ini masih belum sepenuhnya move on. Dew mengedarkan pandangan di dalam lift yang isinya tak hanya ia sendiri. Ada seorang laki-laki kira-kira berusia sekitar dua puluh lima tahun dengan postur tubuh tinggi untuk ukuran orang Indonesia, wajah yang bersahabat, dan dilihat dari gerak-geriknya sepertinya dapat dikategorikan playboy, pikir Dew yang sedari tadi matanya sibuk memindai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dew berharap tindakannya tidak terlihat mencolok karena ia tau itu sangat tidak sopan. Mereka sempat saling berbalas senyum ketika sama-sama memasuki lift. Sementara di samping Dew berdiri dua orang yang ia taksir usia mereka sepantaran dengan dirinya. Pakaian yang mereka kenakan terlihat sangat berg
Galen masih tak percaya pada apa yang baru saja terjadi. Gadis itu ada di hadapannya. Dew ada di sini, brdiri di hadapannya. Ia tak berubah, masih sama seperti dulu. Tinggi badannya masih tetap sama, Suaranya, cara ia berkenalan, Dew yang kikuk, Dew dengan senyumnya yang menenangkan. Semuanya masih terasa sama. Ia hampir saja lepas kendali. Ingin rasanya ia menghampiri dan mebawa tubuh kecil itu ke dalam pelukannya. Betapa ia sangat merindukan Dew. Setelah bertahun-tahun pencariannya yang berakir nihil. Galen sudah mulai menyerah dan saat ia sudah hampir mencapai batasnya, ia dipertemukan dengan gadis yang selama ini selalu mengisi pikiran dan hatinya. Ia yakin gadis itu sama terkejutnya dengan dirinya. Dilihat dari ekpresi gadis itu tadi. Galen maklum dan paham benar mengapa Dew berpura-pura tak mengenalnya. Menurutmu bagaimana reaksimu ketika bertahun-tahun menghindar dan bersembunyi dan kemudian bertemu dengan orang yang ingin kau
Di hari pertama bekerja, Dew berusaha menyesuaikan diri dengan ritme kerja yang baru dan jenis-jenis pekerjaan yang akan ia handle nantinya di bawah pengarahan bang Agus. Walaupun diwarnai insiden sedikit keterlambatan tapi tim di divisinya tak mempermasalahkan hal itu. Ditambah lagi mereka adalah orang-orang yang kompeten di bidangnya dan orang-orang yang seru menurut Dew. Tapi, diantara semua itu ia bertemu kembali dengan Galen. Seniornya dulu semasa kuliah dan merupakan salah seorang yang ia hindari dan membuatnya harus bersembunyi selama tiga tahun sekaligus mengobati trauma yang ia derita. Dew tak bisa berbuat apa-apa selain menguatkan hati dan pikirannya untuk menyambut jabatan tangan itu. Sebenarnya, ia masih belum siap bertemu kembali dengan orang-orang yang membuatnya mengalami hal terburuk dalam hidupnya yang sangat ingin ia lupakan. Tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar dan mudah ia lalui. Tapi, tak lucu k
“Udah ngetehnya, Dew?” tanya Tara tanpa mengalihkan tatapannya pada layar komputer. “Iya, Ra. Sempet ngobrol-ngobrol tadi di belakang sama Yono sama pak Galen juga.” “Oh, iya. Si Bos sempat ke sini tadi nanyain kamu. Trus aku jawab kamu lagi di pantry.” “Pak Galen nanyain saya? Emang ada apa?” “Ya ampun, Dew. Bahasamu pake saya. udah biasa aja sama gue juga ini.” “Pak Galen nanyain? Emang ada apa?” “Lah, emang tadi waktu ngobrol di pantry si Bos gak ngomong apa-apa? &n
Dew meregangkan badannya yang terasakaku karena duduk berjam-jam menyelesaikan tugas yang diberikan oleh bang Agus. Sekembalinya dari kantin ia langsung disibukkan dengan membuat draft iklan untuk salah satu merek shampoo yang cukup ternama yang akan meluncurkan produk barunya empat bulan ke depan. Dew melirik arloji di pergelangan tangannya. Jarum jam sudah menunjuka angka lima, Dew segera menyimpan file yang telah dikerjakannya ke komputer kemudian membereskan meja kerjanya yang berantakan oleh kertas-kertas berisi draft iklan sebagai referensi. Setelah rapi ia kemduian mencangklongkan tasnya kemudian memindai kembali kalaukalau ada barang yang tertinggal. “Ra, kamu belum selesai? Mau aku tungguin ngga?’ tanya Dew “Iy