September 2018
Dew tersadar dari kenangan yang tanpa seiinnya menyeruak masuk. Mengingatkannya kembali pada sosok itu. Sosok yang sampai saat ini terkadang masih ia rindukan. Dew merasa miris pada dirinya sendiri yang hingga detik ini masih belum sepenuhnya move on. Dew mengedarkan pandangan di dalam lift yang isinya tak hanya ia sendiri. Ada seorang laki-laki kira-kira berusia sekitar dua puluh lima tahun dengan postur tubuh tinggi untuk ukuran orang Indonesia, wajah yang bersahabat, dan dilihat dari gerak-geriknya sepertinya dapat dikategorikan playboy, pikir Dew yang sedari tadi matanya sibuk memindai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dew berharap tindakannya tidak terlihat mencolok karena ia tau itu sangat tidak sopan. Mereka sempat saling berbalas senyum ketika sama-sama memasuki lift. Sementara di samping Dew berdiri dua orang yang ia taksir usia mereka sepantaran dengan dirinya. Pakaian yang mereka kenakan terlihat sangat berg
Galen masih tak percaya pada apa yang baru saja terjadi. Gadis itu ada di hadapannya. Dew ada di sini, brdiri di hadapannya. Ia tak berubah, masih sama seperti dulu. Tinggi badannya masih tetap sama, Suaranya, cara ia berkenalan, Dew yang kikuk, Dew dengan senyumnya yang menenangkan. Semuanya masih terasa sama. Ia hampir saja lepas kendali. Ingin rasanya ia menghampiri dan mebawa tubuh kecil itu ke dalam pelukannya. Betapa ia sangat merindukan Dew. Setelah bertahun-tahun pencariannya yang berakir nihil. Galen sudah mulai menyerah dan saat ia sudah hampir mencapai batasnya, ia dipertemukan dengan gadis yang selama ini selalu mengisi pikiran dan hatinya. Ia yakin gadis itu sama terkejutnya dengan dirinya. Dilihat dari ekpresi gadis itu tadi. Galen maklum dan paham benar mengapa Dew berpura-pura tak mengenalnya. Menurutmu bagaimana reaksimu ketika bertahun-tahun menghindar dan bersembunyi dan kemudian bertemu dengan orang yang ingin kau
Di hari pertama bekerja, Dew berusaha menyesuaikan diri dengan ritme kerja yang baru dan jenis-jenis pekerjaan yang akan ia handle nantinya di bawah pengarahan bang Agus. Walaupun diwarnai insiden sedikit keterlambatan tapi tim di divisinya tak mempermasalahkan hal itu. Ditambah lagi mereka adalah orang-orang yang kompeten di bidangnya dan orang-orang yang seru menurut Dew. Tapi, diantara semua itu ia bertemu kembali dengan Galen. Seniornya dulu semasa kuliah dan merupakan salah seorang yang ia hindari dan membuatnya harus bersembunyi selama tiga tahun sekaligus mengobati trauma yang ia derita. Dew tak bisa berbuat apa-apa selain menguatkan hati dan pikirannya untuk menyambut jabatan tangan itu. Sebenarnya, ia masih belum siap bertemu kembali dengan orang-orang yang membuatnya mengalami hal terburuk dalam hidupnya yang sangat ingin ia lupakan. Tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar dan mudah ia lalui. Tapi, tak lucu k
“Udah ngetehnya, Dew?” tanya Tara tanpa mengalihkan tatapannya pada layar komputer. “Iya, Ra. Sempet ngobrol-ngobrol tadi di belakang sama Yono sama pak Galen juga.” “Oh, iya. Si Bos sempat ke sini tadi nanyain kamu. Trus aku jawab kamu lagi di pantry.” “Pak Galen nanyain saya? Emang ada apa?” “Ya ampun, Dew. Bahasamu pake saya. udah biasa aja sama gue juga ini.” “Pak Galen nanyain? Emang ada apa?” “Lah, emang tadi waktu ngobrol di pantry si Bos gak ngomong apa-apa? &n
Dew meregangkan badannya yang terasakaku karena duduk berjam-jam menyelesaikan tugas yang diberikan oleh bang Agus. Sekembalinya dari kantin ia langsung disibukkan dengan membuat draft iklan untuk salah satu merek shampoo yang cukup ternama yang akan meluncurkan produk barunya empat bulan ke depan. Dew melirik arloji di pergelangan tangannya. Jarum jam sudah menunjuka angka lima, Dew segera menyimpan file yang telah dikerjakannya ke komputer kemudian membereskan meja kerjanya yang berantakan oleh kertas-kertas berisi draft iklan sebagai referensi. Setelah rapi ia kemduian mencangklongkan tasnya kemudian memindai kembali kalaukalau ada barang yang tertinggal. “Ra, kamu belum selesai? Mau aku tungguin ngga?’ tanya Dew “Iy
Galen tersenyum melihat tingkah Dew yang dalam sekejap melesat berlari meninggalkan dirinya sendiri di dalam lift. Galen paham Dew tak nyaman berada di dekatnya ataupun berada di tempat yang sama dengannya. Terlihat dari sikap Dew sejak pagi ketika mereka bertemu. Melihat dari sikap Dew dan keenggananya serta sebuisa mungkin menghindarinya adalah tanda tanya besar bagi Galen. Ia yakin sesuatu yang buruk pasti telah terjadi pada Dew tiga tahun yang lalu sehingga Dew memutuskan untuk menghilang bak ditelan bumi. Ia menjalankan BMW X6nya perlhana meninggalkan area parkir membelah jalanan kota yang sibuk dipenuhi kendaraan dikarenakan ini adalah jam pulang kantor. Galen kesal pada dirinya sendiri karena menolak untuk menjadi salah satu pewawancara pada penerimaam karyawan baru. Jika saat itu ia menerimanya ia pasti sudah tahu dimana alamat Dew tinggal sekarang. Sebenarnya bisa saja ia menghubungi bagian HRD untuk memi
BAB XII Alvis berjalan perlahan memasuki gedung anak cabang perusahaannya dengan hati riang. Tujuannya kali ini hanyalah datang berkunjung dan ingin merecoki hidup sahabat seperjuangannya itu. Ia sengaja dari bandara tidak langsung menuju apartment Galen, yang selalu ditempatinya ketika berkunjung dalam rangka bisnis ataupun hanya sekedar menjenguk sahabatnya. Alvis malas dan bosan jika harus tinggal di hotel walaupun ia lebih dari mampu untuk itu. Ia hanya tidak terlalu suka jika sendirian. Walaupun Galen selalu menggerutu sebal karena Alvis datang mengganggu kehidupan tenangnya tapi sahabatnya itu selalu terbuka menyambutnya. Setelah berbulan-bulan bekerja tanpa henti dan bersabar karena harus menerima recokan dari sekretaris dan asisten pribadinya, akhirnya ia diizinka
“Selamat pagi semua,” dengan riang Dew menyapa Tara dan Mas Agus yang terlihat sedang terlibat diskusi ringan tentang pemilihan warna untuk desain cover sebuah novel yang rencananya akan dilaunching akhir tahun ini. “Pagi, Dew. Gimana di bawah? padat gak?” Tanya Mas Agus “Banget, Mas. Di saat seperti ini aku bersyukur dengan tinggi badan dan tubuh kecilku.” ucap Dew yang ditanggapi tawa oleh Tara dan Mas Agus “Dew, hari ini belum keberuntungan kamu. Coba kamu lebih cepat beberapa detik. Pasti kamu bisa ketemu sekaligus memperkenalkan diri ke big bos.” ucap Tara “Big boss?” “Iya, Bos kantor pusat tadi pagi datang sempet ngopi-ngopi di pantry abis itu keluar bareng Pak Galen.” “Emang aku gak beruntung, ya? hubungannya apa?” tanya Dew tak mengerti “Big bos itu ganteng banget. Pokoknya proporsional, deh. Kan, lumayan memulai pagi dengan yang memanjakan mata.” terang Tara dengan mata berbinar. Dew hanya menanggapi
Dew berdoa semoga Tara tidak mengatakan keadaannya mengingat tadi ketika sedang menerima panggilan dari Galen, ia mendengarkan percakapan kecil antara Galen dan Tara walaupun tak sampai selesai. Ia tak ingin Galen, Tara ataupun orang-orang sedivisinya mengetahui kondisinya yang sebenarnya. Tak lama berselang pintu ruang kesehatan terbuka dengan sedikit kasar dan nampaklah Tara yang terlihat terengah-engah seolah habis berlari dengan membawa tas yang berisi obat Dew. “Are you ok?” “No, i’m not. Wait, sebelum kamu nanya kenapa biarin aku tarik nafas dulu.” Tara menarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan. “Omg, nafas gue.” Ucap Tara sambil mengusap dadanya dengan nafas yang masih terputus-putus. “Pelan-pelan aja, Ra.” Dew mengulurkan tangannya untuk meraih tas yang ada di tangan Tara. Tara segera bergegas mengambilkan Dew segelas air putih agar Dew dapat meminum obatnya. “Hai, Ra.” Sebuah suara yang terdengar ceria berja