Hai, maaf ya, lama tidak update. Terima kasih sudah bersedia mampir dan membaca cerita ini.
Sebelumnya, saya ucapkan, "Salam kenal" :)Biro Jodoh Pangkalan Hati adalah novel kedua yang saya tulis. Ceritanya ringan dan menghibur. Memang sengaja sih biar pembaca enggak stress :D
Ini tuh romance comedy yang maksa lucu. Oopz ... maaf ya, kalau ternyata jadinya crispy kriuk-kriuk gitu. Tidak usah diambil pusing deh, ya. Nikmati aja :)
Silakan ikuti kisah Nun-Alif-Kafka dengan nyaman. Saya berharap pembaca senang dengan ceritanya. Semoga pembaca semua diberikan keluasan rezeki untuk top-up dan bisa membuka gembok setiap bab-nya.
Oh iya, saya juga akan sangat senang sekali jika pembaca bersedia memberikan ulasan, komentar, rate, atau vote untuk cerita ini.
Jangan berhenti di sini, ya, ceritanya masih berlanjut kok. Baca sampai tamat, ya!
“Batalkan semua agenda saya hari ini,” titah Alif kepada asistennya via telepon. Dia langsung turun dari mobil dan meninggalkan parkiran. Secepatnya menyusul Nun menuju lobi Pangkalan Hati.Sepanjang jalan keringatnya mengucur deras di dahi. Dia tidak sabar bertemu Kafka saat ini juga meski jantungnya berdebar tidak karuan karena mengingat perbincangannya beberapa waktu lalu dengan pemilik Biro Jodoh tersebut.“Gue enggak suka lu perlakukan The Nun seperti wanita murahan kayak gitu!” hardik dia saat menemui Kafka di luar kantor, sehari setelah dia memergokinya di taman kota.“Sabar, Bro! Ada apa sebenarnya?”“Lu nikung jodoh gue, Ka!”“Maksud lu apa?”“Lu pikir aja sendiri! Buat apa lu bangun Biro Jodoh, tetapi malah ngancurin jodoh klien lu sendiri?”Saat itu Kafka mengerjap-ngerjapkan mata. Namun, Alif membacanya sebagai sebuah kepura-puraan semata.&ldqu
Nun memutuskan keluar sebentar dari kantor untuk membeli obat sakit kepala di warung terdekat. Migrainnya kumat akibat terlalu memikirkan masa lalu dan masa depan.Ketika tiba di lobi, dia melihat Alif duduk di kursi tunggu dengan gayanya yang bak sedang berfose sebagai foto model. Dia melirik tempat Nun berdiri lalu serta merta memposisikan adab duduk manis.“Kamu pulang saja!” titah Nun. Dia merasa kasihan mengetahui lelaki itu ternyata menunggu Kafka di lobi sejak pagi hingga siang bolong begini.“Gue lagi santai, ko,” elak dia dengan gaya so coolnya.“Kamu enggak kerja atau kurang kerjaan?” tanya Nun. Dia benar-benar penat dan pening, apalagi melihat senyuman Alif.“Kan gue yang ngatur kerjaan orang-orang. Terserah gue mau kerja apa enggak. Gue enggak bakal kurang kerjaan ko walaupun enggak kerja!”“Shombhong amat,” oceh Nun dalam hati. Dia hampir lupa, Alif itu cucu sultan. Sul
Hari itu Kafka tidak hadir. Nun sudah menghubunginya, tetapi tidak ada jawaban. Alif bahkan seharian itu mencoba menelepon Kafka, tetapi semua panggilannya diblokir. 33 kali, sebanyak butir tasbih. Sebanyak itu pula panggilan telepon dari Alif tertolak.Anggap saja dia kurang kerjaan, tetapi dia bukan orang yang mudah menyerah. Alif tidak akan pasrah meskipun tanda-tanda restu Kafka sepertinya jauh dari jangkauan.“Kafka pasti marah sama gue gara-gara kejadian waktu itu!” pikir Alif.Dia akhirnya tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan sebuah rencana.***Malam harinya, Kafka memberi kabar kepada Nun bahwa dia ada urusan keluarga di luar kota. Dia sedang melakukan mediasi dengan keluarga besar ayahnya soal Nun, adik yang baru diketahui keberadaannya setelah sekian tahun.“Ayah sudah lama meninggal. Saya sendiri diasuh oleh Om dan Tante, adiknya ayah. Mereka tinggal di luar kota. Jadi, kemarin saya ke sana untuk berdiskus
Pekerjaan tidak terlalu banyak, tetapi perkataan Kafka masih membekas di kepala. Nun bingung harus bagaimana. Bicara dengan Bapak akan jadi dilema.Sejak kecil Nun tidak pernah jauh dari rumah. Hendak menginap di rumah teman saja pasti langsung disusul bapaknya. Pernah ada kegiatan kemping –agenda Pramuka di sekolah– tiga hari dua malam. Selama itu juga setiap hari Bapaknya datang menjenguk dia, membuat Nun habis-habisan diledek panitia, tetapi dipuji teman-temannya karena tiap kali datang, Bapak pasti bagi-bagi makanan.Nun jadi kangen Pak Sabar, padahal dia baru pamitan kepada orang tuanya itu 30 menit yang lalu. Dibukanya bungkusan ketoprak yang jadi jatah sarapannya.Dalam satu suapan saja, Nun akhirnya mengakui Alif benar. Ketoprak buatan bapaknya memang yang paling enak sejagad raya. Tiada tanding. Tidak heran pegawai Biro Jodoh Pangkalan Hati tidak bosan memesan ketoprak setiap pagi.“Sarapan ketoprak tuh mengenyangkan,” kat
Sore hari setibanya Nun di rumah, Bapak menyambutnya dengan semringah.“Buruan mandi, ganti baju yang rapi! Jangan lupa dandan yang cantik!” kata Pak Sabar.“Memangnya ada apa, Pak?”“Kan malam ini calon mantu Bapak mau lamaran ke sini.”Nun serasa kena serangan jantung. “Maksud Bapak apa?”“Memangnya Alif enggak cerita? Dia mau bawa keluarganya ke sini buat lamaran secara resmi.”Nun membeku di tempatnya berdiri. Jantungnya kebat-kebit tidak karuan. Ingin dia menggigit sepatu bututnya saat itu juga. Namun keburu dihardik bapaknya.“Buruan beres-beres. Bapak mau ambil kue dari Ceu Saodah, sekalian manggil Pak RT buat jadi saksi.”“Bapak ....” Nun teriak sambil menangis.“Terharunya nanti aja. Bapak lagi buru-buru ini. Bapak pamit dulu!”“Bapaaak ....”Nun segera mengambil gawai dan membuka deretan pes
Di ruang tamu mungil rumah Pak Sabar, Alif berhaha-hihi dengan Pak RT dan rombongan yang dibawanya. Mereka adalah pengurus rumah dan orang-orang kepercayaan kakeknya, mulai dari kepala ART, hingga satpam. Semuanya diperkenalkan Alif sebagai keluarganya.Pak Sabar dan Pak RT juga kini mengetahui bahwa ketergesaan pemuda itu melamar Nun adalah karena kakeknya sedang sakit. Mereka pun bersepakat bahwa acara pernikahan akan dilangsungkan paling lambat sebulan setelah lamaran ini.Nun langsung permisi ke belakang karena tidak tahan dengan semua yang serba dadakan ini. Perutnya mual. Ketika dia kembali, Alif tampak santai menikmati kue basah yang dihidangkan. Nun langsung mendekatinya untuk bicara empat mata.“Kamu tuh banar-benar gila, ya! Enggak mirikin perasaan saya?” kata dia setengah bergumam karena tidakut didengar orang.“Emang lu mikirin perasaan gue?” balas Alif santai saja.“Memang kamu punya perasaan?” timpa
Pagi hari, ketika Nun menghampiri Pak Sabar di angkringan ketoprak, dia tidak mendapati Alif."Tumben," pikirnya. Namun, dia tidak sudi menggubris rasa kehilangan yang muncul begitu saja di hatinya. “Nun berangkat, ya, Pak!” Dia mencium tangan Pak Sabar seraya menyabet bungkusan ketoprak pesanan teman-temannya.“Iya, hati-hati!” ucap Pak Sabar. “Eh, Nun ... ini sebungkus lagi buat calon menantu Bapak!”“Alif?” tanya Nun. “Dia kan enggak ada, Pak.”“Ada. Tuh!” Bapaknya menunjuk Nun.“Jangan bilang ‘di hatimu’ deh, Pak!” Nun melengos.“Itu ... di seberang!” jelas Pak Sabar. Ternyata yang dia tunjuk adalah seberang jalan yang tepat dibelakangi Nun.Gadis itu menoleh. Dipicingkannya mata. Alif tampak sedang ngobrol dengan seseorang. Mata Nun membulat sempurna saat identifikasinya berujung kesimpulan. Itu Kafka.“Tadi Al
Di Solo, untuk pertama kalinya Nun bertemu dengan satu-satunya keluarga yang tersisa dari pihak ayah, yakni tantenya yang bernama Muthmainah. Panggilannya Tante Muthi. Begitu menginjakkan kaki di rumah besar peninggalan kakek-neneknya itu, Nun langsung mengerti mengapa Om dan Tantenya tidak bisa pergi untuk menemuinya di rumah Bapak.Tante Muthi adalah penyandang disabilitas. Dia mengandalkan kursi roda untuk berjalan. Sementara suaminya yang juga Om Nun dan Kafka, bekerja di luar pulau Jawa. Mereka tidak punya anak. Nun maklum, ketika sang Tante berkata, “Kalau saja Tante tahu keberadaan kamu sejak dahulu, pasti kamu sudah Tante besarkan seperti anak sendiri, Ainun.”Wanita seumuran almarhum ibu Nun itu menangis tersedu-sedu. “Setelah ayah kamu meninggal, Kafka pun Tante yang mengurus dan membesarkannya.”“Om dan Tante sudah seperti orang tua bagi saya Nun,” tegas Kafka. “Kamu juga tidak usah sungkan kepada mereka, ya!&