Seorang pria dengan pakaian santai ala rumahan itu memandang lapar sajian makanan di atas meja. Dia menoleh ke kanan dan kiri, sepi. Tidak peduli dengan sekitar, perutnya kini sedang lapar. Ia duduk, tersenyum senang. Meraih nasi dan lauk-pauk.
Tanpa berpikir panjang, tak menunda waktu dia melahap dengan perasaan gembira. “Enak juga!” tuturnya tanpa dia sadar.
Kunyahan demi kunyahan, dia menikmati makanan tersebut. Hingga saat seseorang tiba, matanya dengan mata orang itu bertemu, garpu dan sendok yang dia pegang pun dijatuhkan olehnya begitu saja. Bukan hanya itu makanan yang sedang dikunyah itu pun dia keluarkan.
“Uhuk! Uhuk!”
“Sial, makanan apa ini?!”
“MAS!” teriak Sera.
“Kenapa kau muntahkan makanannya?” ucap Sera. Dia sengaja menyiapkan makanan itu untuk suaminya. Tapi, Dika tak menghargai itu.
“Jadi kau yang masak ini? Pantas saja rasanya tidak enak,” ucapnya bangkit dari kursi. Padahal beberapa waktu lalu dia memuji makanan itu. Sayang, Sera tidak menyaksikan hal tersebut secara langsung. Dasar lelaki tidak tahu diri Dika itu.
“Seharusnya aku tidak menyentuh makanan ini.”
“Aku membuat ini untukmu, Mas, aku sudah mempersiapkan dengan baik dan rasanya enak.”
“Mas, tolong biarkan aku menjalani kewajibanku sebagai seorang istri, memberimu makan dan peduli pada pernikahan ini,” lanjut Sera.
“Alah! Terserah apa katamu, aku sungguh tak peduli!”
DUGH!
Dika menendang kaki kursi dan meninggalkan Sera dengan perasaan perih. Sakit. Dika sudah terlalu sering abai kepadanya. Sera menatap makanan di atas meja dengan tatapan sedih. Air matanya berlinang di pelupuk mata. Menarik napas, perempuan berhijab putih itu mengembuskan perlahan, jarinya bergerak menuju matanya, menyeka agar air matanya tidak terjatuh.
Hati Dika begitu keras. Sejak awal menikah tak pernah memberikan kesempatan baik kepada sang istri. Benar-benar sadis. Sera bergegas merapikan makanan tersebut sambil berdoa, ‘Tuhan aku pikir dia akan menyukai masakanku, aku memohon kepada-MU, tolong sadarkan suamiku. Bukakanlah pintu hatinya.’
Siapa yang tidak merasa sedih setiap kali sesuatu yang kita usahakan dengan baik justru mendapatkan perlakuan buruk. Sesak. Sera harus tetap menghadapi hal itu. “Aku harap kelak kamu menyukai makananku, Mas,” gumam Sera yang masih menatap makanan di atas meja dengan tatapan nanar.
***
Sera merasa bosan lantaran dia sudah tidak bekerja setelah dahulu bercerai. Wanita itu memutuskan untuk membuka butik. Pasalnya, dia jago dalam merancang pakaian juga. Ini juga sudah menjadi impiannya sejak dahulu. Hanya saja itu belum terwujud.
Hari ini, dia mengenakan abaya hitam, lengkap dengan hijab berwarna senada. Wajahnya tampak terlihat cerah. Sera juga termasuk orang yang memiliki kulit cerah dan jarang sekali tumbuh jerawat. Namun, sebelum membuat keputusan itu lebih matang, Sera bermaksud menemui kedua orang tua kandungnya untuk berkonsultasi.
Pasalnya, ada banyak saran yang ingin wanita itu dengar. Suami? Kali ini Sera benar-benar hendak melakukan urusannya sendiri. Dia pun pergi dari kediamannya tanpa berbicara pada Dika. Sosok lelaki seperti Dika sudah mampu membuat Sera marah. Namun, saat hendak pergi lucunya dunia mempertemukan mereka berdua. Sera pikir Dika sedang tidak ada. Padahal dia sengaja ingin pergi diam-diam. Dan alangkah terkejutnya lelaki itu melakukan sesuatu yang membuat Sera bingung.
“Mau ke mana kau?”
Ya, Dika benar-benar bertanya seperti itu kepadanya. “Apa urusan Mas bertanya padaku?” sahut Sera. Tidak. Kali ini dia tidak menjawab dengan seperti sebelum-sebelumnya. Nada bicara Sera pun berubah. Yang saat ini dia lakukan lebih tegas.
“Mas sudah bilang, urus-urusan masing-masing.”
Dika hanya terdiam mendengar penuturan perempuan itu. Di satu sisi, dalam hatinya sangat amat marah karena Sera berani-beraninya berkata seperti itu. Sera akhirnya pergi, tapi tidak lupa menggumam salam. Dalam hati ia berusaha menguatkan diri. Dan tidak menyalahkan atas apa yang dilakukannya.
Saat wanita itu pergi, Dika yang sedari tadi mengepalkan tangan itu pun berteriak. “ARGHH!”
“Sialan kau, Sera!”
“Berani sekali kau berbicara seperti itu padaku?”
“Lihat saja apa yang akan kulakukan nanti.” Dika terus bermonolog. Saat hendak menuju kamar, ponsel di dalam saku itu berdering. Dika sedikit panik karena itu Karina. Jika dia menanyakan soal Sera, Dika bingung apa yang harus dia katakan. Dika menggeram kesal. Memaki Sera dalam hati lagi dan lagi.
Tapi, saat di situasi seperti itu, Dika tetap mencoba tenang. Ada banyak yang bisa ia jadikan jawaban. “Tenang Dika, tenang. Semua akan aman…,” Dika menekan tombol hijau pada layar benda pipih itu, lalu menempelkan pada telinga. “Iya, Ma?”
“Assalamualaikum, Dika. Kau lupa untuk memberi Mama salam?”
Nah, baru awal saja dia sudah kena tegur. “Iya, maaf. Assalamualaikum.” Dika menuruti apa kata Karina. “Lagi apa kamu? Apa kamu bersama Sera?”
Itu dia. Benar tebakan Dika. Mamanya itu lebih mengutamakan menantunya sendiri dari pada dirinya yang menjadi seorang anak kandung. “Ah itu, iya, memangnya ada apa?”
“Syukurlah, ponselnya tidak bisa Mama hubungi. Mama pikir dia sedang sibuk atau ada sesuatu padanya.” Jawab Karina di seberang telepon. Sementara Dika tersenyum kecil karena berhasil membuat Karina percaya.
“Ingat pesan Mama, jaga Sera, Dika. Dia istri yang baik, Mama tidak akan salah memilihkan jodoh untukmu.”
“Iya.” Sahutnya singkat. “Kalian baik-baik saja kan? Butuh sesuatu?”
“Tidak ada. Kami baik-baik saja,” bohong Dika. Selalu seperti itu.
“Baiklah, salam buat istrimu.”
“Iya, Ma.”
***
Saat pulang menuju kamar, Sera melewati Dika begitu saja yang sedang berada di sofa duduk melihat tajam ke arahnya. Sera tampak tidak peduli dengan kehadiran Dika. Dia seperti tengah balas dendam. Hal tersebut membuat Dika jengkel.“Dasar perempuan mandul,” kata Dika pelan. Namun, sayangnya meski begitu Sera dapat mendengar perkataannya. Sera diam. Memutar tubuhnya, menatap ke arah Dika. “Mas barusan mengumpat tentangku?”
Dika yang sedang memainkan ponsel itu pun menaruh ponselnya di sofa dengan sedikit kasar. “Kau merasa, ya?”
Sera begitu sensitif perkara dirinya belum bisa hamil sampai sekarang. Bahkan, sampai pernikahannya yang hendak berjalan sebulan, dia dan Dika tidak pernah berhubungan layaknya suami istri pada umumnya.
“Kau memang pantas diceraikan,” tutur Dika. Kenapa suaminya ini memiliki mulut besar sekali?
“Tidak ada satupun lelaki yang mau sama kamu. Wanita sepertimu hanya pengganggu,” lagi-lagi Dika berseloroh seolah dunia hanya miliknya.
“Pasti kau bermain kan pada lelaki di luar sana?” ejekan Dika kali ini membuat Sera geram. Tidak tahan, Sera berjalan ke arah Dika. Dan…
Plak!
“Mas tidak tahu apa-apa tentangku!” marah Sera. Kali ini dia benar-benar melepaskan diri. “Sial.” Umpat Dika menyentuh pipinya. “Berani sekali kau-“
Saat hendak membalas perlakuan kasar Sera, bunyi bel lebih dahulu terdengar. Dika dan Sera menoleh ke arah pintu bersamaan. Siapa yang datang?
Aku harap part ini seru. Sera di sini bersikap seperti itu karena dia mencoba menjaga dirinya. Dika benar-benar udah kelewatan. Jangan lupa like dan komen. Next part semoga lebih greget. Thxxxxxxxxxxxxx
“Siapa itu?” gumam Dika. Dika mengepalkan kedua tangan di samping tubuhnya. Otot lehernya kentara menonjol. Pertanda dia benar-benar menahan amarah. “Urusan kita belum selesai!” ancam Dika sembari menunjuk wajah Sera. Sera segera menuju pintu. Sebelum itu dia melihat terlebih dahulu dari kamera pengawas siapa yang tamu yang datang. Hingga kemudian, bukan hanya Sera yang terkejut melainkan Dika juga sama terkejutnya. “Minggir,” suruh Dika. “Apa?” ucap Dika, dia lantas menutup mulutnya dengan satu tangan. “Cepat rapikan kamar!” instruksi Dika. “Tapi-“ kata Sera terpotong. “Kubilang cepat!” perintah Dika. Sera mengangguk-anggukan kepala. Inilah risiko yang mesti keduanya terima. Sungguh, jantung Dika berdebar tidak karuan. Dia merapikan pakaian dan mencoba mengatur emosi juga wajahnya. Tak lama dia membuka pintu tersebut agar kedua orang tuanya tidak curiga karena terlalu lama pintu tidak dibuka. “Assalamualaikum, Ma, Pa,” salam Dika. Rupanya dia tidak lupa mengucapkan salam. Dan berl
‘Aku sadar kenapa Mas Dika begitu syok, dia pasti malu jika membawaku ke hotel,’ Sera menunduk. Rasa sedih itu mencoba hinggap. “Kau tidak mungkin malu kan membawa Sera?” tebak Karina. “Dika?” tegur Deri. “Bukan begitu. Di sana banyak pegawai laki-laki. Dika malas jika mereka akan melihat Sera nantinya,” bohong Dika. Itu hanya alasannya saja. Untung saja dia cepat berpikir dan merespons agar kedua orang tuanya tidak curiga terhadap perkataannya yang hampir menjerumuskannya dalam kesalahan besar. Mendengar perkataan Dika barusan, Sera tidak tahu harus merespons seperti apa. Dia tidak senang tidak juga sedih. Dia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Rumah tangganya tidak benar-benar baik. Dan Dika hanya tengah berakting. Memang apa masalahnya jika ada para pegawai pria? “Hahaha, jadi kau cemburu, ya? Ya ampun, anak Mama…,” Karina tertawa, “Dika, Sera itu hanya sayang dengan kamu. Masa kamu tidak merasakan hal itu, iya kan Sera?” “Oh, i-iya,” jawab Sera sedikit gugup. ‘Ya Allah, mana m
Dalam pernikahan, tidak semuanya terisi bahagia, berjalan mulus seperti yang ada di pikiran. Dan kita juga tidak bisa benar-benar mendapatkan pasangan yang sempurna. Yang ada saling menyempurnakan untuk menutupi kekurangan satu sama lain. Saling bahu-membahu. Namun, berbeda dengan pernikahan Sera. Wanita yang pernah gagal dalam pernikahan itu sulit mendapatkan yang saling menyempurnakan. Di pernikahan kedua ini pun selalu saja yang ia dapatkan masalah dan masalah. Sera juga tidak mengerti akan jalan hidupnya. Dan dia merasa dirinya benar-benar payah. Tetapi, saat ini ia tidak boleh meratapi nasib pernikahannya. Karina sudah menyiapkan pakaian muslimah untuk datang ke hotel menghadari acara bersama Dika. Ya, suka tidak suka, terima atau tidak, Dika dan Sera akan dan tetap harus ada dalam acara penyerahan hotel nanti. “Lama sekali,” gumam pria yang duduk dengan setelan jas hitam, di tangan kanannya terdapat jam tangan bermerk. Dia melirik sekilas, meski ada 1 jam lagi, Dika malas menu
Ya. Dika terlalu banyak melamunkan seseorang sampai tak sadar sedari tadi ia dipanggil. “Kau tegang sekali, acara belum dimulai dan kau bisa katakan apapun yang kamu mau di atas panggung. Kau sudah dewasa, kau pasti bisa,” ucap Deri. “Jangan melamun seperti itu lagi, ya,” tegur Deri. “Hm,” deham Dika. Dia menarik minuman di atas meja. Menetralkan keadaan dirinya. Hanya sekedar beberapa tegukan. “Dika izin ke toilet,” ucap Dika. Saat mendengar itu, Sera mendapatkan feeling yang tidak baik. Hanya perasaannya saja, namun dia tidak boleh suudzon. “Jangan lama, Dika, kau sebentar lagi akan naik panggung,” suruh Deri. Dika mengangguk singkat. Setelahnya ia pergi. “Sera, bagaimana masakan di sini? Suka kan?” “Iya, Ma, Sera suka, masakan di hotel ini enak dan lezat,” jawab Sera. ‘Ya Allah, apa Mas Dika sungguh pergi ke toilet? Kenapa aku mengkhawatirkan sesuatu?’ tanya Sera dalam hati. “Sera, apa ada sesuatu?” tanya Rani. “Ah, tidak.” “Mama lihat kamu melamun barusan.” “Ck, pasti Sera
Sera mengaduh sakit karena tangannya ditarik paksa sedari keluar mobil sampai ke dalam rumah. Lagi-lagi saat tidak ada orang tua mereka, Dika selalu saja bertindak semaunya. Meski sudah berteriak meminta tolong untuk dilepaskan, Dika tak menggubris sama sekali ucapannya. Sera terisak. Dia bingung harus berbuat apa. “Aku sudah jujur padamu, Mas. Aku sama sekali tidak bermain dengan pria manapun. Bahkan, aku baru menemui lelaki itu saat tadi.” “Mas, per-caya pa-da—ku…,” Sera ingin meraih tangan Dika, tetapi Dika mengempaskan begitu. “Akh!” pekik Sera kesakitan. Selalu saja alurnya seperti ini. Sera sudah bahagia bisa datang ke hotel tadi. Namun, pulangnya malah mendapatkan masalah. Apa yang dia lakukan selalu saja salah. “Bukankah Mas sendiri yang bilang urus-urusan masing-masing? Kenapa Mas justru marah?” Dika terdiam. Sera menghapus air matanya. Bangkit dan menatap Dika dengan berani. “Aku sudah katakan jujur, tapi Mas tidak pernah mau percaya apa yang aku katakan.” Entah dorongan
“Ma, aku dan Sera baru saja menikah. Tapi, Mama sudah meminta cucu,” protes Dika. Pasalnya, Dika sama sekali tidak tertarik menyentuh wanita berhijab itu. “Kami ingin menikmati waktu dulu berdua lebih banyak, ya kan, Sera?” tanya Dika. Sera lantas mengangguk singkat. Sera menunduk. Ingin menangis rasanya lantaran pembahasan ini terlalu sensitif baginya. Sedari awal Dika tidak pernah mencintai dirinya. Apa lagi ingin memiliki anak. Sera merasa permintaan Karina terlalu berat. Bagaimana perihal kemandulannya? Sera semakin ingin mengutuk dan mengurung dirinya. Mungkinkah Karina tidak benar-benar tahu berita perceraiannya karena kemandulannya? Sera jadi terdiam. “Mama lihat kan, Sera jadi murung,” ujar Dika. “Sera, kamu belum siap, Nak?” “Mama salah bicara, ya?” tutur Karina dengan hati-hati. “Oh tidak, Ma,” sahut Sera. “Sera, jika kamu belum siap, Mama tidak akan memaksa. Itu terserah kalian. Karena yang menjalankan pernikahan itu kan kalian,” jawab Karina. “Sayang, Mama tidak bermak
“Mas Dika…aku minta putuskan wanita itu, aku tidak senang dia hadir di sini,” mohon Sera. “Haha, siapa kamu meminta aku putuskan dia?” tanya Dika.“Sampai kapanpun aku tidak akan memutuskan hubunganku dengannya, aku mencintai Lia. INGAT INI BAIK-BAIK. AKU.MENCINTAI.LIA.” Tekan Dika di depan wajah Sera. Sera semakin menangis keras mendengar perkataan suaminya. Ya, Dika tidak pernah mencintai Sera. Dia mencintai perempuan lain.“Hiks…tega sekali kamu, Mas…tega!”“Terserah, menangislah sepuasmu, aku akan pergi bersama Lia!” putus Dika. “Kau tidak memikirkan permintaan mamamu, Mas?” ucap Sera dengan berani. Dika berhenti seraya membalikkan badan. “Soal anak? Haha. Kau berharap kita akan memiliki anak?” Dika berkata dengan nada meremehkan.“Kau jangan gila, Sera!” teriak Dika. “Aku tidak akan mau memiliki anak darimu.”“Lagi pula kau ini kan mandul, jangan harap itu terjadi.” Ejek Dika, “satu hal lagi…,” lanjut Dika. “Aku akan menikah dengan Lia nantinya,” oceh Dika. Mendengar penuturan
Tindakan Sera terlampau bijak dan begitu baik. Sera mampu menahan diri untuk menutupi aib suaminya lagi. Membela suaminya di depan orang tuanya. Jika saja perempuan itu bukan Sera, apa Dika akan tetap aman? Ketampanan tidak menjamin seseorang akan bertahan jika terus-menerus menyakiti pasangan. Sera begitu bersabar sampai sekarang. Lagi-lagi, Sera terpaksa berbohong kepada mertuanya saat ditanya keberadaan Dika. Dirinya menjawab kalau Dika sedang istirahat karena lelah bekerja. Jadi, tidak dapat menjawab telepon mereka. Padahal yang terjadi adalah jika tengah bermesraan di luar sana dengan wanita lain. Hatinya terlalu mulia. Seusai shalat Sera begitu lebih tenang. Seakan mendapat banyak pencerahan dan mau bersabar akan apa yang menimpa rumah tangganya. Sera yakin setiap yang berkeluarga memiliki terpaan angin masing-masing. Entah angin itu besar, sedang atau kecil. Usai berbicara dengan mertuanya. Sera menarik napas dalam-dalam, mengontrol emosi yang ada pada dirinya. “Ya Allah, keb