Untuk yang kesekian kalinya, Elena menghentak-hentakkan kaki ke lantai dengan bibir cemberut. Lagi-lagi ayahnya lupa. Kali ini, pria itu melupakan kartu magnetik untuk membuka brankas.Sudah setengah jam berlalu, namun kartu itu belum juga ditemukan. Ia mulai lelah, jenuh, dan lapar. Suaminya kembali ke ruang rahasia dengan wajah berkeringat. Matanya langsung membelalak antusias."Bagaimana? Sudah ketemu?"Pria itu menghela nafas panjang. "Kita pulang saja dulu. Ayah benar-benar lupa menyimpan kartu itu dimana.""Bagaimana bisa lupa? Kartu itu benar-benar penting!" pekik Elena tak percaya."Sudahlah, namanya juga sudah sangat lama. Sebelum kakekmu meninggal, jadi sudah bertahun-tahun yang lalu. Besok kita cari lagi," kata Jack menenangkan. "Ayo kita pulang dulu. Biarkan ayahmu beristirahat."Dengan perasaan dongkol bukan main, Elena bangkit dari sofa dan keluar dari ruang rahasia yang sudah berantakan. Ia hampir saja merajuk pada sang ayah, namun langkahnya terhenti.Edward Brown terl
(Kau adalah pecundang, Nick. Pasti ada alasan kenapa kisah cintamu selalu gagal. Kau adalah jelmaan monster. Siapa yang mau dengan monster buruk rupa yang tidak bisa apa-apa sepertimu?)(Sudahlah, Nick. Victoria sudah menjadi milik Alexander. Relakan saja dia seperti aku yang merelakannya. Anakku tidak pantas memiliki ibu seperti dia.)(Kau akan menghadapi cucu-cucuku sebagai balasan atas perbuatanmu yang memasukkan buronan itu ke dalam rumahku. Kau akan mati mengenaskan, Nick. Kau akan mati sebagaimana kau membunuh Victoria dulu.)(Kau mungkin berhasil meracuniku lewat Matthew. Tapi kau akan merasakan hal yang sama. Dunia akan menyaksikan aibmu di masa lalu.)"Arrgh! Kakek, hentikan! Sakit!" jerit Amanda yang kini tersungkur dengan kening robek dan mengeluarkan banyak darah.Nicklaus tidak mengindahkan jeritan dari cucunya. Cucu yang ia benci keberadaannya karena begitu buruk rupa dan suka membuat ulah."Seharusnya kau tak pernah ada. Seharusnya aku mendapatkan keturunan dari Victori
"Hancurkan gedung Greenlake. Hancurkan ketika cucu Alexander menginjakkan kakinya di sana."David termenung di tempatnya bersembunyi. Tidak menyangka akan mendengar rencana mengerikan dari Nicklaus Hunter.Awalnya, ia berniat datang ke mansion Nicklaus untuk menagih bayaran yang belum ditransfer oleh lelaki itu. Karena satpam yang berjaga di depan sudah hafal dengannya, ia dibiarkan masuk. Tidak tahu bahwa hubungannya dengan Nicklaus sedang tidak baik-baik saja.Tadi ia sempat melihat Amanda bersama ibunya menaiki mobil dengan terburu-buru. Wajah Amanda babak belur dan mengeluarkan banyak darah. Sepertinya sang kakek benar-benar murka atas sikap keterlaluan Amanda kali ini.Hampir saja ia masuk ke dalam ruangan favorit kakek tua itu, namun pengawal Nicklaus menghentikannya. Mengatakan bahwa masih ada anak angkat majikannya yang datang berkunjung.Dan sekarang di sinilah dia berada. Di balik pintu ruang kerja Nicklaus, sedang menguping. Sebelumnya ia sempat bersembunyi di dalam salah s
David tahu, tidak mudah meyakinkan orang lain untuk percaya padanya setelah apa yang dia lakukan. Kepercayaan itu ibarat kaca. Sekali retak, tidak akan bisa diperbaiki lagi. Dan dia mengalaminya sendiri sekarang. Sebaik apapun niatnya, orang lain akan tetap menaruh curiga dan tidak percaya."Aku tidak sedang berbohong. Keselamatan Elena terancam. Dia bisa terbunuh.""Dia akan terancam jika kau mendekatinya, dasar psikopat," maki Nathan. Pria itu tetap menodongkan senjata ke arahnya."Aku serius." David mengangkat kedua tangannya. "Dengar, aku memang terobsesi dengannya. Kau sendiri yang menemukan kamera-kamera itu di kamarnya. Tapi sekarang, ada hal yang lebih penting.""Kau itu licik dan manipulatif, Dave. Kau melakukan segala cara untuk mencapai tujuanmu. Aku hafal bagaimana sifatmu. Kau hanya ingin mengalihkan perhatian." Nathan mendengkus sinis.David mengumpat dalam hati. Di saat genting seperti ini, dia justru tidak dipercayai sama sekali."Dengar, aku tidak akan membuang-buang
"Kenapa terburu-buru? Padahal kita bisa membuka brankas itu besok," kata Elena sambil mengikuti sang ayah yang berjalan dengan cepat memasuki mansion keluarga Pierce."Elena, jangan berjalan terlalu cepat!" tegur Jack dari belakangnya."Entahlah, ayah tiba-tiba merasa harus menemukan kartu magnetik itu sekarang. Rasanya hati ayah gelisah sejak tadi," balas sang ayah. Pria itu langsung berlalu dan naik ke lantai dua tempat kamar Alexander berada.Mia, pelayan pribadi Elena dulu, tergopoh-gopoh menghampiri mereka."Kenapa tidak bilang kalau anda mau datang ke sini, Nona? Kami masih dalam proses memasak makan malam," kata Mia, yang sekarang bertugas sebagai kepala pelayan, dengan wajah panik.Setelah Matthew Patt dan Miranda Kiehl ditangkap, pembantu yang dipekerjakan oleh mereka berdua memang langsung diberhentikan oleh Alan. Hanya tersisa pelayan rekrutan Alexander dan Elena saja yang masih bertahan, termasuk Mia."Tidak apa-apa, Mia. Kami hanya ingin mengambil sesuatu saja," jawab Ele
Elena hampir pingsan lagi, tapi ia menguatkan diri. Tangannya memegang lengan ayahnya dengan erat sebagai sandaran."Tapi rahasia Nicklaus masih di mansion ayah. Kita ke sana dulu," kata Elena."Aku tidak mau mengambil resiko. Lebih baik langsung ke mansionku saja. Lagi pula brankas itu tahan api dan tahan benturan. Meskipun ada yang menemukannya, mereka tidak akan bisa membukanya," jelas Jack. "Ambil barangmu dan segera pergi.""Jack benar, Nak. Lagipula hanya ayah yang tahu mengenai ruang rahasia di kamar itu. Para pelayan dan penjaga rumah tidak ada yang tahu," kata Edward setuju.Elena berpikir keras. Bagaimana kalau video itu ternyata sudah menyebar? Kalau David dan Jennifer saja sudah tahu, kemungkinan besar anak buah David juga sudah tahu. Mereka bisa mencari nilai IPK-nya di kampus dan tanggal pernikahan sang ayah di kantor Pencatatan Sipil.Mendadak otaknya menampilkan kartu magnetik yang tadi sempat dipegangnya. Ah, iya. Tanpa kartu itu, brankas tetap tidak bisa dibuka. Ken
"Bagaimana keadaan di sekitar?" Brandon baru saja datang ketika Nathan selesai mengarahkan para petugas penjinak bom ke titik-titik dimana bom diletakkan.Mereka tidak mau kecolongan lagi. Kejadian di gedung teater kampus membuat mereka harus bergerak lebih sigap sekaligus hati-hati."Aku sudah menemukan di mana saja letak bom itu. Anak buah Nicklaus tidak terlalu pintar. Entah dari perusahaan mana dia merekrut semua pengawal itu." Nathan terkekeh sambil tetap mengawasi para petugas.Tim penjinak bom dari FBI menggunakan robot penjinak bom yang dikendalikan dari jarak jauh, sementara tim penjinak bom dari kepolisian yang sudah menggunakan pakaian khusus, menyisiri seluruh gedung untuk menemukan kemungkinan adanya bom lain."Bagaimana kau tahu bahwa di gedung ini ada bom?" tanya Brandon dengan pandangan tetap fokus pada para bawahannya yang sedang mengamankan anak buah Nicklaus."David Foster."Brandon langsung menoleh ke arahnya dengan pandangan rumit. Mereka tahu bahwa David sangat a
"Kau jangan bercanda!" Evan menatap Nathan ngeri sambil mendorong bahunya."Siapa yang bercanda?" kata Nathan dengan wajah datar."Bro, kau jangan macam-macam! Kau harus menghadapi Jack. Dia tidak akan suka dengan hal ini," peringat Evan dengan mata melotot."Memangnya kenapa? Tidak ada larangan untuk menyukai seseorang.""Tapi dia itu istri bosmu! Kau ini benar-benar..."Evan menyipitkan mata ketika melihat mata kiri Nathan sedikit berkedut. Dengan kesal, pria itu memukul bahu Nathan."Kau hampir saja membuatku jantungan! Jangan sampai kau melakukannya di hadapan Jack. Jangan pernah!" peringat Evan serius.Nathan menyunggingkan senyum miring. Mata kirinya memang berkedut di ujungnya jika sedang berbohong."Siapapun pasti akan menyukai Elena. Hanya laki-laki bodoh seperti Lucas saja yang menyia-nyiakan wanita seperti dia. Bahkan David saja sampai tergila-gila."Evan menghela nafas panjang. Tangan pria itu menggaruk alis kanannya. "Yeah, kau benar. Wanita itu memang tidak perlu berusah