enjoy reading ...
"Ya Tuhan, gue ngomong apaan sih?!" gumam Risty lalu berdiri dari duduknya. Sedang aku masih dibuat penasaran dengan ucapannya yang mengatakan 'andai memiliki jodoh seperti aku'. Apa maksudnya? Dan apa yang akan Risty lakukan jika tahu aku sebenarnya mencintai dirinya? Apakah dia akan menjauhiku? Atau justru menerimaku? Menerima? Tidak mungkin! Bukankah dia sendiri yang mengatakan sudah memilih Richard sebagai pendamping hidupnya kelak? Lalu mengapa aku masih saja besar rasa? *** Di depan kamar yang kusewa, terdapat private pool dan halaman dengan rerumputan hijau yang indah. Halaman itu bisa digunakan untuk mendirikan beberapa tenda bila ada pengunjung yang ingin bermalam di resort ini tanpa menyewa kamar. Kebetulan, ada dua tenda terpasang yang dihuni sepasang suami istri baru. Mereka ingin menikmati waktu bersama dengan bermalam di tenda yang menghadap ke laut. Romantis sekali. Risty yang dasarnya adalah perempuan yang supel, kini berteman dengan mereka dan saling beker
Aku masih memeluk erat tubuh Risty dari belakang. Rasanya terlalu enggan untuk melepasnya. Ini sebenarnya adalah hal yang sangat kuinginkan. Lalu dengan batas kendali diri yang mulai tidak bisa kukuasai, aku justru mendekatkan wajahku ke rambutnya. Sedang Risty hanya diam mematung tanpa menunjukkan reaksi apapun. Dia menikmati kah atau justru berpikiran yang tidak-tidak? Lalu satu teriakan dari hati nurani membuatku tersadar, bahwa Risty pernah mengalami kejadian pelecehan seksual. Dan aku tidak boleh membuatnya teringat kenangan buruk itu atau ia akan menganggap dirinya terlalu kotor hingga aku berani mempermainkannya seperti ini. Tidak, aku harus segera menjauhkan diri darinya. Karena berhadapan dengan manusia berjenis kelamin perempuan itu tidak mudah. Terkadang apa yang menurut laki-laki benar, bisa menjadi salah kaprah di matanya. "Gue keluar bentar, Ris.” Entah apa yang Risty pikirkan sekarang, yang jelas aku hanya ingin dia tahu bahwa aku berusaha menjaga martabatnya
Ini akan menjadi perjalanan yang sangat melelahkan, karena jarak tempuh dari Jakarta menuju Norwegia memakan waktu selama tujuh belas jam. Ini juga menjadi pengalaman pertamaku pergi ke provinsi terbahagia di benua Eropa itu. Memakai maskapai dari negeri petro dollar yang menyajikan fasilitas kelas wahid, aku, Kaika, Risty, dan penumpang lainnya berangkat dari bandara internasional di Jakarta. Mengenai kepergianku ke Norwegia, Mas Kian telah memberikan persetujuannya karena ia tahu jika ini bagian dari kewajibanku melayani Risty. Dia adalah majikanku dan sudah seharusnya aku menjaga dirinya agar selalu aman. "Ris?" panggilku setengah berbisik pada Risty yang duduk di sebelahku. Yang benar saja, aku bingung dengan model kursi pesawat kelas satu ini. Aku tidak tahu bagaimana membuatnya agar bisa digunakan untuk merebahkan badan setelah menempuh empat jam perjalanan. "Ris!" panggilku sedikit lebih keras namun tetap berbisik. Akhirnya dia yang sudah nyaman dengan kursinya, mendong
"Hello, Norwegia! Sebentar lagi bakal tamat riwayat lo, Zi!" Risty memekik senang begitu menjejakkan kakinya di lorong bandara Gardermoen, Oslo, Norwegia. Sekarang sedang musim semi di Norwegia. Sehingga cuaca tidak terlalu dingin karena saat musim dingin bisa mencapai minus tiga derajat. Salju yang ada di sekitar bandara Gardermoen masih tampak beberapa yang belum benar-benar meleleh di atap-atap dan daun pepohonan. "Ris, disini siang malamnya sama kayak di Indonesia nggak?" tanya Kaika sambil memandangi bandara Gardermoen yang indah ini. "Untuk saat ini lo masih bisa lihat matahari selama dua belas jam. Tapi beda cerita kalau bulan depan. Lo bisa lihat lebih lama. Lima belas jam dan suhu mulai ke musim panas." Mataku terus memandangi arsitek bandara yang megah ini. Desain bangunannya melengkung indah, bertingkat, dengan fasilitas canggih. Mungkin ukurannya mencapai dua kali bandara di Jakarta. Kemudian kami menuju pengambilan koper dan tas dengan kedua tanganku telah memegang
"Kali ini, bukan aku yang berulah, Nek. Tapi Ziany." Kedua bola mata neneknya Risty tidak menunjukkan keterkejutan atas ucapan Risty, dan kedua tangannya masih bersedekap di depan dada. "Bodyguard-ku adalah saksi ulah Ziany karena dia yang berhasil nemuin aku. Kalau nenek nggak percaya sama aku, silahkan tanya sama dia." Lalu kedua mata neneknya memandangku dan kepalaku mengangguk pelan sebagai jawaban. "Karena nenek biasanya nggak percaya sama mulutku, jadi aku bawa bodyguardku. Dia bukan lelaki yang pintar berbohong dan nenek bisa tanyain semua ke dia. Sampai akarnya kalau perlu." Usai berkata demikian, Risty menarik tangan Kaika lalu mereka berlalu ke dalam kamar yang sudah disiapkan. Sepertinya, Risty paham betul bagaimana perangai neneknya hingga memutuskan menyodorkanku untuk mengatakan semua yang kuketahui selama Risty diculik. Dan kini, di ruang tamu mewah ini hanya tersisa aku dan neneknya yang tidak menunjukkan ekspresi keterkejutan apapun tentang satu hal yang menimp
Aku berlari mengejar Risty yang ternyata sudah berlari menjauh dari lahan rumah kakek neneknya ini. Sepanjang jalan aspal hitam yang mulus ini, Risty terus berlari hingga rambut sepundaknya bergoyang ke kanan dan kiri. "Ris! Mau kemana?!" Bukannya berhenti mendengar teriakanku, Risty tetap berlari lurus ke arah lahan pertanian. Benar tebakanku jika dia bukan akan membeli sesuatu melainkan ingin melakukan hal lain yang belum kuketahui apa. "Ris! Berhenti!" Aku memberinya perintah dengan nafas terengah-engah dan mengayuh kaki selebar mungkin agar bisa mensejajari Risty. Namun ia tetap tidak menghiraukan hingga sebuah mobil yang akan berbelok membuat aku harus berhenti dan Risty terus berlari menjauh. Tidak mau semakin kehilangan jejaknya, aku kembali memaksa kedua kaki ini melangkah selebar dan secepat mungkin. Khawatir jika Risty akan melakukan tindakan gila dengan menyakiti diri sendiri atau sejenisnya. Sungguh aku tidak mau dia melakukan hal buruk seperti itu. "Ris! Gue bilang
"Kira-kra RIsty sama Kakek Neneknya diajak ngobrol soal apaan ya, Do? Kok gue jadi kepo?" ucap Kaika sambil memanggang marsmellow di sebelahku. Di skedmokorset, hari telah petang dan aku melanjutkan membakar beragama makanan yag khusus disediakan untuk acara seperti ini. Ditemani angin musim semi awal yang berhembus sejuk. Tadi, sesampainya aku dan Risty di rumah kakek neneknya usai mengejarnya jauh hingga ke lahan pertanian, Kaika menunggu kami di depan rumah ini. Ia berkata jika ada hal yang ingin kakek neneknya Risty sampaikan. Lalu Risty masuk seorang diri ke dalam rumah sedang aku dan Kaika menunggu di taman. Dan kini baik Kaika maupun aku sama-sama diliputi keingintahuan tentang apa yang mereka bicarakan. "Apa gue nguping aja ya, Kai?" "Boleh. Tapi hati-hati ya. Jangan sampai ketahuan. Gue nunggu di sini aja, Do." Setelah meletakkan satu tusuk marsmellow yang belum kumakan, kepalaku menoleh ke kanan dan kiri lalu berjalan cepat menuju pintu ruang tamu keluarga. Kutempelkan
"Gue mau dinikahkan, Do." Aku menghela nafas panjang bersamaan dengan semilir angin laut siang yang berhembus. Menerpa rambut kami dan pohon birch yang menanungi aku dan Risty yang sedang duduk di bawahnya. Jika di luar cuaca terasa sejuk karena terpaan angin yang masih membawa sisa udara sejuk selepas Norwegia mendapat musim dingin, maka berbeda dengan hatiku yang terasa panas. Hatiku terasa seperti diguyur cairan panas mendengar pengakuannya yang akan dinikahkan. "Kenapa lo mau dinikahin?" tanyaku dengan menyembunyikan gurat kekecewaan. Kedua mataku senantiasa menatap ke arah laut yang dengan dua kapal layar yang bersandar di dermaga dekat benteng megah ini. "Kata Nenek, gue liar banget dan noda pemerkosaan itu bikin gue nggak akan mudah dapat jodoh. Jadi, selagi ada lelaki yang saat ini mau sama gue, Nenek pikir kenapa nggak nikah aja sekalian. Jadi, nggak usah nunggu nanti atau besok. Apalagi tahun depan." “Lo masih terlalu muda buat menikah, Ris.” “Tapi Nenek dan Kakek ngga