enjoy reading ...
Malam ruwat desa sungguh ramai dengan para warga memakan hasil masakan tadi bersama-sama disepanjang jalan desa yang sudah dipasang tikar. Anak-anak juga ikut melahap makanan itu. Aku dan kawan-kawan juga melahap masakan itu. Kebetulan Risty duduk di seberangku dengan penampilan yang segar memakai jas almamater. Bahkan pandanganku tidak beralih darinya jika bukan karena kepala desa kembali memberi sambutan. Usai acara malam itu, kami diizinkan kepala desa beristirahat di rumahnya sambil menikmati pemandangan malam yang indah dari samping rumahnya. Tampak kemerlip pemandangan dataran rendah disertai semilir sapuan angin malam dari kaki gunung. "Mana ponsel gue?" Pinta Risty. Ya, sesuai perjanjian, aku akan memberikan ponselnya ketika malam hari saja. Dia bergegas mengutak atik isi ponselnya dengan aku berada di depannya. Memandangi wajahnya diam-diam tanpa berbicara. Senyumnya terbit ketika membaca pesan entah dari siapa. Aku tidak begitu berminat untuk mengetahuinya asal bukan da
"Kian ada di bawah. Dia pengen ketemu lo, Do," ucapan Kak Alfonso langsung membuat tubuhku panas dingin. "Ngapain lo bawa Mas Kian kemari sih, Mas Al?!" seru Risty setengah kesal. "Kian maksa, Ris. Dia khawatir sama Rado. Dia nggak yakin lo bisa jagain Rado." "Rado udah gede! Dia bisa jaga dirinya sendiri. Bahkan selama kita study lapangan disini tuh justru dia yang jagain gue!" Kak Alfonso menghela nafas pendek, "Gue bingung, Ris. Soalnya Kian mikirnya ke utara, lo mikirnya ke selatan. Nah, gue yang di tengah-tengah bingung mesti gimana." "Harusnya lo tanya dulu ke gue kalau mau kemari! Mas Kian jadi ngerti kan kalau Rado disini sama gue?!" "Itulah bingungnya gue. Satu sisi Kian nggak bisa jauh lama-lama dari Rado, tapi kenyataannya disini dia baik-baik aja." "Ya udah, lo tinggal bilang sama Mas Kian kalau Rado baik-baik aja. Jadi mending kalian pulang!" Risty justru mengusir sepupunya itu dengan kesal. "Ya ampun, Ris. Seenggaknya biarin Kian lihat Rado bentar. Biar mereka ket
"Jangan pernah ngajak Mas Kian kemari lagi! Rado itu sekarang jadi hak dan tanggung jawab gue, Mas Al! Gue nggak mau lo bawa dia nemui Rado tanpa persetujuan gue!"Risty memarahi Kak Alfonso, sepupunya, tanpa pandang bulu. Dia benar-benar tidak suka jika Mas Kian masih terus mencariku. Selain itu bisa menggoyahkan hatiku lalu membuatku meninggalkannya, Risty paham sekali jika kedatangan Mas Kian juga bisa membangkitkan kecemasanku. Padahal obat antidepresanku sudah Risty sita. "Astaga, Ris. Yang minta ketemu Rado tuh Kian. Kok lo jadi marah sama gue, sih?!""Apapun itu, kalau urusannya sama Rado, lo harus ijin sama gue dulu, Mas!""Lagian, kalau Rado butuh pengobatan harusnya lo relain dia diurus sama Kian, Ris. Bukan menyembunyikan dia kayak gini."Risty terkejut dengan pengakuan Kak Alfonso, "Jadi, Mas Kian cerita ke lo kalau Rado ... "Kepala Kak Alfonso mengangguk pelan sambil menatap kami berdua. Lalu tangan Risty menyugar rambut panjangnya dengan gaya kesal."Jadi, mending kemb
Salah satu apotek milik Risty yang dikelola secara pribadi, yang berada di kawasan Gambir, habis dilalap si jago merah. Kobaran api sudah tidak terlihat, namun petugas pemadam masih menyemprotkan air ke segala penjuru apotek itu. Bangunan tidak lagi utuh, hanya menyisakan tiang bangunan yang sudah menghitam. Banyak warga yang menyaksikan proses pemadaman kebakaran hingga membuat kemacetan di sepanjang jalan. Risty berjalan dari motorku menuju apoteknya dengan tatapan tidak percaya. Aku tahu betapa terpukulnya dia karena ini adalah apotek pertama yang ia bangun sebelum bertemu dengan teman-teman borjuisnya kemudian membangun bisnis apotek bersama-sama. "Jangan mendekat, Mbak! Jauh-jauh! Masih panas! Rawan hancur bangunannya!" Seorang petugas pemadam mendorong tubuh Risty agar menjauh dari lokasi. "Mbak, jangan maju! Bahaya!" "Itu apotek gue, bodoh!" "Iya tapi mundur dulu! Ini masih bahaya!" Risty yang tidak bisa menguasai emosi dan pikirannya, justru mendebat petugas pemadam ya
"Cepat!" Risty langsung melepaskan genggaman jemari kami lalu berlari sekencang mungkin. Lalu aku segera memukul dua preman yang paling dekat dengan kami agar tidak bisa mengeja Risty. Tapi naas, tiga preman yang lain mengejar Risty dengan cepat sedang aku masih berkutat dengan keempat preman yang menyerangku secara membabi buta. Walau bela diriku jauh lebih jago daripada mereka, namun aku jumlah. Satu pukulan tepat mengenai rahangku namun aku segera membalasnya dengan tak kalah emosional hingga punggungku ditendang preman yang lain lalu tersungkur ke tanah. Satu preman paling besar segera mengunci pergelangan tanganku dari belakang lalu yang lain menarikku kembali berdiri. Tidak mau membuang waktu, dua preman yang lain memukul perutku secara bergantian hingga aku mengaduh kesakitan. Namun mereka tidak berhenti lalu menarik rambutku dan menampar pipiku dengan keras. "Udah gue bilang, kan?! Mending lo serahin Risty daripada babak belur kayak gini." "Dasar sok jagoan! Bonyok tah
Setelah berjuang antara hidup dan mati, akhirnya aku siuman. Meski tubuhku masih terasa begitu berat untuk digerakkan, namun Mas Kian cukup bahagia mendapati aku telah membuka mata. Dia rela mengambil cuti emergensi untuk menemaniku. Mengesampingkan segala kesibukannya. Dan dia disini, TANPA ISTRINYA. Ya, Mas Kian sengaja tidak mengajak Mbak Sasha selama menjagaku di rumah sakit. Aku tahu, dia melakukan ini demi kebaikan perasaanku yang masih menaruh secuil cinta pada istrinya. Meski, lebih dari setengahnya telah diisi oleh Risty namun ada baiknya aku tidak bertemu kakak ipar yang dulu sangat kugilai itu. "Mau makan? Sarapannya baru datang," ucap Mas Kian lembut. Kakak kandungku yang masih saja tampan meski usianya lebih dari tiga puluh lima tahun itu, tampak sangat telaten merawatku. Maklum, sedari aku kecil, Mas Kian lah yang menjaga dan menghidupiku. "Mas ... maaf," ucapku lirih dengan mata mulai memanas. Mas Kian tersenyum tipis lalu tangannya mengusap rambutku perlahan.
"Aku ... kerja, Mas." Kening Mas Kian mengernyit kemudian, "Maksudnya?" Tangan kananku yang terpasang jarum infus meraih tangan Mas Kian lalu menggenggamnya. "Aku bakal cerita, tapi Mas Kian harus janji nggak bakal marah." Kondisiku sudah babak belur seperti ini. Ragaku tidak kuat jika digunakan untuk mencari Risty seorang diri. Maka jalan satu-satunya untuk membuatku bisa menemukan Risty adalah dengan membarter kejujuranku dengan kesediaan Mas Kian untuk mencarinya. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan Risty. "Ayo, Mas. Berjanji lah." Kepala Mas Kian mengangguk dengan pandangan lurus menatapku, "Janji." "Laki-laki pantang ingkar janji." "Mas nggak akan ingkar janji, Rado. Sekarang, bilang ada apa sebenarnya?" "Aku mau jujur, tapi Mas Kian harus kabulin satu keinginanku." "Jangan minta sesuatu yang Mas nggak bisa kabulin." "Mas bisa untuk satu hal ini." "Apa itu?" "Nanti aku akan bilang setelah ceritaku usai. Yang penting Mas udah janji bakal penuhi satu per
“Aku mencintai Risty, Mas. Tapi aku milih diam karena sebenarnya dia udah punya kekasih.” “Cinta segitiga begitu kah maksudmu?” Kepalaku mengangguk dengan tetap terbaring di atas bantal dengan selang oksigen yang masih terpasang di kedua lubang hidungku. “Sejak kapan?” “Belum lama, Mas. Dan karena dia, perlahan-lahan aku bisa ngelupain Mbak Sasha.” Kepala Mas Kian mengangguk pelan. “Maafin aku, ya, Mas. Tapi aku janji, bakal hilangin rasa cintaku ke istrimu, Mas. Aku bakal jadi adik yang baik. Tapi, untuk ngelupain Mbak Sasha, aku harus mencintai perempuan lain.” Mas Kian hanya menatapku sambil mendengarkan semuanya. “Dan saat ini yang aku cintai itu Risty. Dia udah janji bakal bantu aku buat lupain Mbak Sasha dan bantu mentalku kembali sehat.” “Cinta diam-diam itu nggak enak, Do. Yang kalah tetap kamu.” “Aku nggak punya pilihan, Mas. Satu sisi aku harus segera lupain Mbak Sasha, tapi Risty sendiri udah punya pacar.” “Mas rasa itu bukan solusi terbaik untuk ngilangin perasa