enjoy reading ...
“Do, gue dijemput Richard ke kampus.” Aku yang baru selesai memakai sepatu pun menoleh ke arahnya yang masih duduk di depan cermin rias sambil memoles lipstick. “Lo kalau mau bawa mobil gue juga nggak masalah. Kuncinya ada di kamar.” Tanganku kembali mengaitkan tali sepatu dengan bad mood. Sebenarnya aku ini kenapa? Kenapa begitu kesal jika Risty mengucapkan nama Richard atau ia berhubungan dengannya. “Gue berangkat.” Tanpa menunggu Risty, aku berlalu lebih dulu. Untuk apa aku menggunakan mobilnya jika aku sendiri memiliki motor. Baru saja menekan tombol lift, Risty berseru dan terpaksalah aku tidak jadi masuk lift. “Lo itu bodyguard macam apa sih?! Masak majikan ditinggalin?!” Bukannya peduli dengan ucapan Risty, aku justru memindai penampilannya pagi ini. “Ayo balik ke unit,” ucapku dengan menarik pergelangan tangannya. “Ngapain sih?! Richard udah dibawah!” protesnya. Aku tetap membanya masuk ke unit lalu melepas tangannya. “Baju lo terlalu terbuka. Masuk kamar, ganti, la
"Haaaahh ... " Aku mengambil nafas panjang usai membasuh muka berkali-kali dengan air kran di toilet cafe and lounge ini. "Risty, sialan!" geramku. Bagaimana tidak sialan? Dia menciumku di hadapan banyak orang dengan tidak tahu malu hanya untuk memenangkan tantangan Ziany. Selanjutnya aku berlalu ke toilet untuk meredam kegugupan ini. Lalu ponselku berdering dan Risty penelfonnya. "Apa?!" "Lo dimana, sih?!" "Toilet." "Gue kesana." "Ngapain? Ini toilet laki-laki, Ris!" "Siapa juga yang mau nyelonong masuk? Orang gue mau ke toilet cewek." Usai meredakan kegugupan dan ledakan keterkejutan yang baru pertama kualami hingga sebesar ini, aku memilih keluar toilet lalu bersandar di dinding. Tidak berapa lama Risty keluar dengan pakaian minimnya yang membuat mata sakit dan kepalaku pusing. Aku melepas hoodie lalu menyampirkannya dengan benar di tubuh Risty. "Thanks, gue kedinginan sebenarnya," ucapnya sambil mengeratkan hoodieku. Lalu aku mengambil mini bag-nya agar tidak ke
"Apa yang terjadi di masa lalu, itu udah selesai, Ris. Banyak hal yang nggak kamu ketahui tentang hubungan Mama dan Papa. Dan kamu hanya mendengar semua penjelasan itu dari satu sisi tanpa mau mendengar penjelasan Mama." Risty kemudian berdiri dengan wajah kesal. "Asal Anda tahu, Nyonya! Nggak pernah ada kata 'benar' dalam sebuah perselingkuhan! Kalau emang Anda nggak bisa membangun rumah tangga sama Papa, seenggaknya tuh ngomong! Bukan selingkuh sama sopir sendiri sampai hamil lalu dengan teganya bilang ke Papa itu darah dagingnya!" "Kalau begitu apa bedanya Anda sama wanita murahan, heh?!" "Risty! Jaga bicaramu!" Mamanya berseru. "Kenapa? Merasa bakal jatuh miskin ya kalau cerai dari Papa? Sopir kesayangan Anda itu gajinya nggak seberapa tapi cuma kuat di ranjang, ya kan?!" "Risty! Keterlaluan kamu!" "Aku selesai! Selesai dengan semua kebusukan dan topeng jahanammu itu, Nyonya! Jangan pernah panggil aku anakmu! Ingat itu baik-baik!" Risty berlalu kemudian aku mengikutinya ta
"Gue nggak ngerti sesakit apa rasanya ketika lo dilanda depresi, Do. Tapi yang perlu lo tahu, jangan pernah menyelesaikannya dengan jalan bunuh diri." Kemudian Risty melepas pelukan yang terasa nyaman bagiku. Ini adalah pelukan nyaman yang kudapatkan selain dari Mbak Sasha, ipar yang kucintai namun tidak bisa kumiliki. Andai Risty tahu, aku tidak ingin dia melepas pelukan tadi. "Yang lo butuhin ketika depresi itu datang cuma teman yang bisa lo jadiin sandaran. Teman yang bisa ngasih lo pelukan menenangkan." Ya, Risty benar. Bahwa sebuah pelukan itu memiliki kekuatan ajaib yang membuat seseorang merasa tidak lagi sendiri. Kemudian otak dengan cepat dipenuhi ion positif yang membuat suasana hati mendadak begitu tenang. "Yuk, duduk di luar." Aku menuruti perintahnya kemudian duduk di bangku kayu hutan kota GBK. Kami tidak sendiri, karena ada pengunjung lain yang juga datang ke tempat ini. "Waktu perselingkuhan nyokap gue terbongkar, itulah awal terjadinya badai dalam hidup gue. Y
"Ini aku, Mamanya Risty." "Ada apa Nyonya menghubungi saya?" tanyaku penasaran. "Bisa bertemu sebentar?" "Maaf, Nyonya. Saya tidak berani bertindak jauh tanpa sepengetahuan Nona Risty." "Aku perlu bantuanmu untuk membuat Risty memaafkan aku. Tolong, Rado." Akhirnya aku menemui ibunya Risty di sebuah kafe and restauran yang berada di jalan Sudirman. Tidak jauh dari hutan kota GBK. Di sore yang redup itu, wanita dengan kulit yang masih kencang meski usianya tidak lagi muda itu menungguku di kursi yang berdekatan dengan kaca. Dengan dua gelas banana ovaltime yang sudah tersedia di meja. "To the point saja. Aku perlu bantuanmu untuk membuat Risty berhenti terus menerus bertikai dengan Ziany. Bagaimanapun mereka adalah saudara." Aku sedikit mengernyitkan dahi mendengarkan ucapannya. Karena setahuku, selama ini Ziany lah yang terus mengganggu Risty. "Aku harap kamu bisa membantu mengakurkan mereka berdua, biar mereka saling bekerja sama membangun bisnis mereka sendiri. Risty itu j
"Rado, ikut kami. Jangan berontak." Aku menatap keenam orang itu dengan wajah waspada. Apalagi salah satunya melangkah mendekat. "Sekali maju, gue patahin leher lo semua!" "Kami nggak akan kasar kalau kamu kooperatif." Ketika mereka bergerak akan menangkapku, dengan cepat aku memberi pukulan-pukulan mematikan di beberapa titik vital. Kemampuanku sebagai bodyguard kukerahkan semaksimal mungkin hingga keenam lelaki yang tidak terlalu pandai bela diri itu tersungkur. Meski aku sempat mendapat pukulan di pipi. Dengan nafas memburu, aku meraih kerah baju salah satu lelaki itu dan mengangkat wajahnya. "Siapa yang nyuruh lo?! Bilang!" "Ng ... nggak ada." "Bilang atau gue patahin leher lo!" Ketika aku akan mengayuhkan tangan untuk memukulnya dengan mata berkilat marah, dia membuka suara. "Kian! Kian yang nyuruh." Aku menyentak tubuhnya ke tanah lalu kembali mengendarai motor dengan pikiran carut marut. Jadi Mas Kian menyewa orang untuk membawaku paksa? Apa dia benar-benar ingin m
“Sorry, Rado. Gue ingkar janji.” Aku bergeming ketika Risty tetap memelukku. Tanganku tidak membalas pelukannya dan hanya bisa mengepal dengan tatapan lurus ke depan. “Gue tahu lo pasti kecewa dan … kesel. Sorry, Rado. Mulai sekarang gue bakal --- .” Tanganku bergerak mengurai pelukan Risty. Karena aku tidak mau mendengar janjinya lagi yang kupikir akan menjadi angin lalu lagi. “Nggak usah ngasih gue janji. Cukup lepasin gue sebagai bodyguard lo, Ris.” Aku menatap kedua matanya dengan tatapan tegas meski aku tidak tega melukai hatinya atau menjauh darinya. Tapi, bukankah kata Kak Rafa aku harus menikmati sakitnya proses kehidupan ini agar mentalku sembuh? “Lo lupa kalau Richard cuma sebuah alat biar Ziany makin iri sama gue?” “Lo bilang dia cuma buat alat, tapi lo memperlakukan dia seakan-akan dia itu yang utama!” “Lo cemburu?” Pertanyaan apa itu? Sial! Aku terpancing emosi dan secara tidak langsung menunjukkan kecemburuanku padanya. Tidak! Risty tidak boleh tahu jika aku
"Ris, minggir! Jangan duduki perut gue kayak gini!" aku memperingatkannya.Risty tetap duduk di atas perutku tanpa tahu malu dengan aku yang masih terlentang di atas lantai dapur. Sebenarnya aku bisa menyingkirkan dia namun aku tidak setega itu melukai perempuan yang kucintai. Ditambah, Risty adalah majikanku. Dalam keadaan apapun aku harus memastikan dia tidak terluka sedikit pun."Gue minggir kalau lo mau janji sama gue.""Janji apa?"Risty menggunakan kedua telapak tangannya di atas dadaku untuk menopang tubuhnya. Sialan sekali majikanku ini. Pasalnya, karena posisi Risty yang seperti ini, ada gairah yang mulai mendominasi kewarasanku. Jika Risty tidak segera menyingkir, aku tidak bisa menjamin untuk tidak menyentuhnya."Janji jangan minum obat anti depresan lagi.""Asal lo harus ada sama gue. Melibatkan gue dalam segala urusan lo.""Well. Lo cemburu karena Richard sama gue?!""Gue cuma nagih janji. Kalau lo selalu sama Richard, kapan lo ada sama gue?""Oke. Tapi kalau malam hari,