Share

Campville & Ranjang Panas

“Ini rumah ibumu?” Alan terkejut dengan luasnya rumah ibu seorang artis. Mungkin luasnya bisa disamakan dengan luas lapangan bola.

“Dia sangat suka berkebun dan membuat beberapa pendopo. Tidak mungkin, ‘kan aku memberikannya apartemen. Dia mungkin akan menggantung setiap tanaman di setiap sudut ruangan dan di balkon apartemen.” Freya teringat dengan awal pertama kali ia mengajak ibunya menginap di griya tawangnya. Banyak sekali tanaman yang diletakkan di setiap sudut unitnya.

Perempuan itu mengajak Rose dan Alan masuk ke dalam. Tidak ada penjaga di gerbang masuk. Tidak ada bodyguard yang berjaga di setiap sudut rumah. Lelaki itu merasa Freya terlalu santai. Bahkan sebagai seorang artis, ia tidak memiliki bodyguard untuk mengawalnya.

Klek!

“Freya?” Fanny; ibu di artis menyambut mereka.

Alan menelan ludah, namun cepat-cepat ia membuang pandangannya dari sosok perempuan paruh baya yang cantik itu.

Bagaimana tidak, di usianya yang sudah menginjak kepala 5, wajahnya masih begitu cantik. Gaun tipis yang dikenakannya memperlihatkan lekuk tubuhnya yang berisi dan menawan. Bagian atas dan bawah tubuhnya pun masih begitu kencang dan seksi, hal yang jarang ditemui di wanita seusianya.

“Hei, Ma. Apa kabar?” Freya menyapa dengan lesu.

“Ba–baik… tu–tunggu sebentar.” Fanny menutup kembali pintunya.

Alan dan Rose tampak bingung dengan kelakuan wanita itu. Mereka saling melihat satu sama lain dan merasa bila Fanny sedang menyembunyikan sesuatu.

Klek!

“Oke, silahkan masuk.” Ia tersenyum ke arah tamu-tamunya. Keadaan di dalam tampak gelap.

Saat Freya menoleh ke seluruh penjuru rumah, ia menemukan sesuatu di sofa. Sebuah celana dalam lengkap dengan kaos berwarna putih. Bukan hanya itu, beberapa bantal sofa juga berserakan di mana-mana.

“Ma, kau membawa laki-laki masuk ke dalam rumah lagi?” tajya Freya.

“Hah? Mama tidak tahu. Mungkin itu milik pamanmu. Kemarin kita mengadakan pesta di sini. Mungkin saja tantemu main dengan pamanmu di sofa,” jawab Fanny sambil menyeringai.

Dalam hati Alan, “Jelas-jelas dia yang melakukannya. Tampaknya wanita ini gila dengan adegan ranjang.”

“Ngomong-ngomong, kenapa kalian ke sini? Apa ada acara khusus? Setahu Mama, kamu bukannya ada acara ‘Gala Dinner’?” Fanny merasa penasaran. Sedari tadi ia terus melirik Alan.

“Acaranya sudah selesai. Aku sedang mumet dengan masalah ayah. Orang ini yang akan menjelaskannya padamu,” ungkap Freya sambil menepuk pundak Alan.

Rose yang telah cipika-cipiki dengan Fanny segera duduk di dekat bosnya.

Saat Fanny melihat Alan, ia menggulung bibir bawahnya ke dalam. Gerak tubuhnya juga tampak gemulai dan sedikit malu. Saat mengulurkan tangannya, pandangan wajahnya tampak berpaling dari Alan. Sihir yang digunakan lelaki itu tampaknya telah menempel.

“Siapa namamu?” Fanny bertanya.

“Alan … Alan Dominic.” Lelaki itu menjabat tangan Fanny.

Perempuan itu tampak memberontak dengan mengembuskan napas berat. Ia terlena dalam buaian sentuhan tangan Alan yang keras dan besar. Wanita yang hanya mengenakan gaun seadanya itu mengedipkan satu matanya ke Alan. Ia memberikan kode pada lelaki itu.

Sayangnya, Alan hanya tersenyum membalas kedipan itu. Lalu ia tinggalkan Fanny dan duduk di sofa.

“Jadi … kita akan membicarakan apa? Dan siapa si ganteng ini?” Fanny terus menatap wajah lelaki yang duduk di sampingnya.

“Ma, jangan coba-coba dengannya! Dia itu hanya pembantu ayah!” Freya memperingati ibunya. Ia tidak menyukai Alan meski lelaki itu tampan, berwibawa, berkharisma, dan berotot.

“Boleh saran? Sebaiknya kita dengarkan Alan dulu,” sela Rose.

“Whatever!” Freya memalingkan wajahnya sambil memutar kedua bola matanya ke arah lain. Tangannya juga tampak dilipat di depan dadanya.

Alan menjelaskan bila ia adalah suruhan gurunya dan berita tentang kematian Alexander Hood kepada Fanny dan Rose. Kedua wanita itu tampak terkejut. Apalagi soal konspirasi tentang cara Hood mati, yaitu diracun.

“Siapa yang membunuhnya? Kukira dia akan baik-baik saja,” pikir Fanny.

“Aku belum tahu. Tapi kami akan mencari dalangnya dan membalaskan kematian Hood!” Alan mengepal erat salah satu tangannya.

“Apa dia meninggalkan warisan untuk Freya?” Fanny menatap Alan.

“Dia meninggalkan asetnya. Tapi semuanya akan dibagi enam. Lima putri dan lima istri lainnya juga akan mendapatkan jatah mereka,” ungkap Alan.

“Apa?! Lima istri dan lima putri?! Dia menikah lagi setelah menghilang dariku?” Fanny tampak kesal. Nada bicaranya menjadi sangat tinggi.

“Kau adalah wanita terakhir yang dinikahinya. Sebelum dirimu, ia sudah memiliki lima istri dan lima putri.” Alan tersenyum. Ia tahu pasti Fanny akan mencekiknya setelah mendengar itu.

“Dasar buaya cap kadal! Dia berani menjadikanku istri keenam?!” Fanny mengambil vas bunga dan melemparnya ke sembarang arah hingga vas itu pecah.

“Ma, tolong tenang. Jangan habisi energimu untuk orang yang sudah mati. Dia tidak pantas dikasihani.” Freya menimpali.

“Dia berani membuatku seperti simpanannya!” Fanny berusaha tenang meski emosinya masih meledak-ledak.

“Masalah utamanya, dia bukan hanya meninggalkan aset harta, istri dan anak saja. Tapi dia juga meninggalkan musuh-musuhnya. Mereka hampir membunuhku dan Rose tadi. Untungnya pria kaku ini datang. Bila tidak, kau akan menghadiri prosesi pemakaman putrimu sendiri,” ungkap Freya.

“Jadi, bagaimana selanjutnya? Apa kalian akan tinggal di sini terlebih dulu sampai aman?” tanya Fanny.

“Lebih tepatnya sampai aku menemukan tempat tinggal yang cocok untuk kita. Aku akan menghubungi temanku untuk mengecek keberadaan dari istri dan putri Hood lainnya. Lalu setelah itu kita bisa pergi ke sana. Rencananya adalah aku ingin mengumpulkan kalian semua dalam satu atap di Raven City,” ungkap Alan.

“Apa kau gila?! Kau ingin menempatkan semua istri simpanan Hood dalam satu kandang?! Kau tahu kalau aku seperti macan! Aku bisa merobek kulit mereka!” Fanny kesal dengan rencana lelaki itu.

“Oke, rapat selesai! Aku mau mandi lalu tidur sebentar. Ma, tolong masakan aku sesuatu yang membuatku betah di rumahmu ini.” Freya pergi meninggalkan mereka.

“Se–sebaiknya aku menelepon keluargaku dulu. Sepertinya mereka perlu tahu kalau aku akan menginap selamanya di sini.” Rose juga pergi sambil menyeringai. Ia takut mengganggu Fanny yang tampak masih emosi.

“Kau juga ingin pergi?” Fanny menoleh ke arah Alan.

“Aku harus mengecek CCTV dan memasang beberapa hal.” Alan tersenyum dan meninggalkan wanita itu sendirian.

***

Angin semilir di pendopo belakang begitu membelai tubuh berotot Alan yang baru saja berbaring setelah mengerjakan beberapa hal. Dengan hanya mengenakan kaos kutang saja ia memandang ke langit luas ditemani dengan minuman dingin yang ada di meja kecil.

“Apa ada bintang yang kau kenali? Dari tadi kau asyik memandang langit sampai lupa minumanmu yang sudah hampir tidak dingin lagi.” Freya datang dengan gaun tipis yang biasa ia kenakan untuk tidur.

“Kau belum tidur?” Alan menyapa, tapi tidak .santap perempuan itu.

Freya melihat lekukan otot Alan yang begitu tertera di kaos kutangnya. Bibirnya sedikit terbuka seraya menggerayangi pikiran kotor yang ada di benaknya. Ingin rasanya ia memegang otot-otot itu sambil memandangi bibir Alan yang menggoda.

“Aku hanya sedang cari angin. Di dalam gerah sekali,” ungkap Freya seraya mencuri pandang ke dada bidang lelaki itu.

“Kuharap kau memaafkanku soal seharian ini. Aku tidak bermaksud mengganggu jadwalmu,” ungkap Alan.

Freya terdiam sejenak ketika Alan berdiri dan menghadap ke arahnya. Embusan napasnya sedikit terengah-engah hingga saliva membanjiri tinggal mulutnya. Ia menelannya sejenak dan berkata, “Tidak apa-apa. Itu sudah jadi tugasmu, ‘kan?”

Perempuan itu menggigit bibir bawahnya dengan lembut. Tidak ada lagi kesanggupannya untuk melawan lekukan otot-otot itu.

“Badanmu bagus,” ungkap Freya dengan nada lirih.

“Apa maksudmu?” Alan menggenggam tangan Freya yang mulai meraba lembut perutnya.

“Ssst… jangan banyak bicara,” bisik Freya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status