"Nyonya, ada tamu nyari Den Ezekiel. Tadi saya sudah ketuk-ketuk pintu kamarnya tapi ndak dijawab." Miranda yang sedang bersantai di kursi goyang sambil menikmati secangkir teh sore hari di teras belakang rumah menoleh ke arah asisten rumah tangga yang berdiri tak jauh darinya. "Siapa, Mbok?" tanyanya pada wanita paruh baya dengan rambut digelung yang hampir semuanya telah memutih itu. "Ndak tahu, Nyonya. Cewek." Miranda menarik sudut bibirnya. Pasti Lila si calon mantu. Hatinya girang dan beranjak dari duduknya. "Biar saya saja yang temui. Nanti saya panggil Ezekiel," ujarnya seraya melangkah masuk ke dalam rumah. Dia berjalan menuju ruang tamu dan sosok cantik yang dilihatnya sedang duduk di sofa membuat alisnya mengerut."Rebecca?" "Hallo, Tante Miranda," sahut Rebecca sambil berdiri dan menghampiri Miranda. "Apa kabar, Tante, lama ya kita nggak ketemu." Perempuan itu meraih tangan Miranda dan menciumnya. Masih keheranan kenapa perempuan yang pernah dekat dengan putranya itu
Lila benar-benar bingung saat mendapat telepon dari Miranda kalau dirinya harus datang hari ini ke rumahnya. Apa yang akan dikatakan Ezekiel kalau dia bertemu dengan bosnya itu di sana. Pasti Ezekiel akan berpikir kalau dia mengejar-ngejar pria itu. Tapi, jika tak datang, Miranda pasti akan kecewa. Pasalnya wanita itu tadi sepertinya sangat ingin dirinya datang. Setelah bergelut dengan perasaannya sendiri, Lila pun akhirnya memutuskan untuk datang ke alamat yang sudah diberikan oleh Miranda. Dia mengenakan pakaian sesopan mungkin agar kesan Miranda tidak buruk padanya. Tapi, kenapa juga dia memikirkan kesan Miranda padanya. Taksi yang membawanya ke rumah Miranda berhenti di depan gerbang tinggi menjulang bercat putih. Setelah membayar ongkos taksi, Lila menghambur keluar dan pelan mendorong pintu gerbang yang tak terkunci. Dengan hati berdebar-debar Lila melangkah memasuki halaman luas dengan taman yang indah. Apes. Dia melihat mobil Ezekiel terparkir di depan garasi. Artinya pria
Ezekiel memasuki rumahnya dengan wajah kusut. Suasana hatinya sedang tidak bagus. Bahkan Rebecca yang beberapa kali menelepon pun dia acuhkan. Ngomong-ngomong tentang Rebecca, jujur saja dalam hati Ezekiel merasa senang dengan kemunculan mantan kekasihnya itu setelah menghilang selama bertahun-tahun. Masih ada sedikit rasa yang tersisa di dalam hatinya untuk Rebecca. Namun, dia tidak tahu kenapa justru perempuan yang membuat suasana hatinya kacau adalah Lila. Ezekiel merasa begitu marah saat melihat Lila pulang dengan Ezra. Ezekiel tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaan kesalnya pada Lila, sehingga dia justru malah melontarkan kata-kata pedas pada gadis itu. "El, baru pulang? Sini, mama mau ngomong!" panggil Miranda yang sedang duduk di ruang tengah. "Apa, Ma?" Ezekiel mendekati wanita itu dan duduk di seberang meja. "Mama mau tanya, kamu sama Lila sudah jalan berapa tahun?" Ezekiel terkesiap mendengar pertanyaan sang ibu. Inilah yang dia takutkan. Ibunya benar-benar mengang
YogyakartaLila turun dari ojol dengan buru-buru. Dia berlarian membelah halaman kantornya yang luas dan berderap masuk ke dalam gedung berdesain cukup unik--nggak mirip kantor pada umumnya sebenernya, sih. Gedung ini tidak berbentuk kotak tinggi menjulang. Meskipun masih tinggi menjulang, tetapi atap dan sebagian badan gedung bagian atas berbentuk bundar mirip koloseum di Italia tempat gladiator adu nyawa pada zaman dulu.Okay, kembali pada Lila yang pagi itu lupa menghidupkan alarm untuk membangunkan dirinya sendiri. Alhasil, gadis manis berambut panjang kuncir kuda itu pun terlambat setengah jam. Wajahnya sudah pucat pasi saat berhadapan dengan sang kepala corporate sekretaris---Bu Ana.Tetapi tunggu dulu. Mundur beberapa menit sebelumnya saat masuk ke dalam gedung, Lila harus mengalami drama tabrakan dengan seorang pemuda berkemeja merah marun saat keluar dari lift yang membuatnya ngomel-ngomel. Ya, bayangkan saja, Lila sedang panik karena membayangkan dirinya akan kena semprot B
"Lil, kamu bikinin kopi buat Pak Ezekiel, gih."Lila yang baru selesai menyortir surat-surat seabreg dan bersiap untuk dia serahkan ke masing-masing divisi, mendadak lemas. "Saya, Bu?" tunjuknya pada diri sendiri."Lah iya, kamu!"Lila menoleh ke arah Yolanda yang masih berkutat dengan tumpukan dokumen, kemudian menggaruk kepala yang tiba-tiba gatal. Ketombean kali, ya. "Iya, Bu," sahutnya lirih. Sebenarnya, waktu Dirut masih Pak Septa, dia biasa bertugas membuatkan kopi. Tapi, ini Dirut baru dan ada peristiwa memalukan pula tadi pagi. Langkah Lila pun menjadi gamang.Sepanjang perjalanan menuju pantry, badan Lila sudah panas dingin. Mampus pokoknya dia harus mengantar kopi ke ruangan Ezekiel. Bakalan disindir-sindir lagi sepertinya. Sumpah, kalau bisa memutar waktu, Lila tidak akan mengacuhkan adegan tabrakan pagi tadi di lobi."Duh, bikin kopi apaan tadi, ya?" Saking blanknya, sampai di pantry Lila meracik kopi hitam, persis seperti yang biasa dia buatkan untuk Pak Septa dulu. Sudah
Lila terpaksa makan di ruang kerja sambil menyiapkan dokumen-dokumen yang akan dipakai rapat oleh si bos siang ini. Yolanda pun ikut kena imbasnya. Sama-sama kehilangan jam istirahat gara-gara menunggui Lila membuat karamel machiato untuk Ezekiel, sampai bos mereka itu puas dengan rasanya. Namun, keduanya sudah sangat bestie, jadi Yolanda tidak kesal sama sekali. Justru prihatin dengan nasib Lila."Lila, aku barusan ditegur sama Pak Ezekiel." Bu Ana masuk ke dalam ruangan dengan wajah kesal.Astaga, cobaan apa lagi ini. Lila sudah menduga wanita itu akan memberitahukan sebuah berita buruk. "Ada apa lagi, Bu?" cicitnya."Kamu lelet bikin kopinya. Mana nggak enak katanya. Itu bikin mood Pak Ezekiel hancur, Lila.""Aduh, saya udah berusaha keras bikin karamel machiato, Bu. Mana Pak Ezekiel nggak mau yang sachetan. Tanya Yolanda deh, Bu." Yolanda di meja samping mengangguk-angguk."Ya, intinya Pak Ezekiel nggak mau tahu, itu sudah jadi tugas kamu, Lil.""Duh, ribet bener sih tuh orang. In
Ini akhir pekan, dan Lila hanya ingin rebahan saja di kamar kosnya. Palingan keluar cuma beli makan, atau kalau terlalu malas, dia bisa pesan makanan melalui layanan antar makanan. Namun, Yolanda tiba-tiba menelepon dan minta ditemani ke pesta nikahan temannya.Sudah ditolak mentah-mentah, eh, Yolanda malah mendatanginya ke kos sambil sujud-sujud memohon-mohon. Kasihan juga, tapi malas. Acara kondangan lagi. Untuk jomblo akut kaya Lila, itu penyiksaan namanya melihat pasangan menikah. Boro-boro ada yang diajak nikah, pacar aja nggak punya.Ngomong-ngomong Yolanda juga member JJKBC (Jomblo-jomblo Kurang Bahagia Club) seperti dirinya, sih. Terus ini dua jomblo akut pergi ke pesta nikahan orang saling gandengan tangan gitu, sementara yang lain datang berpasang-pasangan pamer pacar, pamer bini, pamer laki, dan semacamnya."Dasar jomblo nyusahin aja kamu, Yol. Aku kan pingin rebahan seharian. Udah tahu minggu ini kerjaanku sangat menguras energi gara-gara Ezekiel kampret itu.""Noh, kaca .
"Lil, nanti malam kamu gantiin saya mendampingi Pak Ezekiel acara gathering di hotel Rama, ya? Saya ada urusan keluarga yang nggak bisa saya tinggal."Baru saja melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangannya, Bu Ana sudah memberinya tugas. Apa tadi, mendampingi Pak Ezekiel acara gathering nanti malam. Artinya dia tidak bisa berakhir pekan dengan tenang."Saya, Bu?" tanya Lila."Iya, kamu."Sementara Yolanda di mejanya senyum-senyum jahil. Lila medesis. "Kenapa nggak Yolanda, Bu?""Aku udah bilang ke Bu Ana mau pulang ke Solo. Mamaku lagi sakit."Lila menghela napas berat. Akhir pekan yang seharusnya dia gunakan untuk bersantai-santai, masih juga harus bertemu dengan bosnya yang menyebalkan itu."Nggak usah protes, Lila. Pak Ezekiel bakal marah nanti kalau nggak ada pendampingan dari dewan sekretaris." Bu Ana berucap, menampik kekesalan Lila."Iya, deh, Bu," sahut Lila berat.Lila merasa canggung saat diberi tugas untuk mewakili Bu Ana, dalam menghadiri acara gathering para pengusaha. Ia