"Raka farhandi." Nama yang diucapkan Pak Leo terus menggema di telingaku. It feels like a drama, entah kenapa semua aktivitas yang ada di depanku seperti berubah dalam bentuk slow motion. Mulai dari saat Raka berjalan dari arah pintu dan menatapku dengan tatapan terkejut, sampai kemudian Pak Leo menghampiri Raka dan memeluknya erat. Sementara, bak orang bego aku hanya bisa menatap mereka berdua sampai nyaris tak berkedip. Aku baru sadar ternyata penampilan Raka tak banyak yang berbeda hanya rambutnya saja yang menggondrong.Over all dia tetap slengean dan pria tukang ghosting yang meninggalkanku tanpa kepastian. Sekarang, setelah menipuku dengan statusnya dia kembali bagaikan angin ribut yang membumi hanguskan hatiku yang semula tenang.OH MY GOD.Aku nge-freeze. Napasku tercekat, asam lambungku sepertinya sudah sampai tenggorokan. Ini sangat membahayakan. Aku merasa butuh pegangan apalagi ketika kulihat Pak Leo membawa Raka ke hadapanku. "Han, kenalin ini Tari," ujar Pak Leo sambil
Pov Author"Kamu beneran mau menikahi anak saya?"Leo yang semula menunduk seketika mengangkat kepala ketika suara Pak Zaldi bertanya. Seumur-umur baru kali ini Leo merasa tak percaya diri, sebelumnya malah dia yang bikin orang jantungan. Duduk berhadapan dengan calon mertua ternyata sangat menegangkan.Apa ini karma?Apalagi, usut punya usut katanya si calon mertua ini sangat tegas, makin tiaraplah nyali seorang Leo. Mungkin di kantor Lea bisa dibilang bagai singa untuk bawahannya tapi kalau di depan Pak Zaldi--bapanya Tari yang kumisnya baplang bak Pak Raden, Leo merasa tak berkutik."Iya,Pak saya serius dengan permintaan saya untuk menikahi Tari, anak Bapak," kata Leo dengan nada bulat. Meski lututnya gemetar sebisa mungkin dia terlihat tegar."Lalu apa kamu tahu siapa saya?""Tahu Pak. Bapaknya Tari. kan?" tanya Leo sambil menunjuk menggunakan jempol dengan sedikit membungkuk. Sopan.Sebenarnya, dia tidak paham arah pertanyaan Pak Zaldi tapi dia sok tahu saja karena gugup.Untung,
Dalam kamus seorang Tari, ada berbagai alasan yang bisa aku gunakan untuk menghindari Pak Leo, salah satunya yaitu karena aku telah menolak lamarannya. Namun, sayang tugasku sebagai sekretaris Pak Leo tidak mengijinkan itu dan sekarang aku malah terjebak bertemu dengannya di lift selepas dari rapat. Mana cuman berduaan lagi, pada ke mana sih orang-orang? "Kamu beneran gak bisa lembur?" Pak Leo bertanya datar ketika kami berdiri bersampingan sambil menghadap pintu lift yang membiaskan bayangan kami. "Iya Pak," jawabku singkat sambil melarikan tatapanku ke hal lain. Ada debar yang membabi buta di dalam sini saat tak sengaja bersitatap lewat pintu lift yang terbuat dari kaca tersebut. "Oh begitu," sahut Pak Leo singkat. Lift pun menjadi hening seperti sebelumnya, tak ada obrolan lagi di antara kami. Sepi bak kuburan baru. WAAAA! Stres!Lama-lama aku bisa gila berlama-lama terperangkap di sini dengan Pak Leo. Aku tahu kemarin sikapku sudah keterlaluan, tak seharusnya aku menolak Pak
Aku menatap Bang Erul dengan tegang. Kenapa aura Bang Erul yang biasa konyol berubah menjadi aura penjaga Azkaban di depan Pak Leo? Hanya karena bosku salah sangka bukan berarti dia bisa jadi jutek begini dong. "Jadi lo yang buat adik gue nangis?" Bang Erul melipat tangannya di depan dada. Garis rahang yang disembunyikan oleh jambang halus yang ada di wajah Bang Erul mengetat seiring tatapan tajamnya pada Pak Leo. "Nangis? Tari nangis kenapa? Bukannya Tari yang nolak saya lebih dulu?" Pak Leo meliirik ke arahku yang sedang menahan napas. Oh My God. Kenapa jadi panjang begini sih urusannya? Harusnya aku tak membiarkan Bang Erul datang tadi. Kalau sudah begini, bisa dipastikan cepat atau lambat Pak Leo akan tahu alasan aku menolaknya. "Nolak lo lebih dulu gimana? Jelas-jelas keluarga lo yang nolak!""Bang Erul! Stop! Kayaknya itu gak usah dibahas. Bang Erul bukannya mau ada kerjaan ya? Kenapa gak berangkat? Takut telat loh," potongku cepat mencoba mengalihkan pembahasan. Kudorong-
"Tari ... ini udah jam berapa? Kenapa kamu belum berangkat?" Suara Mamah yang sudah beberapa kali meneriakiku kembali terdengar. Sejak kemarin, Mamah yang biasanya jarang nengok akhirnya muncul lagi di apartemen dengan alasan 'kangen'."Tariii!"Teriakan Mamah yang membahana lebih dari sebelumnya membuatku tersadar kalau aku sudah melamun cukup lama di depan kaca. "Iya, Mah bentar," jawabku sambil kembali menatap sosok perempuan berkulit kuning langsat dengan rambut sebahu di dalam cermin. Siapa lagi kalau bukan aku. Fiuuh! Aku tidak tahu berapa kali aku sudah menghembuskan napas pagi ini karena hatiku terlampau berat untuk menjalaninya. Menyadari kalau aku bukan sekretaris Pak Leo lagi membuat semangatku tiarap.AAAAK! Kenapa juga aku harus jadi sekretaris si Raka Farhandi? Kenapa bukan Yayuk atau Evi saja yang sempat ngeceng tuh anak pas belum tahu dia mantanku. "Tari, kamu kenapa sih? Mau dipecat? Kok belum berangkat?"Mamah yang sepertinya penasaran, terlihat mengintip dari pi
Aku mondar-mandir sambil menggigit kuku tak jauh dari kamar Pak Leo. Di dalam sana Pak Leo sedang mendapat tindakan dari dokter kulit pribadinya. Berapa ratus kali pun aku menyalahkan diri tampaknya itu tak akan mengembalikan keadaan. Bodoh. Bodoh. Bodoh. Entah berapa kali aku merutuki diriku yang ceroboh. "Kenapa aku bisa jatuh? Kenapa?"Kuhempaskan bokongku di kursi yang ada di sana dengan frustasi. Ingin rasanya menangis karena kecemasan yang membuatku tak bisa menahan diri. "Maaf, apakah kamu yang bernama Tari?" tanya dokter yang baru saja keluar kamar Pak Leo."Iya Dok, saya. Gimana kabar Pak Leo? Apa mukanya Pak Leo gak kenapa-napa?" berondongku tak sabar. Aku sontak berdiri, menatap cemas ke arah pintu kamar yang tertutup. Dokter yang kutanya tersenyum ramah. "Tenang Tari, untungnya tadi Deni sudah memberikan pertolongan pertama dengan tepat. Jadi luka bakar Leo lebih dini bisa diobati sebelum saya periksa.Alhamdullilah, kulit Leo tak sampai melepuh tapi memang memerah,
SYOK. Itulah satu kata yang dapat melukiskan perasaaan hatiku sekarang. Aku tidak tahu harus tertawa atau menangis. Kurasa bertemu dengan Pak Leo merupakan takdir teraneh yang pernah kuhadapi. Sebab mau dipikir berapa kali pun, semalaikat-malaikatnya Pak Leo dia tetap saja diktator ulung dan negosiator nomor satu se-planet Mars raya. Coba bayangkan!Dengan sekali pertemuan dengan Mamah dan Bapak, Pak Leo berhasil membujuk orang tuaku untuk menyetujui rencananya untuk menikah secara agama dulu karena mendesak demi kesembuhan. Lagian nikah agama itu tidak rumit kata ustadz tinggal syarat sahnya terpenuhi ya jadi.Nah, barulah setelah itu kurang lebih sebulan kemudian kami mengadakan nikah secara sipil dan resepsi karena itulah yang diinginkan Pak Leo, katanya agar lebih matang."Gila! Cepet banget!" Begitulah pendapat Bang Erul saat kuberitahukan rencana bosku."Is he crazy?"Yes, of course.Dia adalah lelaki tergila yang pernah aku temui. Saking gilanya dia bahkan membuat Bu Pram be
POV Leo.Aku paham Ibu masih tidak bisa menerima Tari sepenuhnya. Dia bahkan mendatangkan asistennya untuk mengganggu malam pertamaku.Rencana yang sangat ... mengada-ngada. Bisakah aku menyebutnya mengada-ngada? Tentu bisa. Karena sebenarnya rencanaku pun tak jauh beda, hanya tujuanku satu, aku ingin melindungi Tari sementara Ibu, beliau hanya terlalu obsesi untuk mendapat menantu sesuai impiannya.Sebenarnya, sebelum kedatangan Mbok Nah aku pernah berpikir bahwa Ibu akan melakukan apa saja demi memisahkan kami. Dan ternyata tebakanku benar, dia mengajukan syarat kalau kami harus tinggal dengan Mbok Nah.Aku tahu Ibu sengaja berbuat ini agar aku dan Tari merasa terganggu lalu menggagalkan rencana pernikahan ini sebelum diresmikan.Semua itu dikarenakan Raka Farhandi--adikku.Pemuda itu mempengaruhi ibu untuk tak menerima Tari sebagai menantu karena dia tak setuju atas pernikahan kami.Oh, shit!Kenapa coba Raka berbuat sejauh ini? Apa dia berpikir aku tidak tahu dia mengejar kembali