Share

Bab Enam. Modus Mamah

 Jodoh?

Aku mengulang satu kata itu dalam benakku untuk ke sekian kali. Mau dipikir berapa juta kali pun aku tetap tak habis pikir. Bagaimana bisa si bos galak nan gampang tertipu janda tersebut mengajakku masuk ke lubang neraka bersamanya? 

Berbohong demi menyelamatkan diri. Apa bukan neraka dipindah ke bumi namanya? Bukan masalah aku nggak mau bantu, tapi sejujurnya aku masih punya kekasih meski sekarang kena ghosting.

Raka Farhandi namanya. Melihat si bos sama mantannya, otakku jadi teringat akan Raka yang bagiku sama seperti penipu persis Brigitta. 

Sudah dua tahun dia menghilang, menorehkan luka dan berjuta kenangan. Tanpa ada kata putus dan perpisahan. Dia hilang, seperti ditelan Anaconda. Itulah kenapa sampai sekarang aku sama sekali tak berniat berhubungan dengan siapa pun. Apalagi menjadi kekasih pura-pura Pak Leo.

Aku trauma Bang Haji! Aku trauma!

"Pak!"

"Hm?"

"Pak?"

"Hm?"

"Paaak!" 

"iya, Tari? Saya nggak budek," sembur Pak Leo sambil terus berjalan membawa barang belanjaan. Saat ini kami baru saja tiba di apartemen setelah kejadian yang membuat Brigitta nangis bombay. 

Di situasi yang seperti ini, Pak leo akhirnya berubah menjadi iblis betulan. Sejak dari supermarket tadi wajah bosku tak henti menunjukan sisi setan yang bisa membuat siapa pun berpikir kalau lelaki ini adalah mutan dari siluman buaya.

"Pak, saya mau minta pertanggung-jawaban atas ucapan Pak Leo tadi di supermarket," ujarku hati-hati takut dimakan hidup-hidup. Kuputuskan bertanya malam ini juga takut semakin terseret masalah yang bukan ranahku. 

"Ucapan yang mana? Perasaan saya gak ngucapin apa pun." Si galak seketika jadi amnesia. Aku siap-siap mengeluarkan jurus jujitsu. 

"Itu loh Pak omongan Pak Leo yang bilang saya ini jodoh Bapak. Masa Bapak nggak inget? Jujur, ya Pak saya jadi ga enak sama Mbak Gitta, padahal semua itu bohong."

Mendengar keluhanku, Pak Leo tiba-tiba menghentikan langkahnya. Sejurus kemudian dia membalikan badan. "Oh yang itu, saya minta maaf."

"Hanya itu?" Aku menaikan satu alis, merasa ucapannya terlalu klise tanpa merasa bersalah. 

Bagaimana kalau si Brigitta bawa pasukan terus melakukan misi balas dendam? Gawat, kan?

"Ehm ... apalagi, ya? Oh ya, saya juga minta maaf karena telah memanfaatkan kamu dan terima kasih sudah membantu saya mengusir Brigitta. Cukup, kan?" 

Selama ini aku masih menahan diri untuk tidak mengumpat di depan muka Pak Leo. Namun, kali ini aku tidak tahan lagi. Dia terlalu menyepelakan masalah. 

Aku pikir akan ada ucapan penjelasan yang panjang semacam di drama-drama, ternyata Pak Leo hanyalah seonggok daging yang memang kebetulan bisa bernapas. Masa dia minta maaf cuman kayak gitu?

"Cukup Pak. Tapi maaf Pak, mumpung kita lagi di luar kantor boleh gak saya mengeluarkan pendapat dan keluhan saya?" 

"Boleh."

"Bapak janji gak akan marah dan nambah hukuman?"

"Nggak. Kalau di luar kayak gini saya bukan bos kamu."

Bagus, Ini saatnya! 

Tanganku sontak mengepal dan tenggorokanku siap berolahraga. 

"Pak! Bapak tahu gak sih, tindakan Bapak itu bisa membuat orang salah paham sama saya. Asal tahu saja ya, saya ini sudah punya pacar! Gimana kalau pacar saya marah? Apa Bapak mau tanggung jawab? Jangan kayak gitu lah, Pak! Meski saya bawahan Bapak di kantor, Anda nggak bisa semena-mena sama saya. 

Bapak gak bisa main ngaku-ngaku aja, apa Pak Leo bakal tanggung jawab kalau saya disantet sama si Gitta itu? Pokoknya Pak, saya gak mau tahu sekarang Bapak jelasin ke mantan Pak Leo kalau kita gak ada apa-apa. Sekarang!" 

"Sekarang?"

"Ya, sekarang! Pokoknya saya gak mau sampai masalah ini jadi besar!" 

"Oke baik. Nanti saya jelaskan. Sudah marahnya?" 

"Belum Pak."

"Ya udah, apa lagi?"

"Pak! Maaf ya, Pak! Lain kali kalau emang ada bawahan yang berbuat salah. Bapak jangan langsung main hukum, Pak Leo harus mempertimbangkan alasannya, jika tidak itu namanya DIK-TA-TOR!" tegasku menekankan kata-kata terakhir untuk menyelesaikan omelanku malam ini. 

Aku menarik napas lelah. Ternyata capek juga marah-marah. Setelah mengungkapkan semua, kurasakan migrenku berkurang, hanya karirku mungkin terancam. 

Pak Leo menyunggingkan senyum tipis tapi hanya sebentar. Selanjutnya dia kembali ke wajahnya yang semula yaitu plate. 

"Tari ... terima kasih ya telah mengeluarkan unek-unek kamu. Saya hargai kejujuran kamu."

"Ja-jadi Pak Leo nggak marah saya ngomong gitu?" ucapku terbata. 

Diam-diam aku menyesal telah berbuat berlebihan pada Pak Leo. Tapi, jika kemarahanku diendap lama aku takut jadi sad girl jalur psikopat.

"Enggak, Tapi satu yang mau saya tanyakan," tanyanya santai. Teramat santai buat bos yang baru diamuk bawahannya yang nggak tahu diri. 

"Apa itu Pak?"

"Emang kamu punya pacar? Setahu saya kamu itu ditinggal tanpa kepastian!" seringai Pak Leo seraya pergi melintasiku dengan wajahnya yang ngajak gelut.

Aku tercengang. Dari mana dia tahu tentang status hubunganku yang gantung? Dari mana dia tahu aku ditinggal pas sayang-sayangnya? 

Ah, ini bencana!

(***)

Kacau. Kacau! Niat hati mau mengomel malah di-skakmat balik. Gak aku sangka, di balik sikapnya yang sok misterius, dia ternyata doyan gosip juga. 

Dari mana dia tahu coba aku ditinggal sama Raka kalau gak dari gosip? Gini nih, kalau karyawan ghibah gak tahu tempat. Siapa pun pasti akan mencuri dengar termasuk bos, ibarat kata senior, di kantor itu dinding aja bisa punya telinga.

Kalau begini urusannya, besok aku harus ngobrol sama Evi, Yayu dan sekutu lainnya agar lebih berhati-hati. Eh, tapi besok kan tanggal merah.

Aku membelalak bahagia melihat kalender dinding yang kutandai dengan love. Kebiasaanku, kalau tanggal libur dan tanggal gajian sudah dipioritaskan ditandai dan di-bold biar ingat.

Alhamdullilah. Bagus deh, kalau besok tanggal merah.

Itu berarti, aku akan terbebas dari suruhan juga perintah absurd dari makhluk astral yang sekarang tinggal di sebelah apartemenku.

"Yeyye! Lalala! Yeyeye! Lalala!" Karena begitu senangnya, aku berjoget-joget dengan riang sampai menuju kamarku tercinta.

Selepas bersih-bersih di kamar mandi dan solat, kini aku sudah siap untuk pergi tidur.

Kasur dan segala kefanaannya, telah siap menerima tubuhku yang hampir patah ini. Namun, baru saja aku mau berbaring tiba-tiba ketukan di pintu menghancurkan semua ekspektasi berlayar ke pulau indah kapuk.

"Allahu akbar! Siapa lagi, sih?" Aku melirik jam yang ada di dinding dengan kesal. Waktu sudah menunjukan jam 9.00.

Jangan-jangan si Dementor kembali menggangguku. Lihat aja dia kalau berani! Aku resign. 

Dengan berat hati, akhirnya aku beranjak dari kasur untuk melihat siapa yang datang.

Sampai di depan pintu, terlebih dahulu aku mengecek dari door viewer berjaga-jaga kalau itu si Dementor, aku mau pura-pura pingsan. 

"Waduh! Mamah!" teriakku panik saat melihat sosok tak asing sedang berdiri di depan pintu kamar apartemenku. "Gawat! Kok, dia bisa ke sini?"

Dok. Dok. Dok.

"Assalammu'alaikum. Tar, kamu ada di dalam?" Gedoran Mamah yang lebih mirip emosi dibanding kasih sayang membuatku panik.

"Iya, Mah bentar!" teriakku heboh.

Layaknya tentara yang kena sidak komandannya, sebelum membuka pintu aku bergegas menyembunyikan barang dan kotoran yang berserakan. Dari mulai beha sampai sampah mie instan, aku masukan semua ke kolong sofa dan keranjang cucian.

Jujur saja, akibat sibuk dihukum dan bekerja aku sampai belum beres-beres apartemen. Bisa merepet si Mamah kalau tahu kondisi kamarku yang mirip kapal perang ini.

"Tarii! Buka Tar! Di luar banyak nyamuk!" teriak Mamah lagi membuatku mau tak mau kembali ke depan pintu.

Cklek.

"Eh, Mamah udah lama nunggunya? Kok, nggak bilang mau ke sini? Tahu gitu Tari jemput," kataku basa-basi sambil salim sama Mamah.

"Alah kamu banyak alasan, ditelepon aja susah! Untung tadi di bawah Mamah ketemu Mas-Mas baik yang nganter Mamah ke sini karena Mamah takut naik lift."

"Mas-Mas baik siapa Mah?" tanyaku bingung. Perasaan yang tinggal di apartemen ini hanya aku dan beberapa rekan divisi tapi mereka mau pulang kampung katanya, rindu keluarga.

"Ada. Bentar! Mana ya tadi si Masnya? Dia katanya tinggal di lantai ini juga kok."

"Lantai ini? Jangan- jangan ...."

"Nah itu dia! Mas! Hey, Mas! Ini loh putri saya cantik, kan?" teriak Mamah pada seorang lelaki yang baru saja keluar dari sarangnya.

"Pa-Pak Leo? Jadi Bapak yang nganter Mamah saya?" tanyaku tergagap. Rasanya masih mimpi melihat titisan penjaga Azakaban ini bersikap baik.

Pak Leo tersenyum tipis. "Iya, Tar. Katanya Mamah kamu, dia punya putri yang tinggal di sini dan katanya dia khawatir karena putrinya ini tengah patah hati. Begitu ya, Bu?" Pandangan lelaki yang mengenakan kaus polo itu beralih pada Mamah dengan sopan.

Kukira Mamah akan menggelengkan kepala sebagai perlindungan harga diri anaknya ternyata dia malah mengangguk yakin. 

"Iya benar! Karena itu, Mas kalau kebetulan belum ada pasangan. Kebetulan putri saya juga jomblo. Ya kali aja jodoh. Iya kan, Tar?" tanya Mamah sambil mengedipkan mata padaku menggoda. Sedangkan aku hanya bisa cengo dengan wajah gregetan sama Mamah.

 Dalam hati aku berdoa.

Ya Allah! Tolong sadarkan Mamahku sebelum dia ngadi-ngadi. Aamiin.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
mome maa zizi
bagus.. 🫶🏻🫶🏻
goodnovel comment avatar
Ria 999
... hrus pake koin
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status